Beberapa
hari yang lalu, saya mengikuti seminar nasional mengenai sistem
pendidikan yang membelenggu anak kreatif, saya juga mendapatkan pin yang
menarik, dalam pin tersebut digambarkan dua buah tangan seorang anak
yang memegang jeruji ruang penjara. *pin tersebut langsung saya sematkan
di tas ransel yang selalu saya bawa kemanapun saya pergi*..
Pembicara dari seminar ini adalah para pelaku pendidikan yang berbeda kalau boleh dibilang ”nyleneh’ dan ”gila”
Pembicara
pertama ibu Diana, beliau pembina di SKB sebuah institusi informal
milik pemerintah, yang mendidik anak-anak dari 0 tahun sampai para orang
tua buta aksara.
Disini beliau banyak berbicara mengenai pendidikan
anak usia dini, intinya pelajaran yang disampaikan semestinya student
center bukan teacher center, sistem pendidikan kita terbukti kurang
memberikan peluang anak-anak didik menjadi forever learner, prestasi
bukan angka, namun bagaimana anak mendapatkan suatu makna dari
pembelajarannya tanpa tekanan dari orang dewasa di sekitarnya, tidak
possesif dan lebih memberi kebebasan kepada anak.
Pembicara kedua
adalah seorang kepala sekolah yang inspiratif, bapak Hengky Kusworo,
beliau memiliki sekolah dari pre-school hingga SMA dengan jumlah peserta
didik kurang lebih 3000 anak. Sekolah ini memiliki lapangan bola
standar internasional dan fasilitas-fasilitas yang lengkap. Yang menarik
adalah, sekolah Terang Bangsa ini menerima murid-murid dari segala
latar belakang, sepertinya sekolah ini ingin mematahkan pendapat ”orang
miskin dilarang sekolah”, karena biasanya sekolah ”bagus” pasti mahal.
Beliau memberikan beasiswa bahkan bebas SPP dan pungutan apapun bagi
anak-anak jalanan, pemulung, pengemis dan lain sebagainya.
Yang
membuat saya amaze adalah, bagaimana beliau dapat mencampur dengan indah
murid kaya yang kalau sekolah naik Harrier dan murid miskin yang ibunya
sehabis mengantar anaknya sekolah, memulung sampah di sekolah itu.
Mereka
bermain bersama, belajar bersama dengan indah tanpa rasa iri dan
minder, semua sejajar, semua memiliki hak yang sama dan saling
menyayangi.
Sekolah ini juga menerima anak cacat, down sindrom dan
autis. Prinsipnya semua manusia sungguh-sungguh memiliki hak yang sama
untuk belajar.
Statement beliau terakhir, lakukan semua dengan sepenuh hati dan tulus, maka segala kemudahan akan mengikuti kita.
Nah pembicara ketiga ini, Bapak Bahruddin, pendiri komunitas belajar Qaryah Thayyibah.
Ada
yang menarik, yang baru menurut saya, bahwa guru hanya memfasilitasi
dan mendukung potensi yang ada dalam diri anak. Guru DILARANG
mengarah-arahkan dan memberi bimbingan, sebaiknya guru hanya
menyampaikan gagasan atas suatu masalah, dan keputusan terakhir
diserahkan pada anak, dan jika anak tersebut menolak gagasan guru,
justru hal tersebut yang diharapkan.
Beliau mengambil kata-kata
Romo Mangun – semua anak cerdas, semua anak memiliki keingintahuan,
dalam diri anak sudah ada MAHAGURU, maka jangan bunuh MAHAGURU itu,
wahai guru.
Anak tidak boleh dibentuk dan dicetak, jika demikian
ini dilakukan berarti kita telah membunuh hak anak untuk berkembang,
yang boleh dibentuk dan dicetak adalah batu bata hehe..