www.ourprg.com |
Tahun 1999, Sugata Mitra merupakan kepala ilmuwan di sebuah perusahaan
di New Delhi yang melatih para pengembang piranti lunak (software). Kantornya
berada di ujung sebuah kampung kumuh, dan pada suatu hari,
dia memutuskan menempatkan sebuah komputer di sebuah celah di dinding yang
memisahkan bangunan kantornya dengan kampung kumuh tersebut.
Selama tahun-tahun tersebut, Mitra menjadi lebih ambisius.
Untuk sebuah penelitian yang diterbitkan tahun 2010, dia memasukkan ke dalam
sebuah komputer materi-materi biologi molekuler dan memasangnya di Kalikuppam, sebuah
desa di India selatan. Dia memilih sekelompok anak berusia 10 – 14 tahun dan
memberitahu mereka bahwa ada hal menarik di dalam komputer tersebut, dan apakah
mereka ingin melihatnya? Lalu dia menerapkan metode pedagogisnya yang baru: Dia
tidak mengatakan apapun lagi dan pergi.
Selama lebih dari 75 hari, anak-anak tersebut berusaha
menemukan cara menggunakan komputer itu dan mulai belajar. Ketika Mitra kembali
ke desa tersebut, dia memberikan tes tertulis mengenai biologi molekuler.
Anak-anak itu menjawab sekitar satu dari empat pertanyaan dengan benar. Setelah
75 hari lainnya, dengan dorongan dari masyarakat setempat, mereka bisa menjawab
setiap pertanyaan dengan benar. “Jika kalian memberikan komputer di depan
anak-anak dan menghapus semua larangan orang dewasa, mereka akan berusaha
belajar dengan sendirinya,” kata Mitra, “seperti lebah-lebah di sekitar bunga.”
Seorang pengajak yang karismatik dan meyakinkan, Mitra telah
menjadi anak kesayangan di dunia teknologi. Di awal tahun 2013, dia memenangkan
dana hibah sebesar 1 juta dollar AS dari TED, sebuah konferensi ide-ide global,
untuk meneruskan upayanya. Sekarang dia sedang dalam proses membentuk tujuan
“sekolah di awan”, lima di India dan dua di Inggris. Di India, kebanyakan
sekolahnya ini merupakan bangunan dengan satu ruang. Tidak akan ada guru,
kurikulum atau pemisahan berdasarkan kelompok usia – hanya enam atau beberapa
komputer dan seorang perempuan yang mengurus keselamatan anak-anak. Prinsip
yang mendasarinya: “Anak-anak benar-benar berubah.”
“Hal paling mendasar
adalah, jika kalian tidak bisa mengendalikan pembelajaran kalian sendiri, maka
kalian juga tidak akan belajar.”
Mitra berpendapat bahwa revolusi informasi telah
memungkinkan sebuah gaya belajar yang sebelumnya mustahil. Bagian luar
sekolahnya kebanyakan akan terbuat dari kaca, sehingga orang luar bisa melihat
ke dalam. Di dalam, anak-anak akan berkumpul dalam beberapa kelompok mengitari
komputer dan meneliti topik-topik yang menarik bagi mereka. Dia juga merekruit
sekelompok guru Inggris yang sudah pensiun yang akan muncul beberapa kali di
layar-layar di dinding melalui sambungan Skype, guna mendorong para siswa
menyelidiki ide-ide mereka sendiri – sebuah proses yang dipercaya Mitra akan
paling mengangkat pembelajaran. Dia menyebut para guru tersebut Granny Cloud. “Mereka kan ditampilkan
secara langsung, di dua dinding” kata Mitra. “Dan anak-anak bisa mematikan
mereka.”
Upaya yang dilakukan Mitra ini berakar dari praktek
pendidikan yang bisa ditelusuri kembali sampai kepada Sokrates. Para ahli teori
dari Johann Heinrich Pestalozzi sampai Jean Piaget dan Maria Montessori telah
berpendapat bahwa anak-anak harus belajar dengan bermain dan mengikuti rasa
ingin tahu mereka. Einstein menghabiskan waktu satu tahun di sekolah yang
diilhami oleh Pestalozzi di pertengahan tahun 1890 dan kemudian memberinya
penghargaan karena memberinya kebebasan untuk memulai eksperimen-eksperimen
berpikir pertamanya mengenai teori relativitas. Para pendiri Google, Larry Page
dan Sergey Brin, menyatakan hampir sama bahwa pendidikan Montessori mereka
telah mengilhami mereka dengan semangat kemandirian dan kreativitas.
Selama beberapa tahun terakhir ini, para peneliti telah
mulai mendukung teori-teori tersebut dengan memberikan bukti. Dalam sebuah
penelitian tahun 2011, para ilmuwan di Universitas Illinois pada Urbana-Champaign
dan Universitass Iowa memindai aktivitas otak 16 orang yang duduk di depan
layar komputer. Layar ini dibuat kabur (tidak jelas) dan disisakan hanya dengan
persegi kecil yang bisa dipindah/digerakkan dimana dengannya para subyek
tersebut bisa melihat beberapa obyek yang diletakkan pada sebuah kisi/jaringan.
