Jumat, 27 Januari 2012

Air Mata Rahasia - Anna Farida

Pertama saya tertarik membaca buku ini karena tidak beda jauh dengan keadaan saya saat ini....*nggak bermaksud curcol

Anna Farida mengisahkan Ibu Dewi Trenggono sebagai wanita yang tangguh dengan sangat "enak"--gaya bahasa tulisannya mengalir, mudah dipahami dan bagus. Tulisan dalam buku ini tidak menggurui tapi cukup mengena, ada juga tambahan semacam catatan yang berisi puisi, ayat Al Qur'an juga do'a-do'a. yang sesuai dengan keadaan ibu Dewi dalam cerita itu

Dikisahkan bahwa pengusaha sukses sekaliber Heppy Trenggono  pernah mengalami pailit, terlilit hutang hingga 62 miliar, yang pada akhirnya bisa kembali normal dalam empat tahun dan membukukan aset tak kurang dari 4 Triliun. Apa pasal?
Ada seseorang yang bisa menyelesaikan permasalahan keuangan perusahaan tersebut, seseorang yang belum pernah belajar formal, mengenai keuangan dan pembukuan, seseorang itu adalah Dewi Trenggono yang tak lain istrinya sendiri.

Minggu, 22 Januari 2012

Charlotte Mason di Kelasku - 2

Charlotte Mason Method
A method of education popular with homeschoolers in which children are taught as whole persons through a wide range of interesting living books, firsthand experiences, and good habits.the Charlotte Mason method, is centered around the idea that education is three-pronged: Education is an Atmosphere, a Discipline, a Life.
http://simplycharlottemason.com/basics/what-is-the-charlotte-mason-method/
Charlotte Mason sendiri adalah seorang guru di Inggris yang hidup di tahun 1800 an hingga 1900 an
Namun metodenya banyak digunakan oleh para homeschooler karena dirasa lebih mudah diterapkan di lingkukan HSer daripada di sekolah.

Menurut saya sayang sekali jika metode ini tidak bisa dinikmati oleh anak-anak sekolah--
Tujuan utama pendidikan adalah pembangunan karakter yang luhur dalam diri anak. "Bakat, IQ, kejeniusan, banyak terkait faktor genetik; namun karakter adalah prestasi, suatu pencapaian nyata yang terbuka kemungkinannya bagi siapa saja, baik bagi kita orang dewasa maupun bagi anak-anak kita; dan kehebatan sejati dalam sebuah keluarga atau seorang individu dinilai dari karakternya. Orang-orang besar kita anggap besar semata-mata karena kekuatan karakter mereka." (Charlotte Mason, vol. 2 p. 72)
http://www.cmindonesia.com/1/post/2011/11/10-karakteristik-pendidikan-charlotte-mason.html


Belakangan ini pendidikan karakter mulai digaungkan, bahkan lesson plan atau RPP yang dibuat oleh guru harus menyertakan instrumen-instrumen karakter yang akan dicapai. Namun menurut saya itu tidak cukup, pada kenyataannya TETAP guru masih saja mengejar target kurikulum dan ANGKA raport, dan masih saja mengesampingkan perasaan anak-anak alih-alih membangun karakter mereka.

pernyataan tentang CM yang menguatkan metodenya adalah
The only means a teacher may use to educate children are the child's natural environment, the training of good habits and exposure to living ideas and concepts. This is what CM's motto "Education is an atmosphere, a discipline, a life" means.

If we can't use suggestion, affection or influence to motivate children to learn, what can we use? Three things--atmosphere, discipline and life. That may sound limiting, but those three things are more vast than we suppose!
http://www.design-your-homeschool.com/Charlotte_Mason_Your_Design.html


Saya masih belajar mengenai metode ini, banyak trial error dalam pembelajaran, namun untuk menyajikan sebuah lingkungan belajar dan menumbuhkan kebiasaan yang baik, saya mulai berpikir dan mencoba menggunakan metode Charlotte Mason ini, yang sampai sekarang masih digunakan di sekolah-sekolah Ambleside di seluruh dunia.
Berikut adalah yang saya coba lakukan di kelas beberapa waktu lalu :
Saya mencoba menggabungkan materi di kelas XII, Manajemen, Kewirausahaan dan Koperasi  (yang seharusnya diajarkan dalam waktu satu bulan ini, karena februari dan maret waktunya drill soal untuk Ujian Nasional. Beberapa guru lain bahkan sudah memulainya awal semester ini )

Selasa, 17 Januari 2012

Charlotte Mason di Kelasku - 1

charlottemasoncollege.freeservers.com
Menggabungkan apa yang sudah ada di kepala tentang pembelajaran di kelas dan pendidikan karakter anak bangsa ini dengan kurikulum sesuai Standar Isi yang telah ditetapkan Pemerintah memang bukan hal yang gampang.

