Rabu, 29 Februari 2012

Sepenggal Proses Belajarku...\^.^/

Jika terasa sulit memahami guru "aneh" macam saya. Bisa dimulai dari tulisan Thomas Amstrong berikut ini :
source: http://kabod1.edublogs.org/
Syahdan di tengah-tengah hutan belantara berdirilah sebuah sekolah untuk para binatang dengan status “disamakan dengan manusia”, sekolah ini dikepalai oleh seorang manusia. Karena sekolah tersebut berstatus “disamakan”, maka tentu saja kurikulumnya juga harus mengikuti kurikulum yang sudah standar dan telah ditetapkan untuk manusia.

Kurikulum tersebut mewajibkan bahwa untuk bisa lulus dan mendapatkan ijazah ; setiap siswa harus berhasil pada lima mata pelajaran pokok dengan nilai minimal 8 pada masing-masing mata pelajaran.Adapun kelima mata pelajaran pokok tersebut adalah; Terbang, Berenang, Memanjat, Berlari dan Menyelam
Mengingat bahwa sekolah ini berstatus “Disamakan dengan manusia”, maka para binatang berharap kelak mereka dapat hidup lebih baik dari binatang lainya, sehingga berbondong-bondonglah berbagai jenis binatang mendaftarkan diri untuk bersekolah disana; mulai dari; Elang, Tupai, Bebek, Rusa dan Katak
Proses belajar mengajarpun akhirnya dimulai, terlihat bahwa beberapa jenis binatang sangat unggul dalam mata pelajaran tertentu; Elang sangat unggul dalam pelajaran terbang; dia memiliki kemampuan yang berada diatas binatang-binatang lainnya dalam hal melayang di udara, menukik, meliuk-liuk, menyambar hingga bertengger didahan sebuah pohon yang tertinggi.

Tupai sangat unggul dalam pelajaran memanjat; dia sangat pandai, lincah dan cekatan sekali dalam memanjat pohon, berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Hingga mencapai puncak tertinggi pohon yang ada di hutan itu.
Sementara bebek terlihat sangat unggul dan piawai dalam pelajaran berenang, dengan gayanya yang khas ia berhasil menyebrangi dan mengitari kolam yang ada didalam hutan tersebut.

Rusa adalah murid yang luar biasa dalam pelajaran berlari; kecepatan larinya tak tertandingi oleh binatang lain yang bersekolah di sana. Larinya tidak hanya cepat melainkan sangat indah untuk dilihat.
Lain lagi dengan Katak, ia sangat unggul dalam pelajaran menyelam; dengan gaya berenangnya yang khas, katak dengan cepatnya masuk kedalam air dan kembali muncul diseberang kolam.
Begitulah pada mulanya mereka adalah murid-murid yang sangat unggul dan luar biasa dimata pelajaran tertentu. Namun ternyata kurikulum telah mewajibkan bahwa mereka harus meraih angka minimal 8 di semua mata pelajaran untuk bisa lulus dan mengantongi ijazah.

Inilah awal dari semua kekacauan itu; Para binatang satu demi satu mulai mempelajari mata pelajaran lain yang tidak dikuasai dan bahkan tidak disukainya.
Burung elang mulai belajar cara memanjat, berlari, namun sayang sekali untuk pelajaran berenang dan menyelam meskipun telah berkali-kali dicobanya tetap saja ia gagal; dan bahkan suatu hari burung elang pernah pingsan kehabisan nafas saat pelajaran menyelam.

Tupaipun demikian; ia berkali-kali jatuh dari dahan yang tinggi saat ia mencoba terbang. Alhasil bukannya bisa terbang tapi tubuhnya malah penuh dengan luka dan memar disana-sini.
Lain lagi dengan bebek, ia masih bisa mengikuti pelajaran berlari meskipun sering ditertawakan karena lucunya, dan sedikit bisa terbang; tapi ia kelihatan hampir putus asa pada saat mengikuti pelajaran memanjat, berkali-kali dicobanya dan berkali-kali juga dia terjatuh, luka memar disana sini dan bulu-bulunya mulai rontok satu demi satu.

