Saya meminta seorang teman sariorange@gmail.com untuk menerjemahkan artikel yang berharga ini, supaya lebih banyak teman guru yang bisa terinspirasi oleh tulisan ini. Karena ada sekitar 17 halaman, maka saya bagi tulisan ini menjadi 4 seri. Mudah mudahan terinspirasi ya, untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik eh untuk belajar yang lebih seru.. Semangaatt!!..^.^/
-------------------------------------------------------------------
Judul Asli : How a Radical New Teaching Method Could Unleash a Generation of Geniuses
Sumber : http://www.wired.com/business/2013/10/free-thinkers/
Joshua Davis / 10.15.13 / 6:30 AM
These students in Matamoros, Mexico, didn’t have reliable Internet access, steady electricity, or much hope—until a radical new teaching method unlocked their potential. photo by. Peter Yang |
Sekolah
Dasar José Urbina López terletak di samping sebuah tempat pembuangan sampah
berseberangan dengan perbatasan Amerika Serikat di Meksiko. Sekolah ini
melayani para penduduk Matamoros, sebuah kota berdebu dan terpanggang matahari
dengan populasi sekitar 489.000 yang berada di titik sorotan perang narkoba. Tembak-menembak
sering terjadi, dan sudah menjadi pemandangan umum ketika penduduk menemukan
mayat bergelimpangan di jalanan di pagi hari. Untuk sampai ke sekolah,
anak-anak harus berjalan melewati jalanan berdebu sepanjang sebuah kanal berbau
busuk. Pemandangan pagi hari bisa dilihat sebuah traktor dari era 1940an,
sebuah perahu reot di selokan dan kawanan kambing yang sedang merumput. Sebuah
balok pembatas memisahkan sekolah ini dengan area pembuangan sampah dimana di
ujung lainnya terdapat gundukan sampah yang menggunung, yang akhirnya ditutup. Seringkali
bau busuk tercium melalui ruang-ruang kelas yang berdinding semen. Beberapa
orang setempat menyebut sekolah ini un lugar de castigo—“sebuah tempat
hukuman.”
Bagi Paloma Noyola Bueno (12 tahun), tempat ini merupakan
tempat yang menggembirakan. Lebih dari 25 th yang lalu, keluarganya pindah ke
daerah perbatasan ini dari Meksiko tengah guna mendapatkan kehidupan yang lebih
baik. Namun, sebaliknya mereka berakhir hidup di samping tempat pembuangan
sampah. Ayahnya menghabiskan setiap harinya mengais-ais sisa makanan, menggali
potongan-potongan alumunium, kaca dan plastik di tumpukan kotoran. Baru-baru
ini dia mengalami mimisan, tapi dia tidak ingin membuat Paloma khawatir. Paloma
adalah malaikat kecilnya – anak bungsu dari delapan bersaudara.
Dari sekolah, Paloma akan pulang dan duduk bersama dengan
ayahnya di ruang utama rumah mereka yang terbuat dari semen dan kayu. Ayahnya
berperawakan kurus-kering dan tampak tertempa oleh cuaca, yang selalu memakai
topi koboinya. Paloma akan menceritakan kepadanya dan mengulang kembali
pelajaran-pelajaran hari itu dengan masih memakai seragamnya yang sudah lusuh –
kaos polo berwarna abu-abu dan rok berwarna biru-putih – dan berusaha
menghiburnya. Anak ini memiliki rambut panjang berwarna hitam, dahi yang tinggi
dan cara berbicara yang bijaksana. Sekolah sama sekali tidak pernah membuatnya
kesulitan. Dia duduk di barisan bersama dengan murid lainnya ketika para guru
memberitahu mereka apa yang harus mereka ketahui/pelajari. Tidaklah sulit untuk
mengulanginya kembali, dan dia mendapatkan nilai bagus tanpa harus berpikir
keras. Saat dia naik ke kelas 5, dia berpendapat bahwa semuanya akan sama –
mendengarkan guru, menghafal dan tugas-tugas.