Banyak keluhan yang saya baca baik di milis guru maupun di grup guru, mengenai pertentangan antara nilai akademik dengan soul atau Jiwa dari mata pelajaran yang diampu. Ada lagi kendala tentang banyaknya jumlah mata pelajaran dan materi yang harus tersampaikan, juga target Ujian Nasional yang harus dicapai.

Saya ingat beberapa postingan Ellen Kristi mengenai metode Charlote Mason. salah satu metode charlote mason adalah konsepnya tentang habit training sebagai teknik praktis pendidikan karakter. Education is a discipline, kata Charlotte. Disiplin itu berarti orangtua secara terencana dan sistematis melatihkan kebiasaan-kebiasaan baik ke dalam hidup sehari-hari anak. Seorang anak yang telah terbiasa memikirkan perkara-perkara mulia dan luhur, sampai kebiasaan itu terbentuk sebagai karakternya, akan lebih sulit mengubah dirinya menjadi pribadi yang suka berpikir jahat. Charlotte mengumpamakan habit training ini seperti proses memasang rel-rel kereta api. Sudahkah orangtua secara serius memikirkan jalur mana yang musti ditempuh anak agar gerbong-gerbong kehidupannya bisa sampai ke stasiun tujuan? Maka ke sanalah sepatutnya mereka secara konsisten memasang lintasan-lintasan yang nyaman untuk dilewati agar “si pelancong kecil bisa melaju dengan kecepatan penuh”. Yang tak kalah penting adalah prinsip Education is an atmosphere, anak menyerap pengaruh lingkungan sama seperti ia menghirup udara untuk bernafas, maka orangtua dan guru musti bertindak selaras dengan perannya sebagai pemberi inspirasi bagi anak-anak. Seperti kata Naomi Aldort, raising children is raising ourselves, mendidik anak-anak pada hakikatnya adalah mendidik diri sendiri. (source : http://www.cmindonesia.com/1/post/2011/11/10-karakteristik-pendidikan-charlotte-mason.html)

Charlote Mason adalah seorang guru inspiratif buat saya, membaca ringkasan-ringkasan Ellen Kristi di Group CM membuat saya menyadari betapa pentingnya menumbuhkan kesukaan belajar pada anak-anak saya (baca: murid-murid) secara alami, berikut beberapa ringkasan itu :



Menyalahgunakan salah satu dari hasrat alami anak lebih dari porsi yang semestinya berisiko melumpuhkan hasrat akan pengetahuan, yang harus menjadi motivasi utama dari proses belajar. Sistem peringkat, nilai, dan sejenisnya membuat anak hanya mau belajar jika ada hadiah atau hukuman (reward and punishment). Para siswa cuma tergerak untuk membaca kalau diberitahu bahwa bahan bacaan itu akan keluar waktu ujian. Pikiran mereka dangkal dan pasif, menunggu guru mengunyahkan pelajaran bagi mereka. Guru terpaksa harus bekerja keras menyajikan pelajaran yang menghibur supaya mereka mau tetap memperhatikan. Nanti setelah lulus sekolah, mereka cenderung menjadi pekerja tanpa motivasi, sekedar melewati hari demi hari dalam pekerjaan yang sebetulnya tidak memuaskan batin mereka. Mereka orang-orang yang penurut dan baik hati, tapi tanpa kebesaran karakter; mereka tak punya dan tak berani mengejar cita-cita yang lebih mulia. - Ringkasan Vol. 6 A Philosophy of Education, pp. 80-93 (10) 

[Mempermainkan Hasrat Alamiah] Sekolah dan guru acap memupuk hasrat yang salah dalam diri anak demi mencapai target dan tujuan mereka, khususnya hasrat untuk menonjol, bersaing, dan memperoleh pujian. Hasrat alamiah ini dimanfaatkan habis-habisan supaya anak mau bekerja lebih keras. Ketika siswa-siswa itu mencetak nilai tinggi atau menjadi juara di berbagai perlombaan, nama sekolah makin harum, makin banyak orangtua yang tertarik untuk mendaftarkan anaknya ke sana, tapi semua itu harus dibayar dengan padamnya hasrat alami anak untuk belajar. Semua ini berujung pada “pemelaratan kepribadian” ketika selera intelektual anak menjadi sempit, sebab ia tidak lagi mengejar pengetahuan semata-mata karena ia cinta belajar, melainkan tujuan-tujuan pragmatis yang lebih rendah. - Ringkasan Vol. 6 A Philosophy of Education, pp. 80-93 (6) 

Senin, 16 Januari 2012

[KLIPING] Guru Amateur vs Guru Professional

Apa yang ada di benak kita bila mendengar kata Amateur? Pasti sesuatu yang tidak professional, kualitas rendah, dikerjakan oleh mereka yg tidak kompeten dstnya, bahkan dikesankan sebagai sesuatu yang tidak Ihsan alias dikerjakan tanpa metode dan teknik yang benar.