Demikian juga dengan binatang lainya; meskipun semua telah berusaha dengan susah payah untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak dikuasainya, dari pagi hingga malam, namun tidak juga menampakkan hasil yang lebih baik.
Yang lebih menyedihkan adalah karena mereka terfokus untuk dapat berhasil di mata pelajaran yang tidak dikuasainya; perlahan-lahan Elang mulai kehilangan kemampuan terbangnya; tupai sudah mulai lupa cara memanjat, bebek sudah tidak dapat lagi berenang dengan baik, sebelah kakinya patah dan sirip kakinya robek-robek karena terlalu banyak berlatih memanjat. Katak juga tidak kuat lagi menyelam karena sering jatuh pada saat mencoba terbang dari satu dahan ke dahan lainnya. Dan yang paling malang adalah Rusa, ia sudah tidak lagi dapat berlari kencang, karena paru-parunya sering kemasukan air saat mengikuti pelajaran menyelam.

Akhirnya tak satupun murid berhasil lulus dari sekolah itu; dan yang sangat menyedihkan adalah merekapun mulai kehilangan kemampuan aslinya setelah keluar dari sekolah. Mereka tidak bisa lagi hidup dilingkungan dimana mereka dulu tinggal, ya.... kemampuan alami mereka telah terpangkas habis oleh kurikulum sekolah tersebut. Sehingga satu demi satu binatang-binatang itu mulai mati kelaparan karena tidak bisa lagi mencari makan dengan kemampuan unggul yang dimilikinya..
Source : http://lyakeyen.multiply.com/
Cerita sekolah hewan diatas tepat sekali dijadikan analogi sekolah-sekolah kita.
Sampai sekarang atau kapanpun saya masih terus mencari jembatan yang kokoh antara idealisme pendidikan dan belajar yang ada di kepala saya dengan sistem pendidikan Indonesia. Jadi ingat kata-kata Bahruddin "semua yang berhubungan dengan sistem pendidikan Indonesia merupakan tembok tebal dan tinggi, yang akan sulit ditembus"--tembok Berlin juga hancur, batu pun bisa terbelah, dan atau saya pun bisa terbang melewatinya

Cerita itu ditambah berbagai buku, opini yang saya baca dan sharekan membuat saya jadi guru "aneh" di sekolah.
Saya buat pembelajaran menyenangkan,  dari inovasi yang saya buat ada beberapa hingga memperoleh penghargaan,  belakangan saya menyadari apa yang saya lakukan ternyata belum pas mengusung konsep belajar, kemudian saya membuat ini. Inipun belum bisa menjadi jembatan untuk bidang studi yang saya ajarkan...dan terakhir saya buat agak ekstrem karena gak bakal keluar di Ujian Nasional dan pasti tidak akan didukung sekolah--sekarang yang lagi trend adalah drill soal UN...:(

Kamis, 23 Februari 2012

[KLIPING] Man Jadda Wajada - 23 Februari 2012

by Rhenald Kasali on Thursday, February 23, 2012 at 7:08am ·

Ustadz Salman memasuki ruang kelas. Ia membawa sebilah pedang yang sudah berkarat dan sebatang bambu. Senyum seorang guru menyeringai dari bibirnya yang terlihat bersahabat.

Di depan santri-santri baru yang datang dari berbagai pelosok Indonesia di sebuah pesantren besar di Ponorogo, ia berujar: “Man jadda wajada!” Kelak kata-kata itu identik dengan Alif,eh,Achmad Fuady, penulis buku Negeri 5 Menara yang kini menjadi inspirasi kaum muda Indonesia. Ustaz Salman menjajal pedang tumpul itu untuk memotong bambu.Berat! Sulit! Tapi ia berupaya terus kendati keringat mulai mengucur.Ruang kelas riuh oleh bunyi bambu yang dipancung paksa oleh pedang majal yang harus dibanting-banting berkali-kali ke lantai, sampai akhirnya bambu terpotong dan santri-santri polos terkesima. Ia berteriak, “Man jadda wajada! Sesuatu yang dilakukan bersungguh-sungguh dapat menjadi kenyataan.”


Membebaskan Belenggu 

Adegan itu saya saksikan dalam pemutaran perdana film inspiratif Negeri 5 Menara yang diangkat dari novel Ahmad Fuadi itu pada hari Selasa (21/2) kemarin. Saya datang ke Gedung XXI-FX Plaza dengan guru-guru PAUD dan taman kanak-kanak asuhan istri saya di Rumah Perubahan. Bagi guru-guru yang biasa mengajar anak-anak kampung, film ini seperti sebuah pelepasan.

Bagi anak-anak kampung, menjelajahi menara-menara dunia adalah sebuah keniscayaan. Tak usah dari Danau Maninjau (tempat asal Alif) ke Ponorogo di Jawa Timur, dari Bekasi ke Monas saja, bagi sebagian anak-anak, adalah suatu keniscayaan. Selain saya, pemutaran perdana itu dihadiri para guru. Apa yang bisa dipelajari para guru dari film ini? Tentu saja setiap orang bisa melihatnya dari sudut pandang yang berbeda- beda. Namun dari guru-guru yang ikut bersama saya didapatkan jawaban ini: “Bukan matematika atau sains, juga bukan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, melainkan rasa percaya dirilah yang membawa manusia menemukan menara-menara kehidupannya.

” Saya masih bingung, tetapi akhirnya mereka menjelaskan bahwa masalah terbesar yang dihadapi tunas-tunas bangsa adalah kuatnya belenggu “tidak bisa”dan belenggu “bukan hak saya” yang begitu kuat. Ini belum termasuk belenggu-belenggu karakter seperti mudah terprovokasi, pendendam, merasa benar sendiri, dan seterusnya. Anak-anak tukang ojek atau anak tukang bubur kacang hijau yang orang tuanya harus berkeliling kampung mengumpulkan seribu demi seribu rupiah dengan penuh kesulitan memiliki cara berpikir yang sama seperti burung-burung dara yang sayapnya dijahit supaya tidak bisa terbang jauh.

Dengan sayap-sayap yang terikat itu, mereka tak bisa terbang jauh mengelilingi dunia, apalagi membangun menara-menara bagi kehidupan mereka sendiri. Ustaz Salman membuka kelasnya bukan dengan dogma, teori atau rumus,melainkan dengan pedang tumpul dan berkarat serta sebatang bambu tua yang keras. Yang ia tanamkan adalah sebuah keyakinan positif, meretas belenggu-belenggu virtual yang ada di tiap kepala anak-anak.

Ya, itulah belenggu yang tumbuh menjadi keyakinan kolektif. Itulah masalah besar yang selama ini kita abaikan. Kita beranggapan seolaholah semua tidak ada. Atau bahkan kita berpandangan dengan rumus-rumus sains semua bisa dilupakan? Kalau kita mengabaikannya, kita hanya menciptakan benda-benda tak bergerak. Sama seperti sayap burung yang dijahit.

Selasa, 21 Februari 2012

Homeschooling dan Saya

Sebenarnya seperti pertanyaan sambil lalu, tapi saya jadi kepikiran
"Lea, tetep akan terus nih jadi guru?"
belum sempet jawab, karena saya punya cita-cita even saya nanti professor, saya tetep pingin ngajar anak-anak Madrasah Aliyah. Saya pernah menulis mengapa saya tetap bertahan walau sulit mensingkronkan antara idealisme pendidikan dan hati nurani dengan sistem pendidikan di Indonesia disini

____________________________

jengglong yg sebelah kiri ada di tengah sawah
Saya memang guru, namun 3 anak saya tidak sekolah, karena mereka tidak cocok dengan cara belajar di sekolah, si sulung minta sendiri keluar dari sekolahnya setelah 6 bulan merasakan belajar jadi anak kelas 1 SD, dan sepertinya adiknya yang 4 tahun juga sama, karena sudah terpola dengan suasana belajar di rumah.

Belajar disini, bukan duduk diam menyimak buku-buku pelajaran yang sesuai umur mereka, namun belajar apa saja, dimana saja, dengan siapa saja dan kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan apa yang sedang mereka lakukan.

Misal, Raihan 10 th dan adiknya Rora 4 th mereka suka sekali main di Jenglong (mata air yang dijadikan tempat pemandian) yang letaknya di tengah sawah, mancing di kali, bikin bendungan, main di sawah, main petak umpet, dan masih banyak lagi. Lalu dimana belajarnya? disitulah mereka belajar tentang air, habitat air, ekosistem di sawah, bersosialisasi, belajar tentang Ikan, (setelah mancing, Ikan mereka bakar terus dimakan sama-sama), juga ketika menemukan banyak keong emas di sawah.

Bagaimana dengan matematika, mereka belajar langsung ketika saya minta tolong dibelikan gula pasir di warung, berapa uang dibawa, berapa harga gula berapa pula kembaliannya, ketika harga gula naik,mereka jadi belajar mengapa harga gula bisa naik, apa sebabnya?

Bagaimana dengan karakter?
karena belajar nya fleksible dan menggunakan resource apa saja yang ada di rumah termasuk kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai yang ada di keluarga saya, semuanya jadi include dalam pembelajaran anak-anak.
Character first, jadi lebih bisa tertanam karena mereka belajar di rumah
Seperti Raihan sejak usia 7 tahun dia sudah tidak perlu diingatkan lagi untuh sholat 5 waktu dan puasa ramadhan full, demikian juga rasa tanggungjawab yang terbangun, seperti membersihkan kamar tidur, menjaga adiknya, cuci piring setelah makan, buang sampah ditempatnya dan hal-hal kecil lainnya jadi lebih mudah ditanamkan


Di kuliah umum Institut Ibu Professional bertajuk 1001 cara mendidik anak di Rumah--
Ellen Kristi
Ellen Kristi (founder web Charlotte Mason Indonesia) mengungkapkan bahwa dalam mendidik anak di rumah, dibutuhkan cinta yang berpikir, maksudnya orang tua dituntut untuk merumuskan sendiri apa tujuan pendidikan bagi anak-anaknya, karena tujuan pendidikan ini penting untuk menentukan apa saja yang mesti dilakukan oleh sebuah keluarga. Yang terpenting kesadaran orang tua bahwa setiap anak itu unik dan memiliki potensi yang berbeda-beda. Disinilah intinya orang tua dan anak harus sama-sama belajar.

Bagi Mira Julia atau Lala (founder web Pelangi Nada) --keluarga adalah pusat tata surya, dan ibu adalah mataharinya sehingga seorang ibu HARUS bahagia, karena dari ibu yang bahagia inilah akan menciptakan suasana rumah yang menceriakan bagi anak anak dan keluarga.

Menurutl Lala, apa yang ada di rumah juga kesehariannya bisa dijadikan bahan belajar luar biasa, belajar dari apa saja yang ada di sekitar kita dengan semangat dan niat juga kekompakan antara suami dan istri. Salah satu contohnya bisa disimak disini

Lala
Mengendalikan emosi juga menjadi pembelajaran selanjutnya bagi orang tua, karena jika tidak, jangan-jangan saat menurut kita anak-anak "berisik", "berantakin", dan "nyebelin" itu adalah Aha moment mereka, klik mereka untuk keingintahuan yang maha dahsyat yang membawa mereka menjadi pembelajar sejati, yang akan menentukan arah hidup mereka selanjutnya.

