www.latintimes.com |
Juárez Correa menghabiskan malam-malamnya menonton
video-video pendidikan. Dia membaca banyak polemik yang dibuat oleh seorang
kartunis Meksiko yang bernama Eduardo del Río (dikenal dengan nama Rius) yang
berpendapat bahwa anak-anak harus dibebaskan untuk mengeksplorasi apapun yang
mereka mau. Juárez Correa juga dibuat terkesan oleh Mitra yang membicarakan tentang
membiarkan anak-anak “berkelana di dunia ide”. Juárez Correa mulai mengadakan
kegiatan debat rutin di kelas, dan dia tidak malu mengangkat topik-topik
kontroversial.
Dia bertanya kepada murid-muridnya apakah menurut mereka
homoseksualitas dan aborsi, Ia bertanya apakah mereka berpikir hal tersebut seharusnya
diperbolehkan? Dia bertanya kepada mereka untuk menemukan apa yang seharusnya
dilakukan oleh pemerintah Meskiko tentang imigrasi ke Amerika Serikat. Setelah
selesai mengajukan pertanyaan, dia akan berdiri di belakang barisan dan
membiarkan murid-murid saling berdiskusi satu dengan lainnya.
Sebuah komponen kunci dalam teori Mitra adalah bahwa anak
bisa belajar ketika mereka memiliki akses internet (masuk ke dunia web), tetapi
itu tidaklah mudah bagi para murid Juárez Correa. Negara membayar instruktur
teknologi yang mengunjungi tiap kelas setiap satu minggu, tetapi dia tidak
memiliki banyak teknologi untuk diperlihatkan. Sebaliknya dia memiliki setumpuk
poster yang menggambarkan keyboard, joystick dan 3.5-inch floppy disk. Dia akan
memegang poster dan berkata, “Ini yang disebut keyboard. Kalian menggunakannya
untuk mengetik.”
Sebagai akibatnya, Juárez Correa menjadi seorang penyalit
internet dalam gerakan lambat. Misalnya, ketika anak-anak ingin mengetahui
mengapa kita melihat bulan hanya satu sisinya saja, maka dia pulang ke rumah,
mencarinya di Google, dan membawa kembali penjelasan tersebut di hari
berikutnya. Ketika mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan spesifik seperti
gerhana dan waktu siang dan malam yang sama panjangnya, dia memberitahu
muridnya bahwa dia akan mencari tahu terlebih dahulu kemudian menjelaskannya di
kemudian hari.
Juárez Correa juga membawa sesuatu lainnya dari Internet,
yaitu dongeng binatang tentang seekor keledai yang sedih karena terperangkap di
dasar sumur. Karena para pencuri sering mendobrak masuk ke sekolah dan memotong
kabel listrik dari proyektor kelas (diduga untuk menjual tembaga yang ada di
dalam kabel tersebut), maka dia tidak bisa benar-benar memperlihatkan kepada
mereka video klip yang menceritakan dongeng tersebut. Maka, dia mendeskripsikan
dongeng tersebut kepada mereka.
Juárez Correa memulai kisah tersebut: Pada suatu hari,
seekor keledai jatuh ke dalam sumur. Dia tidak terluka tetapi tidak bisa
keluar. Pemilik keledai memutuskan bahwa binatang yang sudah tua itu tidak
layak dipelihara lagi, dank arena sumur itu kering, maka dia hanya akan
mengubur keduanya (keledai dan menutup sumur). Dia mulai menyekop
bongkahan-bongkahan tanah ke dalam sumur. Keledai itu berteriak minta tolong,
tapi lelaki itu terus menyekopi tanah ke dalam sumur. Pada akhirnya, keledai tadi hanya bisa diam. Lelaki itu menyimpulkan
bahwa keledai itu sudah mati, maka dia begitu terkejut, setelah banyak menyekop
tanah, keledai itu melompat keluar dari sumur. Dia telah kelaur dari gumpalan
tanah dan menaiki keluar sampai dia bisa melompat keluar.
Juárez Correa mengamati murid-muridnya. “Kita seperti
keledai tadi” katanya. “Segala hal yang dilemparkan kepada kita adalah sebuah
kesempatan untuk menaiki keluar dari sumur kita sekarang ini.”