Selama setengah keseluruhan waktu, para subyek mengendalikan jendela persegi
tersebut, memungkinkan mereka menentukan kecepatan mereka meneliti obyek-obyek
tersebut; sisa waktu lainnya, mereka menonton pemutaran ulang seseorang yang
memindahkan jendela tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa ketika subyek
mengendalikan pengamatan mereka sendiri, maka mereka memperlihatkan koordinasi
lebih antara hippocampus (bagian otak
yang digunakan untuk mengingat/hafalan) dengan banyak bagian di otak lainnya
saat belajar dan memperlihatkan 23 persen peningkatan kemampuan mereka
untuk mengingat banyak obyek tersebut. “Hal yang paling mendasar, jika kalian
tidak bisa menjadi pihak yang mengendalikan pembelajaran kalian sendiri, maka
kalian juga tidak akan belajar” kata pemimpin penelitian Joel Voss, yang sekarang
menjadi seorang ilmuwan syaraf di Northwestern University.
Tahun 2009, para ilmuwan di Universitas Louisville dan Department of Brain and Cognitive Sciences di
MIT melakukan sebuah penelitian terhadap 48 anak antara usia 3 dan 6 tahun.
Anak-anak ini diberikan dengan mainan yang diantaranya bisa mengeluarkan bunyi
cicit/decit, memainkan nada dan merefleksikan gambar. Untuk sekelompok anak, para peneliti
memperlihatkan satu atribut dan membiarkan mereka bermain dengan mainan
tersebut. Untuk kelompok anak lainnya tidak diberikan informasi mengenai mainan
tersebut. Kelompok ini bermain lebih lama dan menemukan rata-rata enam atribut
mainan tersebut; kelompok yang sudah diberitahu sebelumnya hanya menemukan
empat. Sebuah penelitian serupa di UC Berkeley memperlihatkan bahwa anak-anak
yang tidak diberikan instruksi akan lebih mungkin datang atau muncul dengan
solusi-solsui baru terhadap suatu masalah. “Sains adalah sebuah hal baru,
tetapi ini bukanlah seolah-olah orang tidak memiliki intuisi sebelumnya” kata penulis
bersama Alison Gopnik, seorang profesor psikologi di UC Berkeley.
Penelitian Gopnik sebagian diinformasikan oleh banyak
kemajuan dalam bidang intelegensia artifisial. Ia berkata, jika Anda memprogram
setiap gerakan sebuah robot, ia tidak akan bisa terhadap apapun yang tak
terduga. Namun, jika para ilmuwan membuat mesin-mesin yang diprogram untuk
melakukan berbagai macam gerakan dan belajar dari kesalahan, robot-robot akan
menjadi jauh lebih bisa beradaptasi dan lebih terampil. Prinsip yang sama berlaku
untuk anak, katanya.
Para psikolog evolusioner juga telah mengeksplorasi cara
berpikir ini. Peter Gray, seorang profesor peneliti di Boston College yang mempelajari cara-cara
alami anak belakar, berpendapat bahwa mesin kognitif manusia secara mendasar
tidaklah kompatibel (tidak sesuai) dengan pendidikan konvensional. Gray mengemukakan
bahwa anak-anak kecil, didorong oleh rasa ingin tahu dan bermain, mengajari
diri mereka sendiri banyak sekali hal tentang dunia (hidup). Akan tetapi ketika
mereka menginjak usia sekolah, kita menggantikan dorongan bawaan lahir ini
dengan sebuah kurikulum yang dipaksakan. “Kita mengajarkan kepada anak bahwa
pertanyaannya tidak terlalu penting, bahwa yang penting adalah
pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kurikulum. Itu bukanlah cara seleksi alam
yang dirancang supaya kita belajar. Namun merancang kita untuk
menyelesaikan/menjawab soal/pertanyaan dan menemukan bahwa kita merupakan
bagian dari dunia nyata.”
Beberapa sistem sekolah telah mulai beradaptasi dengan
filosofi baru ini – dengan hasil-hasil terlalu besar. Periode 90an, Finlandia mengupas
kurikulum matematika SD dari sekitar 25 halaman menjadi empat, mengurangi jam
sekolah satu jam dan berfokus pada cara belajar mandiri dan aktif. Pada tahun 2003,
para siswa Finlandia menaiki anak tangga paling bawah dalam rangking prestasi
internasional menjadi tempat pertama di antara banyak negara maju.
Nicholas Negroponte, pendiri bersama MIT Media Lab, sedang
mengambil pendekatan ini lebih jauh dengan inisiatif Laptop per Child (satu laptop untuk satu anak). Tahun lalu,
organisasi ini mengirimkan 40 komputer tablet
kepada anak-anak di dua desa terpencil di Ethiopia. Tim Negroponte tidak
menjelaskan bagaimana cara kerja perangkat tersebut atau bahkan membuka kotak
kardus pembungkusnya. Meskipun demikian, anak-anak dengan cepat belajar
memainkan dan memutar ulang lagu alfabet dan mengajari diri mereka sendiri
menulis huruf. Mereka juga mengetahui cara menggunakan kamera tablet tersebut.
Ini mengesankan karena organisasi tersebut telah mengatur bahwa aplikasi kamera
tidak bisa digunakan. “Mereka telah meretas Android,” kata Negroponte.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar