http://goo.gl/fPtL0m |
Suatu hari Juárez Correa menuliskan di papan
tulis “1 = 1,00.” Biasanya, pada poin ini, dia akan mulai menjelaskan konsep
bilangan pecahan dan bilangan desimal. Namun kali ini dia hanya menuliskan “½ =
?” and “¼ = ?”
“Coba pikirkan sebentar,” katanya, dan berjalan keluar dari
kelas.
Ketika anak-anak menggerutu, Juárez Correa pergi ke
kafetaria sekolah, tempat anak-anak membeli sarapan dan makan siang untuk
mendapatkan uang kembalian dalam nominal kecil. Dia meminjam sekitar 10 peso
dalam bentuk uang koin, berharga sekitar 75 sen, dan berjalan kembali ke kelasnya,
lalu membagikan satu koin senilai satu peso ke tiap meja. Dia memperhatikan
bahwa Paloma telah menulis 0,50 dan 0,25 di selembar kertas.
“Satu peso sama dengan satu peso,” katanya. “Lalu setengah
peso?”
Juárez Correa merasakan keringat dingin. Dia belum pernah
berhadapan dengan seorang murid seperti Paloma yang memiliki level kemampuan
bawaan sejak lahir.
Awalnya sejumlah anak membagi koin-koin itu ke dalam
tumpukan yang tidak sama. Hal tersebut menimbulkan perdebatan di antara para
murid mengenai apa yang dimaksud dengan setengah. Pelatihan yang sudah diterima
Juárez Correa memberitahunya untuk campur tangan. Namun dia ingat penelitian
Mitra dan menekan dorongan tersebut. Sebaliknya, dia menonton ketika Alma Delia
Juárez Flores menjelaskan kepada teman sebangkunya bahwa setengah berarti porsi
yang sama. Dia menghitung sampai 50 centavos.
“Jadi jawabannya 0,50” katanya. Anak-anak yang lain mengangguk karena itu masuk
akal.
Bagi Juárez Correa peristiwa tersebut menegangkan sekaligus
sedikit menakutkan. Di Finlandia, guru melewati pelatihan bertahun-tahun untuk
mempelajari bagaimana menggubah gaya baru pembelajaran ini; tapi dia hanya
dengan cepat melakukannya. Dia mulai bereskperimen dengan cara-cara berbeda
mengajukan pertanyaan dengan jawaban panjang mengenai subyek-subyek dari volume
kubus sampai mengalikan bilangan pecahan. “Volume sebuah prisma dengan dasar
persegi merupakan bidang dasar dikalikan dengan tinggi. Volume piramida
berdasar persegi adalah rumus tersebut dibagi tiga,” katanya suatu pagi.
“Bagaimana menurut kalian?”
Dia berjalan mengelilingi kelas, hanya sedikit berkata. Sangat
mengangumkan ketika melihat anak-anak mendekati mendapatkan jawabannya. Mereka
bekerja dalam beberapa tim dan memiliki contoh (peraga) beberapa bentuk untuk
diamati dan dimainkan. Salah satu tim diketuai oleh Usiel Lemus Aquino, seorang
anak laki-laki yang tidak terlalu tinggi dengan ekspresi yang penuh harapan,
mendapatkan ide menggambar beberapa macam bentuk – prisma dan piramida. Dengan memberikan lapisan di atas tiap-tiap gambar,
mereka mulai menentukan jawabannya. Juárez Correa membiarkan anak-anak
berbicara dengan bebas. Kelas terdengar ramai, sedikit gaduh – benar-benar
kebalikan dengan jejnis kelas disiplin ala-pabrik yang diharapkan oleh para
guru lainnya. Tapi dalam waktu 20 menit, mereka telah menemukan jawaban mereka.
“Tiga piramida bisa membentuk satu prisma,” Usiel mengamati,
berbicara atas nama kelompoknya. “Jadi volume sebuah piramida pastinya adalah
sebuah prisma yang dibagi tiga.”
Juárez Correa dibuat sangat terkesan. Tetapi dia lebih
dibuat tergugah oleh Paloma. Selama banyak eksperimen yang dilakukannnya, guru
ini memperhatikan bahwa dia hampir selalu memberikan jawaban secara langsung.