Ketika ujian nasional standar selama dua hari dilakukan pada
bulan Juni 2012, Juárez Correa memandangnya sebagai tumpukan tanah lainnya yang
dilemparkan ke kepala anak-anak. Itu merupakan satu langkah mundur kembali ke
cara sekolah biasanya: mekanis dan membosankan. Untuk mencegah terjadinya
kecurangan, seorang koordinator dari Kementrian Pendidikan mengawasi proses
tersebut dan menjaga lembar jawaban di akhir ujian. Itu terasa seperti latihan
militer, tetapi anak-anak hancur dikarenakan pertanyana-pertanyaan tersebut,
mereka tidak bisa membantu memperhatikan bahwa itu terasa mudah, seolah-olah
mereka diminta melakukan sesuatu yang sangat mendasar.
Ricardo Zavala Hernandez, kepala sekolah di José Urbina
López, menikmati secangkir kopi setiap paginya ketika dia berselancar di dunia
maya (membuka banyak web) di kantor administrasi, sebuah bangunan terbuat dari
semen yang menaungi dua komputer sekolah. Suatu hari di bulan September 2012, dia
meng-klik situs ENLACE, tes prestasi nasional Meksiko, dan menemukan bahwa hasil
tes untuk bulan Juni telah diposting di sana.
Zavala Hernandez meletakkan cangkir kopinya. Kebanyakan
kelasnya kurang mendapatkan nilai bagus tahun ini, namun nilai Paloma merupakan
cerita yang baru. Tahun sebelumnya, 45 persen gagal untuk matematika dan 31
persen gagal untuk pelajaran bahasa Spanyol. Kali ini hanya 7 persen yang gagal
di matematika dan hanya 3,5 persen yang gagal pelajaran bahasa Spanyol. Dan
meskipun belum pernah ada yang mendapatkan nilai Tertinggi sebelumnya, 63
persen lulus kategori matematika. Nilai bahasa sangat tinggi. Bahkan nilai
terendah berada di atas rata-rata nasional. Kemudian dia memperhatikan nilai
matematika. Nilai teratas di kelas Juárez Correa adalah 921. Zavala Hernandez melihat
nilai teratas nasional 921. Ketika dia melihat kotak di sebelahnya, bulu kuduk
di tangannya berdiri. Nilai teratas untuk skala nasional juga 921.
Dia mencetak lembar tersebut dan dengan cepat berjalan ke
kelas Juárez Correa. Para murid berdiri ketika dia masuk.
“Lihat ini,” kata Zavala Hernandez, menyerahkan lembar cetak
tersebut.
Juárez Correa melihat cepat hasil tersebut dan mendongak. “Ini
benaran?” tanyanya.
“Aku baru saja mencetaknya dari situs ENLACE,” jawab wakil
kepala sekolah itu. “Ini benaran.”
Juárez Correa melihat ke arah muridk-murid yang menatapnya,
tetapi dia ingin memastikan terlebih dahulu bahwa dia benar-benar memahami
laporan tersebut. Dia membaca kembali hasil tersebut, menganggukkan kepala dan
menoleh ke arah murid-muridnya.
“Kita baru saja mendapat hasil ujian dari ENLACE,” katanya.
“Ini hanya tes dan bukan hal yang sangat besar.”
Sejumlah anak merasa kecewa. Mereka pasti telah gagal.
“Tapi ada satu murid di kelas kita yang mendapatkan tempat
pertama di seluruh Meksiko,” katanya sambil tersenyum.
Paloma mendapat skor matematika
tertinggi di negaranya, namun teman-temannya berada jauh di belakangnya.
Sepuluh anak mendapatkan nilai matematika yang menempatkan mereka pada
persentil tempat ke 99,99.
Tiga di antara mereka menempati level yang sama tingginya untuk bahasa Spanyol.
Hasil tersebut menimbulkan reaksi cepat dari pihak berwenang dan perhatian
media di Meksiko yang difokuskan pada Paloma. Dia diterbangkan ke Mexico City dan
muncul di sebuah pertunjukan TV terkenal dan menerima berbagai macam hadiah,
seperti sebuah laptop dan sepeda.
Juárez Correa sendiri hampir tidak mendapatkan pengakuan
apapun, meskipun terdapat fakta bahwa hampir setengah dari kelasnya berprestasi
baik pada tingkat dunia dan bahkan mereka dengan prestasi terendah telah
mengalami keamjuan.
Banyak muridnya yang lain diberikan ucapan selamat oleh
keluarga dan teman. Orangtua Carlos Rodríguez Lamas, yang menempati rangking ke
99,99 untuk matematika, mentraktirnya tiga steak taco. Itu pertama kalinya dia
makan di restoran. Keila Francisco Rodríguez mendapat 10 peso dari orang
tuanya. Dia membeli sekantung plastik Cheetos. Anak-anak sangat senang. Mereka
mengobrol tentang menjadi dokter, guru dan politikus.
Juárez Correa memiliki perasaan campur aduk mengenai hasil
tes tersebut. Murid-muridnya telah berhasil karena dia telah menggunakan sebuah
metode pengajaran baru, salah satu yang lebih sesuai untuk cara anak belajar.
Ini merupakan sebuah contoh yang menekankan kerja kelompok, persaingan,
kreativitas dan lingkungan yang digerakkan oleh siswa. Maka ironis bahwa
anak-anak menjadi berbeda disebabkan oleh tes pilihan ganda konvensional.
“Ujian ini merupakan batas bagi guru,” katanya. “Semua tes itu menguji apa yang
kalian ketahui, bukan apa yang bisa kalian lakukan, dan aku lebih tertarik pada
apa yang bisa dilakukan oleh muridk-muridku.”
Seperti Juárez Correa, banyak inovator pendidikan berhasil
di luar arus utama. Sebagai contohnya, 11 sekolah menengah atas Jaringan
Internasional di New York City melaporkan angka kelulusan tinggi daripada
rata-rata kota itu untuk populasi yang sama. Mereka melakukannya karena atau
dengan cara menekankan suatu lingkungan (pembelajaran dan kolaborasi) yang
digerakkan oleh siswa. Pada koalisi banyak sekolah Big Picture Learning – 56
sekolah di seluruh AS dan 64 lainnya di seluruh dunia – para guru berfungsi
sebagai penasehat, menyarankan topik bidang bisnis dan masyarakat yang membantu
membimbing mereka masuk ke dalam masa pelatihan. Karena angka kelulusan SMA
tepat waktu di Amerika berkisar 75 persen, Big Picture meluluskan lebih banyak
dari 90 persen murid-muridnya.
Namun semua contoh ini – termasuk hanya ribuan siswa –
merupakan perkecualian untuk peraturan. Sistem secara keseluruhan mendidik
jutaan siswa dan lambat mengenali atau mengadopsi inovasi yang berhasil. Ini
adalah sebuah sistem yang dibangun hampir dua abad yang lampau guna memenuhi
kebutuhan era industri. Sekarang ketika masyarakat dan perekonomian kita telah
berkembang melebihi era tersebut, banyak sekolah kita juga harus ditemukan
kembali.
Selama ini, kita bisa melihat bagaimana masa depan di banyak
tempat seperti kelas Juárez Correa. Kita juga bisa melihat bahwa perubahan
tidak akan datang dengan mudah. Meskipun kelas Juárez Correa memberikan hasil
yang mengesankan, mereka hanya mengilhami sedikit perubahan. Francisco Sánchez
Salazar, kepala Regional Center of
Educational Development di Matamoros, bahkan bersifa tmenolak. “Metode pengajaran
itu sama sekali tidak berbeda,” katanya. Dia juga tidak percaya bahwa
keberhasilan anak akan menjamin adanya bantuan tambahan. “Kecerdasan berasal
dari kebutuhan,” katanya. “Mereka berhasil tanpa harus memiliki sumber daya.”
Lebih dari sebelumnya, Juárez Correa merasa seperti seekor
keledai dalam dongeng di atas. Tetapi kemudian dia ingat Paloma. Anak itu
kehilangan ayahnya dan tumbuh besar di dekat tempat pembuangan sampah. Di bawah
kondisi normal, prospeksnya akan dibatasi. Akan tetapi seperti keledai itu, dia
keluar dari gumpalan tanah; dan dia mulai memanjat dan melompat keluar dari
sumur.
END.. :)
END.. :)
Menetes air mata saya baca kisah di atas. seperti membaca sebuah dongeng, padahal baru terjadi setahun yg lalu.
BalasHapusSalut buat Paloma. Salut atas ide2nya juarez correa.
Agak susah buat diterapkan di dunia pendidikan kita, tapi bukan hal yg tidak mungkin.