Sergio Juárez Correa sudah terbiasa mengajar kelas seperti
itu. Selama lima tahun dia telah berdiri di hadapan anak-anak muridnya dan
bekerja mengajarkan kurikulum yang dimandatkan pemerintah. Kurikulum tersebut
sangatlah membosankan dan menumpulkan pikiran baginya dan bagi murid-muridnya,
dan dia sampai pada kesimpulan bahwa semua itu hanya membuang-buang waktu saja.
Nilai tes sangat buruk dan bahkan para siswa tidak benar-benar memperhatikan
pelajaran. Sesuatu harus diubah.
Dia sendiri juga tumbuh besar di sekitar tempat pembuangan
sampah di Matamoros. Dia menjadi guru dengan tujuan membantu anak-anak untuk
belajar lebih banyak untuk memberikan yang lebih bagi hidup mereka. Maka di
tahun 2011- ketika Paloma memasuki kelasnya - Juárez Correa memutuskan untuk
memulai eksperimennya. Dia mulai membaca banyak buku dan mencari ide-ide di
Internet. Tak lama kemudian dia menemukan sebuah video yang menjelaskan sebuah
upaya yang dilakukan oleh Sugata Mitra, seorang profesor di teknologi
pendidikan di Universitas Newcastle, Inggris. Di akhir periode 90an dan selama
periode tahun 2000, Mitra melakukan banyak eksperimen dimana dalam semua
eksperimen tersebut dia memberikan akses komputer kepada murid-murid Indianya. Tanpa
instruksi apapun, mereka mampu mengajari diri mereka sendiri berbagai macam hal
yang mengejutkan, seperti replication replikasi DNA sampai bahasa Inggris.
Juárez Correa belum begitu menguasainya, namun dia tertarik
pada filsafat pendidikan yang sedang berkembang, salah satu yang menerapkan
logika era digital ke ruang kelas. Logika ini tak dapat ditawar: Akses
mendapatkan informasi dunia telah mengubah cara kita melakukan komunikasi,
memproses informasi dan cara kita berpikir. Banyak sistem terdesentralisasi
telah terbukti lebih produktif dan cerdas daripada banyak sistem atas-bawah
yang kaku. Inovasi, kreativitas dan cara berpikir mandiri semakin penting bagi
perekonomian global.
Namun contoh dominan pendidikan negeri masih sangat berakar
pada revolusi industri yang melahirkannya, ketika banyak tempat kerja lebih
menilai ketepatan waktu, keteraturan, perhatian dan sikap diam. (Di tahun 1899,
William T. Harris, komisaris pendidikan Amerika Serikat, mengemukakan fakta
bahwa banyak sekolah di Amerika telah mengembangkan “penampilan sebuah mesin”,
yang mengajarkan bahwa siswa “harus memiliki perilaku tertib, duduk manis di
tempatnya dan tidak mengganggu yang lain.”). Kita tidak secara terbuka mengakui
nilai-nilai tersebut sekarang ini, namun sistem pendidikan kita – yang secara
rutin menguji anak-anak kita mengenai kemampuan mereka untuk mengingat
informasi/pengetahaun dan memperlihatkan penguasaan mereka atas sedikit keterampilan
– menggandakan pandangan bahwa murid merupakan materi yang harus diproses
(diolah), diporgram dan diuji kualitas mereka. Para penyelenggara sekolah
menyusun banyak standar kurikulum dan “garis pedoman melangkah” yang
memberitahu para guru bagaimana cara mengajar setiap harinya. Banyak legion manajer mengawasi semua yang
terjadi di dalam kelas; di tahun 2010, hanya 50 persen anggota staff sekolah
negeri di Amerika yang juga adalah pengajar/guru.
