Dalam
hidup ini kita mengenal dua jenis guru, guru kurikulum dan guru
inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa
bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia
mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum
mewakili 99 persen guru yang saya temui. Jumlah guru inspiratif amat
terbatas, kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum,
tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia
mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box),
mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas.
Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif
melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan
lama.
Dunia memerlukan keduanya, seperti kita memadukan
validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas
eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu
pengetahuan. Sayang, sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru
kurikulum. Keberadaan guru inspiratif akan amat menentukan berapa lama
suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin
lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.
"Freedom Writers" Karya-karya pembaruan, baik temuan spektakuler
keilmuan, produk komersial, maupun gerakan sosial, akan tampak di
masyarakat. Namun tak dapat dimungkiri, semua itu berawal dari sekolah.
Dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat
perlunya kreativitas. Ia memperbaiki hal-hal yang dipercaya banyak orang
tidak bisa diperbaiki dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung
(connecting the unconnected).
Kisah dan karya guru inspiratif
antara lain dapat dilihat pada Erin Gruwell, perempuan guru yang
ditempatkan di sebuah kelas "bodoh", yang murid-muridnya sering terlibat
kekerasan antar geng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan
kumpulan honors students, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di
honors class yang dibutuhkan adalah guru kurikulum. Erin Gruwell memulai
dengan segala kesulitan. Selain katanya "bodoh" dan tidak disiplin,
mereka banyak melawan, saling melecehkan, temperamental, dan selalu
rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di
luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh. Itu adalah kelas
buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak supernakal tak boleh
disekolahkan bersama distinguished scholars. Tetapi Erin Gruwell tak
putus asa, ia membuat "kurikulum" sendiri yang bukan berisi aneka ajaran
pengetahuan biasa (hard skill), tetapi pengetahuan hidup. Ia
mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis
merah di lantai, membagi mereka dalam dua kelompok kiri dan kanan. Kalau
menjawab "ya" mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa
pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng,
kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati
akibat kekerasan antar geng. Line games menyatukan anak-anak nakal yang
tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh
ancaman, curiga kepada kelompok lain dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa lebih relaks terhadap guru dan teman- temannya serta sepakat saling memperbarui hubungan.
Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi
Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi sampai buku harian.
Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis
bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers.
Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang
menjadi pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan
perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film Freedom
Writers yang dibintangi Hilary Swank. Keluar dari belenggu Apa yang
dilakukan Erin Gruwell sebenarnya tidak hanya terbatas pada dunia
pendidikan dasar, tetapi juga pada pendidikan tinggi. Namun, entah
mengapa belakangan ini dunia pendidikan kita kian mengisolasi diri dari
dunia luar dan hanya ingin menghasilkan lulusan yang terbelenggu
kurikulum. Yang disebut dosen teladan adalah dosen yang patuh mengikuti
kurikulum, menulis karya ilmiah di jurnal-jurnal tertentu yang sudah
ditentukan, meski pembacanya belum tentu memadai, dan rajin mengisi
daftar absensi.
Dengarlah protes Kazuo Murakami PhD, pemenang
penghargaan Max Planck (1990) yang menulis buku Tuhan dalam Gen Kita:
The Devine Message of The DNA (2007). Ia terpaksa hijrah ke AS saat
menyaksikan dominasi guru-guru kurikulum di Jepang membangun benteng
hierarki. Universitas, katanya, telah menjadi menara gading yang tak
peduli dengan apa yang terjadi di luar. Meski belum menonjol di
masyarakat, peran guru-guru inspiratif ini amat dibutuhkan. Terlebih
anggaran pendidikan kita masih terbatas dan lulusannya banyak yang tidak
bisa bekerja sesuai dengan bidang studi yang ditempuhnya. Kita tidak
bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara
akademis, tahu kebenaran internal, tetapi kurang kreatif mendulang
kesempatan dan buta kebenaran eksternal. Ada dua masalah yang harus
direnungkan.
Pertama, dosen kurikulum hanya membentuk
kompetensi (student's ability), hanya membentuk beberapa orang, untuk
kepentingan orang itu sendiri. Guru inspiratif membentuk bukan hanya
satu atau sekelompok orang, tetapi ribuan orang. Satu orang yang
terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat "Aku
ingin jadi seperti dia" atau "Aku bisa lebih hebat lagi".
Kedua, ketidakmampuan para pendidik merespons aneka tekanan eksternal
dapat membuat mereka membentengi diri secara berlebihan dengan mengunci
kurikulum secara sakral. Tiap upaya yang dilakukan para guru kreatif
untuk meremajakannya dianggap ancaman, bahkan sebagai perbuatan tidak
bermoral. Masih teringat jelas, kejadian yang menimpa seorang guru
inspiratif yang saya kenal. Pada tahun 2005 ia menerima penghargaan dari
Yayasan Pengembangan Kreativitas atas karya-karyanya di bidang
pendidikan. Saat itu, penghargaan serupa dalam setiap bidang juga
diberikan kepada Helmi Yahya, Jaya Suprana, Bang Yos, dan Guruh Soekarno
Putra. Akan tetapi, tak banyak yang tahu hari-hari itu ia baru saja
menerima ancaman pemecatan karena dianggap melanggar "kurikulum".
Kesalahannya adalah telah memperbarui metode pengajaran agar murid-murid
menjadi lebih artikulatif. Murid senang, tidak berarti guru-guru lain
senang. Mereka merasa terganggu oleh penyajian di luar kurikulum dan
mereka menuntut agar guru ini ditarik. Semester berikutnya nama dia
dicoret dari daftar pengajar. Karier guru besarnya pun dipersulit oleh
guru-guru kurikulum yang menggunakan kaca pembesar menguji kebenaran
internal.
Kata Jagdish N Sheth, mereka dapat menjadi arogan,
terperangkap dengan kompetensi masa lalu, ingin hidupnya nyaman, dan
membangun batas-batas kekuasaan teritorial. Perilaku internal itu adalah
belenggu inertia, yang disebutnya destructive habits. Mereka
menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak
dimiliki. Sudah saatnya benteng inertia seperti ini dihapus dengan
"memanusiawikan" kurikulum dan memberi ruang lebih memadai bagi
guru-guru kreatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar