Membaca halaman-halaman pertama buku Smart Learning Technology- Menjadi Juara dalam Waktu Singkat By. Setiyo Widodo – sudah membuat kepala panas, reaksi yang selalu saya alami jika saya berhadapan dengan buku atau pendapat yang berbeda dengan apa yang sudah tertanam di kepala saya. Ini kali kedua saya mengalami seperti ini, yang pertama pada saat saya membaca pendapat dan sedikit berdiskusi dengan ibu Adi D Adinugroho-Horstman pengajar· Special Education/ Early Childhood Spec.Ed, Purdue University mengenai Multiple Intelligence yang bikin pusing di Indonesia, yang pada akhirnya mengubah persepsi saya tentang multiple intelegence, mengenai ini mungkin akan saya bahas lain waktu, jika riset kecil saya selesai. Jiaaah…(^.^)/..
Buku setebal 307 halaman ini selesai saya baca dalam sehari, dengan berusaha zero persepsi terlebih dahulu karena saya ingin membacanya murni dari persepsi penulis, supaya kepala saya tidak terlalu panas hehe..
Saya setuju dengan beberapa hal dalam buku ini, bahwa belajar harus dalam suasana yang positive, menyenangkan, bahagia, menarik, bergairah, sehingga seluruh kemampuan otak bisa terakomodasi dengan baik.
Setiyo menggunakan teknik Neuro Linguistic Program untuk cara belajar, yaitu dalam kondisi alfa atau trance, menggunakan anchor atau semacam “cubitan” penyemangat, menuliskan tujuan dengan jelas dan rinci dan membacanya berulang-ulang setiap mau tidur atau sholat atau saat alfa, dan masih banyak teknik-teknik NLP lain yang digunakan.
Menurut Setiyo tujuan belajar harus jelas, yaitu rangking 1, lulus UN dengan nilai terbaik, masuk universitas favorite dan lulus dari universitas dengan cum laude atau IP diatas 3, pengusaha sukses atau pegawai sukses.
Setiyo beranggapan bahwa orang sekolah akan jauh lebih baik daripada orang yang tidak sekolah.
Disinilah permasalahannya, menurut saya belajar menyenangkan tidak bisa dengan mudah didapat di sekolah, karena masih banyak sekolah Indonesia yang konservatif, pengawas sekolah konservatif, kepala sekolah konservatif, guru konservatif.
Saya kurang sependapat dengan tujuan belajar ranking 1, karena setiap anak unik dan tidak dapat diperbandingkan. Karena setiap anak juara dengan indikator potensi uniknya masing-masing, bukan diperbandingkan dengan orang lain.
Tujuan belajar semestinya untuk dapat memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi oleh setiap anak kapan saja. Sehingga mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang sehat jasmani, rohani dan bijaksana. Menumbuhkan passion belajar sangat penting, karena mereka yang menyenangi belajar akan menjadi pembelajar sejati atau forever learner. Passion atau gairah belajar ini akan tumbuh, salah satunya jika mereka belajar sesuai kebutuhan mereka.
Saya khawatir jika tujuan belajar hanya rangking 1, lulus UN dengan nilai terbaik dst, maka setelah itu semua dicapai mereka akan kehilangan gairah belajarnya. Saya melihat kebanyakan orang Indonesia, yang sudah mapan, pegawai negeri, pengusaha mapan, sudah tidak mau lagi belajar dan mengupdate pengetahuan karena mereka merasa yang diperoleh sudah cukup, dan sudah nyaman berada di comfort zone. Mereka lupa dengan kemungkinan “Who moved my cheese?”ingat cerita 2 orang tikus: Sniff dan Scurry, dan 2 orang kurcaci: Hem & Haw, suatu saat ladang mereka habis, pengetahuan berkembang pesat dan mereka tertinggal. Bisa di download disini
Tahun pelajaran yang lalu, saya menggunakan teknik NLP ini untuk menyemangati anak-anak, memotivasi mereka, membuat mereka defense dengan judgment negative, dan memberikan persepsi positive untuk keberhasilan UN. Namun dalam perenungan, saya menyadari, saya melakukannya karena “putus asa”. Saya tahu tidak adil jika ukuran bodoh, pintar, sukses seorang anak adalah UN.
Yang saya lihat adalah stereotip murid pintar dan sukses = rangking 1, lulus UN dst yang melekat di masyarakat kita, membuat anak-anak kehilangan kepercayaan dirinya, sehingga mereka akan menggunakan segala cara untuk mengejarnya termasuk curang dan mencontek.
Tidak ada satupun murid saya yang tidak mencontek saat ujian, ketika saya tanya kenapa mencontek, karena mereka takut dimarah orang tua dan guru jika nilai mereka jelek dan takut dianggap bodoh. Jika anda mungkin akan menjawab “salahnya tidak belajar”. Jika saya memberi pengertian kepada anda, bahwa apa yang mereka pelajari terlalu banyak, abstrak dan tidak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, mungkin tanggapan anda adalah “itulah hidup, hidup memang berat dan sulit” atau yang sering saya dengar dari teman-teman guru jika menasihati anak-anak “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Bagi saya hidup itu pilihan, semua murid memiliki kebebasan untuk memilih. Jika mereka tidak nyaman belajar di sekolah, mereka bisa belajar di rumah, yang ada sekarang, sepertinya kita tidak memberi pilihan itu kepada murid-murid atau anak-anak kita.