Dalam arena olahraga juga demikian, secara "common sense", amateur pasti sesuatu yg identik dengan pemula, "amatiran", jam terbang bertanding yang sedikit, bahkan secara komersial, adalah sesuatu yg tidak layak untuk "dijual" dan "ditonton".

Inilah kaprah yang salah. Padahal para olahragawan yang mengharumkan nama bangsa dengan kecintaan dan perjuangan yg luar biasa di pertandingan non-professional adalah para Amateur. Jadi Amateur tidak identik dengan sesuatu yg tidak berkualitas.

Bicara soal ini pada guru konservatif, tentu saja memang susah dimengerti, "Lho kalau gurunya amatir, gak profesional terus nanti siswa-siswanya gimana?"

Amatir (amateur) sederhananya dari kata “Amor” yang artinya cinta, kalau aktivitas kerja didasarkan pada Amatirisme maka ia didasarkan pada kecintaan, ketulusan dan pengabdian. Dengan demikian kerja Amateur adalah kerja yang dilandasi keikhlasan, kecintaan dan kualitas yang tinggi.

Sedangkan “Professional” adalah kata sifat dari “profesi” yang artinya secara ringkas adalah “pekerjaan” (kalau dikaji dari akar katanya, “profession” dari kata “profess” yang artinya “menunjukkan pada publik”), jadi: professional adalah bersifat pekerjaan. Pekerjaan itu apa? Pekerjaan adalah aktivitas yang tujuannya untuk menghasilkan produk atau mencapai tujuan tertentu, dan dari aktivitas itulah seseorang yang melakukannya mendapatkan bayaran. Dengan demikian, kerja professional adalah kerja untuk mendapatkan untung profit (profitable)bukan profesionalisme yang didasarkan pada spesialisasi kerja dan hasrat memperoleh profit.

Dalam perspektif ini, profesionalisme itu tidak ada kaitannya dengan kualitas guru yang baik, ini berbeda bab dan berbeda bahasan, tapi memang kita yang merunduk pada the dominant culture akhirnya sekadar merunduk pada "common sense" itu dan menganggap sama antara profesionalisme dan kualitas yang bagus. Entah darimana common sense ini muncul, bisa jadi karena kualitas dikaitkan dengan uang, jadi para professional pencari uang tanpa sadar diidentikkan dengan kualitas.

Jadi kalau untuk menaikkan kualitas guru, maka inisiatif program Pendidikan Profesi Guru (PPG) atau Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG) dengan sertifikasi adalah sesuatu yang tidak relevan dengan kualitas. Pertanyaan bahwa peningkatan mutu/kualitas guru lewat sertifikasi (lewat portofolio & PLPG) yang telah berjalan saat ini, apakah cukup efektif sebagai alat peningkatan profesionalisme guru, adalah ambigu.

Namun pertanyaan besarnya adalah: apakah cukup guru menjadi professional? Tepat atau tidakkah guru menjadi professional? Kalau Anda menjawab “iya”, maka Anda berada pada posisi yang bersebarangan dengan saya yang mengatakan “tidak”.
Mengapa? Karena bagi saya yang lebih penting dari profesionalitas dan profesionalisme adalah kualitas guru itu sendiri, kualitas tentu di sini dalam arti kualitas yang bagus berupa penguasaan pengetahuan, pemahaman dan pengamalan nilai, konstruksi kultural yang ia bawa dan sejenisnya. Kualitas tidak ada hubungannya dengan professional, itu sekali lagi sudah beda bahasan.

Selasa, 10 Januari 2012

Menulis adalah bekerja untuk keabadian \(^.^)/...