Berikutnya masalah ibu bekerja dengan anak HS, seperti Wiwiet Mardiati, pertimbangan HS nya simpel, dia tidak mau diatur dalam pendidikan anaknya, tapi dia maunya sebagai subyek yang menentukan bagaimana anaknya dididik--menurut saya, memang fitrahnya ibu atau orang tua adalah guru yang paling baik bagi anak-anaknya--
Untuk mengatur kebersamaan dengan Atala putranya yang HS, tips yang diberikan wiwiet adalah mengajak dan melibatkan Atala (7th) dalam pekerjaan Wiwiet sebagai dosen. Selain menumbuhkan kebersamaan, juga pengalaman terlibat dengan orang yang lebih dewasa di sekitar ibunya, inilah inti sosialisasi yang tidak didapatkan di sekolah.

Jumat, 17 Februari 2012

[KLIPING] Sekolah 5 Senti - Jawapos 30 Januari 2012

Setiap kali berkunjung ke Yerusalem, saya sering tertegun melihat orang-orang Yahudi orthodox yang penampilannya sama semua. Agak mirip dengan China di era Mao yang masyarakatnya dibangun oleh dogma pada rezim otoriter dengan pakaian ala Mao. Di China, orang-orang tua di era Mao jarang senyum, sama seperti orang Yahudi yang baru terlihat happy  saat upacara tertentu di depan Tembok Ratapan. Itupun tak semuanya. Sebagian terlihat murung dan menangis persis di depan tembok yang banyak celahnya dan di isi kertas-kertas bertuliskan harapan dan doa.

Perhatian saya tertuju pada jas hitam, baju putih, janggut panjang dan topi kulit berwarna hitam yang menjulang tinggi di atas kepala mereka. Menurut Dr. Stephen Carr Leon yang pernah tinggal di Yerusalem, saat istri mereka mengandung, para suami akan lebih sering berada di rumah mengajari istri rumus-rumus matematika atau bermain musik. Mereka ingin anak-anak mereka secerdas Albert Einstein, atau sehebat Violis terkenal Itzhak Perlman.  

Saya kira bukan hanya orang Yahudi yang ingin anak-anaknya menjadi orang pintar. Di Amerika Serikat, saya juga melihat orang-orang India yang membanting tulang habis-habisan agar bisa menyekolahkan anaknya. Di Bekasi, saya pernah bertemu dengan orang Batak yang membuka usaha tambal ban di pinggir jalan. Dan begitu saya intip rumahnya, di dalam biliknya yang terbuat dari bambu dan gedek saya melihat seorang anak usia SD sedang belajar sambil minum susu di depan lampu templok yang terterpa angin.Tapi tahukah anda, orang-orang yang sukses itu sekolahnya bukan hanya 5 senti?

Dari Atas atau Bawah ? Sekolah 5 senti dimulai dari kepala di bagian atas. Supaya fokus, maka saat bersekolah, tangan harus dilipat, duduk tenang dan mendengarkan. Setelah itu, apa yang di pelajari di bangku sekolah diulang dirumah, di tata satu persatu seperti melakukan filing, supaya tersimpan teratur di otak. Orang-orang yang sekolahnya 5 senti mengutamakan raport dan transkrip nilai. Itu mencerminkan seberapa penuh isi kepalanya. Kalau diukur dari kepala bagian atas, ya paling jauh menyerap hingga 5 sentimeter ke bawah.

Tetapi ada juga yang mulainya bukan dari atas, melainkan dari alas kaki. Pintarnya, minimal harus 50 senti, hingga ke lutut. Kata Bob Sadino, ini cara goblok. Enggak usah mikir, jalan aja, coba, rasain, lama-lama otomatis naik ke atas. Cuma, mulai dari atas atau dari bawah, ternyata sama saja. Sama-sama bisa sukses dan bisa gagal. Tergantung berhentinya sampai dimana.