Terkadang dia menjelaskan beberapa hal kepada teman sebangkunya, di lain waktu
dia menyimpan jawabannya sendiri. Tak ada seorangpun yang memberitahunya bahwa
dia memiliki sebuah bakat yang tidak biasa. Bahkan ketika guru memberikan
pertanyaan yang sulit kepada kelas mereka, dia dengan cepat memberikan jawaban.
Untuk menguji batas kemampuannya, Juárez Correa menantang kelas tersebut dengan
sebuah soal/pertanyaan yang diyakininya akan membuat Paloma tidak bisa
menjawab. Dia menceritakan kisah Carl Friedrich Gauss, seorang ahli matemaika
terkenal dari Jerman yang lahir di tahun 1777.
Ketika Gauss masih bersekolah SD, salah satu gurunya meminta
kelasnya untuk menambah setiap bilangan dengan angka di antara 1 dan 100.
Seharusnya dibutuhkan waktu satu jam, namun Gauss nyaris mendapatkan jawabannya
secara langsung.
“Ada yang tahu bagaimana dia melakukannya?” tanya Juárez
Correa.
Beberapa murid mulai mencoba menambahkan angka-angka dan tak
lama kemudian menyadari bahwa mereka akan membutuhkan waktu lama untuk melakukannya.
Paloma, bekerja bersama dengan kelompoknya, dengan seksama menulis beberapa
urutan bilangan dan melihat urutan itu beberapa saat. Kemudian dia mengangkat
tangannya.
“Jawabannya 5.050,” katanya. “Ada 50 pasang bilangan 101.”
Juárez Correa merasakan bulu kuduknya meremanng. Dia tidak
pernah bertemu dengan seorang anak dengan bakat/kemampuan bawaan dari lahir. Dia
segera mendekati muridnya itu dan bertanya kenapa dia tidak terlalu
memperlihatkan minatnya pada matematika sebelum-sebelumnya, karena Paloma
sangat pintar dalam mata pelajaran ini.
“Karena tak ada yang membuatnya menarik,” jawab Paloma.
Sistem pendidikan kita didasarkan pada era industri. Sistem
ini lebih menjunjung nilai ketepatan waktu, kehadiran dan sikap tenang/diam di
dalam kelas selama pelajaran.
Kesehatan ayah Paloma semakin
memburuk. Meskipun dia mengalami demam dan sakit kepala, dia tetap bekerja.
Akhirnya dia harus dibawa ke rumah sakit, karena kondisinya semakin memburuk.
Pada tanggal 27 Februari 2012 beliau meninggal dikarenakan kanker paru-paru. Pada kunjungan terakhir Paloma sebelum
ayahnya meninggal, anak
perempuan itu duduk di samping ayahnya dan menggenggam tangan orang tua
tersebut. “Kamu gadis pintarl,” kata ayahnya. “Terus belajar dan buat ayah
bangga.”
Paloma tidak masuk sekolah selama empat hari guna
melaksanakan proses pemakaman. Teman-temannya bisa melihat bahwa dia terlihat
putus asa, namun Paloma berusaha mengubur kesedihannya. Dia ingin mewujudkan
harapan ayahnya. Dan gaya pengajaran baru Juárez Correa dengan memberikan
tantangan-tantangan yang sangat membentu anak-anak merupakan tempat
perlindungan baginya. Ketika gurunya tersebut membeirkan lebih banyak kontrol, Paloma
mengambil lebih banyak tanggung jawab bagi pendidikannya sendiri. Juárez Correa
mengajari anak-anak tentang demokrasi dengan membuat mereka memilih ketua kelas
dan bagaimana memutuskan bagaimana mereka akan mengatur kelas mereka lebih
disiplin. Anak-anak memilih lima perwakilan, termasuk Paloma dan Usiel. Ketika
ada dua murid laki-laki saling dorong-mendorong dalam sebuah permainan, para
perwakilan mendengus mereka, dan permasalahan itu tidak pernah terulang lagi.
Bersambung ...
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar