Rabu, 23 Oktober 2013

Bagaimana Metode Pengajaran Radikal Bisa Membebaskan Generasi Anak Jenius - 2/4



www.ourprg.com

Tahun 1999, Sugata Mitra merupakan kepala ilmuwan di sebuah perusahaan di New Delhi yang melatih para pengembang piranti lunak (software). Kantornya berada di ujung sebuah kampung kumuh, dan pada suatu hari, dia memutuskan menempatkan sebuah komputer di sebuah celah di dinding yang memisahkan bangunan kantornya dengan kampung kumuh tersebut. 
Dia penasaran ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh anak-anak, khususnya jika dia tidak mengatakan apapun (tidak melarang mereka). Dia hanya memberikan daya pada komputer itu dan melihat dari kejauhan. Yang membuatnya terkejut, anak-anak dengan cepat menemukan cara bagaimana menggunakan mesin tersebut.
Selama tahun-tahun tersebut, Mitra menjadi lebih ambisius. Untuk sebuah penelitian yang diterbitkan tahun 2010, dia memasukkan ke dalam sebuah komputer materi-materi biologi molekuler dan memasangnya di Kalikuppam, sebuah desa di India selatan. Dia memilih sekelompok anak berusia 10 – 14 tahun dan memberitahu mereka bahwa ada hal menarik di dalam komputer tersebut, dan apakah mereka ingin melihatnya? Lalu dia menerapkan metode pedagogisnya yang baru: Dia tidak mengatakan apapun lagi dan pergi.
Selama lebih dari 75 hari, anak-anak tersebut berusaha menemukan cara menggunakan komputer itu dan mulai belajar. Ketika Mitra kembali ke desa tersebut, dia memberikan tes tertulis mengenai biologi molekuler. Anak-anak itu menjawab sekitar satu dari empat pertanyaan dengan benar. Setelah 75 hari lainnya, dengan dorongan dari masyarakat setempat, mereka bisa menjawab setiap pertanyaan dengan benar. “Jika kalian memberikan komputer di depan anak-anak dan menghapus semua larangan orang dewasa, mereka akan berusaha belajar dengan sendirinya,” kata Mitra, “seperti lebah-lebah di sekitar bunga.”
Seorang pengajak yang karismatik dan meyakinkan, Mitra telah menjadi anak kesayangan di dunia teknologi. Di awal tahun 2013, dia memenangkan dana hibah sebesar 1 juta dollar AS dari TED, sebuah konferensi ide-ide global, untuk meneruskan upayanya. Sekarang dia sedang dalam proses membentuk tujuan “sekolah di awan”, lima di India dan dua di Inggris. Di India, kebanyakan sekolahnya ini merupakan bangunan dengan satu ruang. Tidak akan ada guru, kurikulum atau pemisahan berdasarkan kelompok usia – hanya enam atau beberapa komputer dan seorang perempuan yang mengurus keselamatan anak-anak. Prinsip yang mendasarinya: “Anak-anak benar-benar berubah.”
 “Hal paling mendasar adalah, jika kalian tidak bisa mengendalikan pembelajaran kalian sendiri, maka kalian juga tidak akan belajar.”
Mitra berpendapat bahwa revolusi informasi telah memungkinkan sebuah gaya belajar yang sebelumnya mustahil. Bagian luar sekolahnya kebanyakan akan terbuat dari kaca, sehingga orang luar bisa melihat ke dalam. Di dalam, anak-anak akan berkumpul dalam beberapa kelompok mengitari komputer dan meneliti topik-topik yang menarik bagi mereka. Dia juga merekruit sekelompok guru Inggris yang sudah pensiun yang akan muncul beberapa kali di layar-layar di dinding melalui sambungan Skype, guna mendorong para siswa menyelidiki ide-ide mereka sendiri – sebuah proses yang dipercaya Mitra akan paling mengangkat pembelajaran. Dia menyebut para guru tersebut Granny Cloud. “Mereka kan ditampilkan secara langsung, di dua dinding” kata Mitra. “Dan anak-anak bisa mematikan mereka.”
Upaya yang dilakukan Mitra ini berakar dari praktek pendidikan yang bisa ditelusuri kembali sampai kepada Sokrates. Para ahli teori dari Johann Heinrich Pestalozzi sampai Jean Piaget dan Maria Montessori telah berpendapat bahwa anak-anak harus belajar dengan bermain dan mengikuti rasa ingin tahu mereka. Einstein menghabiskan waktu satu tahun di sekolah yang diilhami oleh Pestalozzi di pertengahan tahun 1890 dan kemudian memberinya penghargaan karena memberinya kebebasan untuk memulai eksperimen-eksperimen berpikir pertamanya mengenai teori relativitas. Para pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin, menyatakan hampir sama bahwa pendidikan Montessori mereka telah mengilhami mereka dengan semangat kemandirian dan kreativitas.
Selama beberapa tahun terakhir ini, para peneliti telah mulai mendukung teori-teori tersebut dengan memberikan bukti. Dalam sebuah penelitian tahun 2011, para ilmuwan di Universitas Illinois pada Urbana-Champaign dan Universitass Iowa memindai aktivitas otak 16 orang yang duduk di depan layar komputer. Layar ini dibuat kabur (tidak jelas) dan disisakan hanya dengan persegi kecil yang bisa dipindah/digerakkan dimana dengannya para subyek tersebut bisa melihat beberapa obyek yang diletakkan pada sebuah kisi/jaringan. Selama setengah keseluruhan waktu, para subyek mengendalikan jendela persegi tersebut, memungkinkan mereka menentukan kecepatan mereka meneliti obyek-obyek tersebut; sisa waktu lainnya, mereka menonton pemutaran ulang seseorang yang memindahkan jendela tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa ketika subyek mengendalikan pengamatan mereka sendiri, maka mereka memperlihatkan koordinasi lebih antara hippocampus (bagian otak yang digunakan untuk mengingat/hafalan) dengan banyak bagian di otak lainnya saat belajar dan memperlihatkan 23 persen peningkatan kemampuan mereka untuk mengingat banyak obyek tersebut. “Hal yang paling mendasar, jika kalian tidak bisa menjadi pihak yang mengendalikan pembelajaran kalian sendiri, maka kalian juga tidak akan belajar” kata pemimpin penelitian Joel Voss, yang sekarang menjadi seorang ilmuwan syaraf di Northwestern University.
Tahun 2009, para ilmuwan di Universitas Louisville dan Department of Brain and Cognitive Sciences di MIT melakukan sebuah penelitian terhadap 48 anak antara usia 3 dan 6 tahun. Anak-anak ini diberikan dengan mainan yang diantaranya bisa mengeluarkan bunyi cicit/decit, memainkan nada dan merefleksikan gambar.  Untuk sekelompok anak, para peneliti memperlihatkan satu atribut dan membiarkan mereka bermain dengan mainan tersebut. Untuk kelompok anak lainnya tidak diberikan informasi mengenai mainan tersebut. Kelompok ini bermain lebih lama dan menemukan rata-rata enam atribut mainan tersebut; kelompok yang sudah diberitahu sebelumnya hanya menemukan empat. Sebuah penelitian serupa di UC Berkeley memperlihatkan bahwa anak-anak yang tidak diberikan instruksi akan lebih mungkin datang atau muncul dengan solusi-solsui baru terhadap suatu masalah. “Sains adalah sebuah hal baru, tetapi ini bukanlah seolah-olah orang tidak memiliki intuisi sebelumnya” kata penulis bersama Alison Gopnik, seorang profesor psikologi di UC Berkeley.
Penelitian Gopnik sebagian diinformasikan oleh banyak kemajuan dalam bidang intelegensia artifisial. Ia berkata, jika Anda memprogram setiap gerakan sebuah robot, ia tidak akan bisa terhadap apapun yang tak terduga. Namun, jika para ilmuwan membuat mesin-mesin yang diprogram untuk melakukan berbagai macam gerakan dan belajar dari kesalahan, robot-robot akan menjadi jauh lebih bisa beradaptasi dan lebih terampil. Prinsip yang sama berlaku untuk anak, katanya.
Para psikolog evolusioner juga telah mengeksplorasi cara berpikir ini. Peter Gray, seorang profesor peneliti di  Boston College yang mempelajari cara-cara alami anak belakar, berpendapat bahwa mesin kognitif manusia secara mendasar tidaklah kompatibel (tidak sesuai) dengan pendidikan konvensional. Gray mengemukakan bahwa anak-anak kecil, didorong oleh rasa ingin tahu dan bermain, mengajari diri mereka sendiri banyak sekali hal tentang dunia (hidup). Akan tetapi ketika mereka menginjak usia sekolah, kita menggantikan dorongan bawaan lahir ini dengan sebuah kurikulum yang dipaksakan. “Kita mengajarkan kepada anak bahwa pertanyaannya tidak terlalu penting, bahwa yang penting adalah pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kurikulum. Itu bukanlah cara seleksi alam yang dirancang supaya kita belajar. Namun merancang kita untuk menyelesaikan/menjawab soal/pertanyaan dan menemukan bahwa kita merupakan bagian dari dunia nyata.”
Beberapa sistem sekolah telah mulai beradaptasi dengan filosofi baru ini – dengan hasil-hasil terlalu besar. Periode 90an, Finlandia mengupas kurikulum matematika SD dari sekitar 25 halaman menjadi empat, mengurangi jam sekolah satu jam dan berfokus pada cara belajar mandiri dan aktif. Pada tahun 2003, para siswa Finlandia menaiki anak tangga paling bawah dalam rangking prestasi internasional menjadi tempat pertama di antara banyak negara maju.
Nicholas Negroponte, pendiri bersama MIT Media Lab, sedang mengambil pendekatan ini lebih jauh dengan inisiatif Laptop per Child (satu laptop untuk satu anak). Tahun lalu, organisasi ini mengirimkan 40 komputer tablet kepada anak-anak di dua desa terpencil di Ethiopia. Tim Negroponte tidak menjelaskan bagaimana cara kerja perangkat tersebut atau bahkan membuka kotak kardus pembungkusnya. Meskipun demikian, anak-anak dengan cepat belajar memainkan dan memutar ulang lagu alfabet dan mengajari diri mereka sendiri menulis huruf. Mereka juga mengetahui cara menggunakan kamera tablet tersebut. Ini mengesankan karena organisasi tersebut telah mengatur bahwa aplikasi kamera tidak bisa digunakan. “Mereka telah meretas Android,” kata Negroponte.

Bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...