Ada orang yang mulainya dari atas dan berhenti di 5 senti itu, ia hanya menjadi akademisi yang steril dan frustasi. Hanya bisa mikir tak bisa ngomong, menulis, apalagi memberi contoh. Sedangkan yang mulainya dari bawah juga ada yang berhenti sampai dengkul saja, seperti menjadi pengayuh becak. Keduanya sama-sama berat menjalani hidup, kendati yang pertama dulu bersekolah di ITB atau ITS dengan IPK 4.0. Supaya bisa menjadi manusia unggul, para imigran Arab, Yahudi, China, dan India di Amerika Serikat menciptakan kondisi agar anak-anak mereka tidak sekolah hanya 5 senti tetapi sekolah 2 meter. Dari atas kepala hingga telapak kaki. Pintar itu bukan hanya untuk berpikir saja, melainkan juga menjalankan apa yang dipikirkan, melakukan hubungan ke kiri dan kanan, mengambil dan memberi, menulis dan berbicara. Otak, tangan, kaki dan mulut sama-sama di sekolahkan, dan sama-sama harus bekerja. Sekarang saya jadi mengerti mengapa orang-orang Yahudi Mengirim anak-anaknya ke sekolah musik, atau mengapa anak-anak orang Tionghoa di tugaskan menjaga toko, melayani pembeli selepas sekolah.

Rabu, 15 Februari 2012

[KLIPING] Growth Mindset by. Rhenald Kasali

pic.source: http://padangekspres.co.id/up/nberita/
Saya sering dibilang gila dan dimarahi anak-anak (baca: murid-murid) saya, kalau saya bilang Ijazah gak penting, angka gak penting dan gak lulus UN?..so what gitu loh...
Simak paparan Rhenald Kasali tentang Growth Mindset ini...
____________________________________________________

Hari Sabtu kemarin, sekitar seribu orang mengikuti yudisium di FEUI. Mereka terdiri dari lulusan S1, S2, dan S3. Diantaranya ada 40 anak didik saya di MMUI yang lulus dengan prestasi cum-laude, dan dua diantaranya lulus dengan IPK sempurna (4.0). Bahkan salah satu yang lulus dengan IPK sempurna itu (keduanya perempuan), berusia paling muda (21,5 tahun).

Tetapi sepulang dari acara yudisium saya menerima sebuah release terbaru yang dikeluarkan oleh FBI tentang latar belakang dan perilaku orang-orang terkenal. Salah satunya siapa lagi kalau bukan almarhum Steve Jobs. Laporan mengenai Steve Jobs terbaca jelas, ditulis oleh analis yang terkesan tidak senang terhadap almarhum (wajar karena menurut orang dalam Apple, petugas FBI yang ditugaskan melakukan wawancara, dibuat Jobs harus menunggu selama 3 jam sebelum diterima). Namun demikian, penulisnya mencoba memberikan data-data objektif sehingga terkesan Jobs bukan seorang yang cerdas.

“Meski terkenal, ia ternyata hanya punya indeks prestasi kumulatif 2,65 pada saat duduk di tingkat SLTA”, ujar laporan itu. Angka ini jelas objektif dan bukan diambil dari pikiran penulis. Kalau Anda membaca report ini jauh sebelum Jobs dikenal, mungkin Anda termasuk orang yang menilai orang ini tidak cerdas. Tetapi karena kita membacanya sekarang, paling Anda mengatakan apa urusannya IPK dengan karya yang telah dibangun seseorang. Bukankah impak jauh lebih penting daripada paper dan IPK?

Seperti yang pernah saya tulis pada kolom di Jawa Pos setahun yang lalu, manusia memiliki dua jenis mindset, yaitu growth mindset dan fixed mindset. Orang-orang yang memiliki settingan pikiran tetap (fixed mindset) cenderung sangat mementingkan ijazah dan gelar sekolah, sedangkan mereka yang tumbuh (growth mindset) tetap menganggap dirinya "bodoh". Baginya ijazah dan IPK hanya merupakan langkah kemarin, sedangkan masa depan adalah soal impak: apa yang bisa Anda diberikan atau dilahirkan. Maka kepada mereka yang pernah belajar dengan saya selalu saya tegaskan, pintar itu bagus, tetapi impak jauh lebih penting. Celakanya universitas banyak dikuasai orang-orang yang bermental ijazah dan asal sekolah sehingga mereka terkurung dalam penjara yang mereka set sendiri, yaitu fixed mindset. Bagi mereka impak itu sama dengan paper, atau kertas karya, terlepas dari apakah bisa dijalankan atau tidak.