Hasil berbicara dengan sendirinya: Ratusan ribu anak drop
out dari sekolah negeri setiap tahunnya. Dari jumlah siswa yang lulus sekolah
menengah atas, hampir sepertiga “tidak siap secara akademis untuk mengikuti
mata kuliah tahun pertama” (menurut laporan tahun 2013 dari ujian ACT). World Economic Forum memberikan urutan 49
kepada Amerika Serikat dari 148 negara maju dan negara berkembang terkait mutu
pengajaran matematika dan sains. “Dasar fundamental sistem ini benar-benar
cacat,” kata Linda Darling-Hammond, seorang profesor pendidikan di Stanford dan
seorang direktur pendiri National
Commission on Teaching and America’s Future. “Di tahun 1970, tiga
keterampilan teratas yang disyaratkan oleh Fortune
500 adalah: membaca, menulis dan aritmatika. Di tahun 1999, tiga kemampuan
teratas yang diminta adalah kerja tim, menyelesaikan masalah (problem-solving) dan keterampilan interpersonal.
Kita memerlukan sekolah-sekolah yang mengembangkan semua keterampilan ini.”
Itulah kenapa bibit baru para pendidik, yang terilhami oleh
semua hal dari Internet sampai psikologi evolusioner, neurosains dan AI (artificial intelligence), mulai
menemukan cara-cara baru supaya anak belajar, tumbuh dan maju. Bagi mereka,
pengetahuan bukanlah sebuah komoditas yang diberikan dari guru ke murid tetapi
sesuatu yang muncul dari eksplorasi murid sendiri yang didorong oleh rasa ingin
tahu. Guru memberikan dorongan dan bukan jawaban, lalu mereka ‘menyingkir’
sehingga murid bisa mengajari diri mereka sendiri dan juga saling mengajari
dengan murid lainnya. Para guru ini menciptakan cara-cara supaya anak menemukan
ketertarikan mereka – dan membuka/menemukan sebuah generasi anak jenius selama
proses ini.
Di rumahnya di Matamoros, Juárez Correa menyadari dirinya
sangat asyik dan terpikat oleh ide-ide ini. Dan makin banyak yang
dipelajarinya, makin senang/bersemangat dia dibuatnya. Pada tanggal 21 Agustus 2011
– awal tahun ajaran baru – dia berjalan masuk ke kelasnya dan menumpuk semua
meja/bangku kayu menjadi kelompok-kelompok kecil. Saat Paloma dan murid-murid
lainnya masuk, mereka terlihat kebingungan. Juárez Correa mengajak mereka duduk
dan kemudian juga duduk bersama mereka.
Dia mulai menceritakan bahwa ada banyak anak di banyak
belahan dunia lainnya yang bisa menghafal pi
sampai ratusan poin desimal. Mereka bisa menulis simfoni dan membuat robot
serta pesawat terbang. Hampir semua orang tidak akan berpikir bahwa para murid
di José Urbina López akan bisa melakukan semua itu. Anak-anak yang berada di
seberang perbatasan seperti di Brownsville, Texas, memiliki laptop, internet
berkecepatan tinggi dan tutoring, sedangkan di Matamoros, mereka hanya memiliki
sedikit komputer, sambungan internet yang terbatas, sambungan listrik yang
turun-naik, dan terkadang tidak cukup makan.
“Tapi kalian memiliki satu hal yang membuat kalian sama
dengan anak-anak di banyak tempat lain di bumi ini,” kata Juárez Correa said.
“Potensi.”
Dia melihat anak-anak tersebut. “Dan mulai dari sekarang,” katanya,
“kita akan menggunakan potensi itu untuk menjadikan kalian murid terbaik di
dunia.”
Paloma terdiam, menunggu apa yang akan dikatakan
selanjutnya. Dia tidak menyadari bahwa selama lebih dari sembilan bulan
selanjutnya, pengalaman bersekolahnya akan ditulis ulang, memasukkan mereka ke
dalam kesatuan inovasi pendidikan dari seluruh dunia dan melentingkan mereka
dan beberapa teman sekelasnya ke puncak urutan atau rangking di bidang
matematika dan bahasa di Meksiko.
Belajar tiada henti.
BalasHapus