Pram...
Membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak terpisahkan, seperti kutipan Pram
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Pramoedya Ananta Toer--
Menulis karangan adalah hal yang paling saya benci di sekolah, karangan saya selalu dinilai jelek, tidak menuruti kaidah bahasa Indonesia yang benar, tidak berurutan SPOK nya--
Demikian juga membaca, saya sudah bisa membaca saat masuk SD, dan saya sangat bangga akan hal itu--setiap pelajaran menyimak-- saya sangat ingin diberi kesempatan untuk membaca cerita juga, sampai-sampai buku yang dibaca saya berdirikan dan covernya saya tutup dengan komik, supaya guru mengira saya tidak menyimak dan akan diberi kesempatan untuk membaca, tapi usaha saya ini Gatot, Gagal Total--saya tidak pernah diberi kesempatan untuk membacakan cerita ke teman-teman..:(

Enyd Blyton..:)
Pengalaman buruk ini tidak bisa menyurutkan kesukaan saya membaca, kebetulan orang tua saya juga mendukung, ada Bobo, ada Ananda, ada komik-komik seperti Asterix, Tintin--yang boleh saya baca kapan saja--kesukaan ini kemudian berkembang saat SMP hingga kuliah, saya suka buku-buku Enyd Blyton, Agatha Christie, Novel-novel Mira W, Shidney Sheldon, dan selanjutnya saya baca apa saja seperti Stephenie Meyer, JK Rowling, Dan Brown, Pram, Tetsuko Kuroyanagi,Tere liye kemudian buku-buku yang agak serius seperti Paulo Freire, Ivan Illich, Roem Topatimasang, Andrias Harefa, Hernowo Hasim dan masih banyak lagi

dari membaca berbagai buku itu saya jadi mengenal gaya bahasa dan soul dari setiap tulisan, soalnya saya juga baca novel habiburrahman, yang terasa jomplang sekali dengan novel andrea hirata, walau sama-sama best seller, demikian juga buku-buku dengan bahasa terjemahan yang tidak bagus

Minggu, 01 Januari 2012

[KLIPING] Kuliah Gratis di Universitas Mancanegara

By. Ines Puspita
source : http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/31/kuliah-gratis-di-universitas-mancanegara

Pernahkah kita membayangkan bisa kuliah dengan gratis atau biaya sangat minim tanpa beasiswa? Banyak dari kita merasa ini hanya mimpi kosong di tengah semakin maraknya komersialisasi pendidikan dan semakin melambungnya biaya kuliah akibat pernah diberlakukannya UU Badan Hukum Pendidikan. Meskipun UU BHP ini sudah dicabut saat ini, biaya belajar di perguruan tinggi sudah terlanjur mahal dan menciptakan lebih dalam lagi jurang kesenjangan dan diskriminasi belajar. Apa yang bisa dilakukan apabila semua universitas di Indonesia menutup pintu karena kita memiliki keterbatasan dana dan hambatan birokratis untuk bisa kuliah di Indonesia?

Banyak jalan yang bisa kita lakukan untuk mengenyam pendidikan tinggi meskipun memiliki berbagai keterbatasan. Jalan tersebut bisa disesuaikan dengan tujuan kenapa kita ingin mengenyam pendidikan tinggi. Apakah tujuan kita masuk universitas untuk menuntut ilmu yang kita minati setinggi-tingginya? Untuk modal mencari kerja? Untuk bisa berhubungan dan berjejaring dengan para akademisi di kampus?
Apapun tujuan kita berpendidikan tinggi, akses untuk mendapatkan pendidikan tersebut secara terjangkau bisa didapat lewat teknologi. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat dalam 1 dekade terakhir telah memungkinkan seseorang belajar dari jarak jauh sebaik belajar di kelas tatap muka. Inovasi-inovasi teknologi tersebutlah yang kemudian mendorong banyak universitas membuat Open Course Ware (OCW), yaitu sistem yang memungkinkan dibagikannya secara gratis materi kuliah yang dibuat oleh berbagai universitas via internet. Gerakan ini dimulai tahun 1999 oleh University of Tübingen di Jerman dan kemudian diikuti oleh puluhan universitas di 46 negara (data Open Course Ware Consortium tahun 2011).

Berbagai universitas telah membuka akses perkuliahan mereka. Sebut saja Tokyo Institute of Technology di Jepang, Taipe Medical School di Taiwan, University of Notre Dame di Belanda, King Khalid University di Saudi Arabia, Yale di Amerika Serikat dan masih banyak lagi. Mata kuliah yang ditawarkan di setiap universitas jumlahnya beragam dari puluhan hingga ribuan mata kuliah, dari mata kuliah yang umum dipelajari di universitas-universitas di Indonesia sampai yang tidak ada di Indonesia seperti mata kuliah Satellite engineering, Computer Games and Simulations, Lego Robotics, Digital Anthropology, 20th Century Art, The Ancient City, Reading Poetry, dan lain-lain.

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...