Walau saya guru, saya tidak dapat menampik kenyataan ini, saya tidak dapat memaksa seseorang untuk sekolah, bahwa jika tidak sekolah maka mati, bahwa sekolah itu candu, bahwa jika tidak belajar kimia, ekonomi, fisika, matematika, biologi, sosiologi, PPKn dan 9 mata pelajaran lainnya (karena semuanya rata-rata yang dipelajari ada 16) maka mereka akan hidup susah, bahwa tanpa selembar ijazah mereka tidak dapat berhasil dalam hidupnya. Menurut saya yang benar adalah tidak belajar maka “mati”, mati rasa, mati hati, mati ilmu, mati pengetahuan, mati cahaya.
Sebenarnya belajar bisa dimana saja, kapan saja, apa saja dengan siapa saja, menggunakan apa saja. Tidak harus di sekolah, yang wajib dilakukan adalah belajar, bukan wajib sekolah. Murid pintar dan cerdas bukan hanya, jika rangking 1, lulus UN, IP cumlaude, pegawai kaya atau pengusaha kaya, namun bagaimana dia dapat menghadapi dan menjalani setiap langkah kehidupannya dengan bijaksana, dan pembelajaran untuk ini dapat diperoleh dimana saja, tidak hanya di sekolah.
*Catatan : Saya membuka komentar untuk semua tulisan yang saya posting di blog ini, karena saya terus berproses dan saya akan terus berubah sesuai dengan perkembangan pengetahuan yang saya peroleh.
Sumber :
Setiyo Widodo -Smart Learning Technology-Menjadi Juara dalam Waktu Singkat-
Andreas Harefa – Sekolah tidak pernah cukup
Andreas Harefa – Menjadi manusia pembelajar
AS Neill – Summerhill School
Mary Griffith – Belajar tanpa sekolah-Bagaimana memanfaatkan seluruh dunia sebgai ruang kelas anak anda
M. Izza Ahsin – Dunia tanpa sekolah
Munif Chatib – Sekolahnya manusia
Roem Topatimasang – Sekolah itu candu
Thomas Amstrong – Sekolah para Juara
Adi D Adinugroho-Horstman - Multiple Intelligence yang bikin pusing di Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menjadi Instruktur
Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...
-
Saya meminta seorang teman sariorange@gmail.com untuk menerjemahkan artikel yang berharga ini, supaya lebih banyak teman guru yang bisa ter...
-
Tahun 1998 - 2005 saya adalah guru paling kejam di dunia, saya sering menyakiti anak-anak saya sebagai dalih untuk melecut semangat mereka, ...
-
Mereka yang ada di Jaman Jahiliyah 3 Saya... :) Saat ini saya membagi perjalanan saya menjadi guru, menjadi tiga jaman jahiliyyah. Pili...
Saya juga sependapat... dengan belajar itu harus menyenangkan.....
BalasHapusdan saya tidak pernah menargetkan anak saya menjadi rangking 1, namun Alhamdulillah dia bisa masuk di sekolah favorit dikotanya... denagn nyaman dan enjoy... bahkan di bisa lebih nyaman dan menikmati sekolahnya dari pada anak yang ranking 1 dikelasnya.... namun jadi kuper... dan gampang tersinggung bila ada temannya yg usil...
anak kedua dan ketiga kami Hs... dan dia merasakan kenyamanan dengan apa yang dia pilih ini.... karena banyak hal yang bisa kita lakukan bersama... bahkan yang membanggakan dia lebih care pada keluarga... dan pekerjaan dirumah... semoga dimanapun dia belajar dia jadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya... terlepas dia jadi pengusaha sukses ataupun pegawai salam dahsyat.......
Salam Dahsyat juga pak Lukman..Semangaatt!!...(^.^)/..
BalasHapusassalamu'alaykum bu ameliasari.....
BalasHapussaya suka sekali baca2 tulisannya ibu di blog ini, sangat menginspirasi.....
boleh gak saya share tulisan ibu ke teman2 saya?....
o ya...buku2 yg jadi sumber, bs dibeli dmn yah? sy selalu kesulitan mncari buku2 spt itu disini....
jarang pernah ada buku2 spt itu di toko buku gramedia di kota kami, balikpapan....
pengen bgt baca2 bk tsb....
ada saran/usul utk mdptkan buku2 tsb?
salam hangat
eny irawati
wah, sangat membuka wawasan ulasannya mba..terima kasih
BalasHapusIbu Eny,
BalasHapusBoleh di Share ibu, senang sekali kalau bisa bermanfaat untuk orang banyak.
Saya biasa membeli buku online, coba saja ke beberapa toko buku online. Namun beberapa sudah tidak dicetak ulang lagi.
Salam,
Ameliasari
Ibu Rosa, Terimakasih banyak apresiasinya...:)
BalasHapusbelajar untuk selalu bertanya terhadap setiap jawaban dan mencari jawaban dari setiap pertanyaan.
BalasHapusbelajar untuk mengembangkan kelebihan bukan menutupi kekurangan.
kira2 demikian :)
Setuju Bu Lea. Kita semua perlu deschooling dulu, termasuk penulis buku ini he he... Saya mendoakan Bu Lea bisa menulis buku yang lebih mencerahkan.
BalasHapusAmin Amin Amin....terimakasih Andiny, bikin bergetar nih *ayo dong Lea nulis buku!! Semangatt11 (^.^)/...:)
BalasHapusUlasan yang inspiratif, semoga membuka paradigma baru bagi penyelenggara pendidikan agar menerapkan multiple integensi (kecerdasan beragam)sehingga sistem rangking harus dihapus karena pada dasarnya manusia sejak dilahirkan adalah pemenang sejati.
BalasHapus