Minggu, 12 Februari 2012

Saya, Manusia Biasa... ^.^

April nanti Ujian Nasional digelar, semua sekolah menengah atas seantero Indonesia melakukan banyak hal untuk kelulusan siswa di sekolahnya.
Termasuk di sekolah saya, anak-anak berangkat pagi seperti biasa belajar di sekolah dari jam 7 - 14.15, kemudian dilanjut jam 14.30 - 15.30 setiap hari Senin sampai Sabtu tanpa henti. Bahkan ketika mereka harus melaksanakan Tryout jam 6.45 - 10.30, setelahnya pelajaran seperti biasa dan sore tetap wajib ikut tambahan pelajaran.
Kondisi diatas sudah berlangsung 1,5 bulan ini. Kelelahan, pikir dan badan, belum kalau pulang sore hujan, juga jarak sekolah dan rumah yang jauh membuat mereka saat dikelas mengantuk dan bosan.

Sebelum semua ini mereka lakukan ketika awal masuk kelas XII saya sudah mengajukan pilihan kepada mereka, saya sudah menceritakan apa saja yang akan mereka hadapi di kelas XII ini--Mereka semua mengatakan mereka siap!!..

Beberapa minggu ini banyak keluhan dan protes dari mereka, pelajaran yang padat, buku-buku yang tidak memadai, badan capek semua. Belum keluhan dari guru-guru lain tentang sikap beberapa anak-anak saya yang seenaknya kalau di kelas, tidur, main hp, tidak mau mengerjakan tugas, ngobrol, bolos dan melawan mereka.

Saya sebagai wali kelas mereka, merasakan kondisi ini sangat-sangat sangat tidak nyaman.
Saya semangati mereka setiap saat, saya bangunkan tahajud di tengah malam, saya berikan film-film pembangkit motivasi, saya ceritakan bagaimana menjadi seorang yang tangguh dan tahan banting, karena hidup ini keras, saya minta mereka menarasikan beberapa buku tentang perjuangan orang-orang sebelum mereka mendulang kesuksesan.

Saya buat kelompok tutorial yang baru, sehingga mereka bisa belajar bersama dengan baik, saling mengisi, saling berbagi terutama mengenai hal-hal yang tidak dipahami.

Perkembangannya memang naik turun, baik sikap dan perilaku mereka tapi juga angka-angka mereka--tapi banyakan turunnya apa lagi seminggu terakhir ini, anak-anak, saya lihat tambah seenaknya sering tidak ada di kelas, bahkan ada satu pagi 6 anak terlambat masuk kelas, juga sering ketika pelajaran mereka nongkrong di kantin tidak mau mengikuti pelajaran.

Laporan-laporan tentang anak-anak saya berdatangan lagi, bahkan ada 3 anak dimarah di depan banyak guru--hal hal semacam ini sangat menyakitkan buat saya. (maksudnya rasanya nggak adil buat anak-anak saya untuk dimarah dan diintimidasi semacam itu)

HIDUP MEMANG SERING TERASA BERAT DAN TIDAK ADIL, BUT YOU HAVE TO FACE IT and FIGHT FOR IT!!

Kemarin tengah malam, di saat saya membangunkan mereka untuk tahajud sms saya berbunyi :
TERNYATA..Do'a yang kupanjatkan, semangat yang kugaungkan, kasih sayang yang kucurahkan, perhatian yang kuberikan--dibalas anak-anakku dengan malas-malasan, lebay dan banyak alasan!! Ya Allah inikah ujian keikhlasanku untuk membuat mereka mengenal diri mereka, menjadi manusia tangguh, pantang menyerah dan bahagia??

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...