Jumat, 29 Juni 2012

School is Out, Education is In

Maaf agak kabur, ini Jonan dan disebelah adalah intepreternya
Sesi kedua disampaikan oleh Jonan Donaldson M.SEd,  pengajar di Faculty Support Specialist for Distance Education and Academic Technology at Chemeketa Community College, Oregon USA, juga pengajar di Western Oregon University

judul makalahnya aja udah bikin saya excited, hehe
Bener juga, ternyata Jonan homeschooler, dan mulai belajar seperti anak sekolah saat dia kuliah di usia 15 tahun haaaah???. Dari usia 6 bulan ibunya selalu membacakan buku, sebelum tidur tanpa henti, menariknya buku yang dibacakan ke Jonan bukan buku cerita anak anak tapi buku bacaan ibunya. Hal tersebut bikin Jonan semangat untuk bisa baca, biar bisa baca buku buku dia sendiri hehe. Gurunya adalah ayah ibunya, mereka membawa Jonan setiap minggu ke perpustakaan

Ketika agak besar dikit sekitar usia 12 tahun, orangtuanya memberikan kesempatan Jonan untuk memperbanyak pengalaman di mana saja dia suka. Jonan mulai ikut kerja di medical laboratory belajar menghitung jumlah sel darah putih, bekerja di phisycal therapist belajar bagaimana melakukan treatment hydrotherapy, bekerja di remedial reading school dimana dia membantu orang orang penderita dyslexia bagaimana membaca, bekerja di rumah sakit, di ladang pertanian dan bekerja di sekolah menangani database.

Cerita ini katanya, membuktikan bahwa cara sekolah, dengan semua pengajaran, drill dan test adalah metode yang paling tidak efektif, cerita dia diatas membuktikan bahwa pendidikan bisa lebih baik, orang tua Jonan tidak mengajar dia apa yang mereka ketahui, tetapi lebih pada membantunya untuk menggambarkan apa yang ingin Jonan ketahui dan membuat si Jonan memperoleh pengetahuan atau ketrampilan yang dia butuhkan. Waaaaa saya banget gak sih...:)


Katanya lagi, kita nih sebagai guru seharusnya nggak perlu memberikan apa yang kita ketahui ke murid murid kita, pengetahuan kita terbatas. Einstein (1929) said that imagination is more important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination has no limits. Jika kita memberikan apa yang kita ketahui ke murid kita, maka yang mereka tahu nggak jauh dari yang kita tahu. Like this Jonan...hehe

Seharusnya sebagai Guru kita harus membantu murid murid kita memiliki pengetahuan FAR beyond us, jaaauuuuh diatas kita, mereka harus lebih baik dalam segala hal dari kita, mereka harus bisa menjadi seseorang yang bahkan mereka sendiri tidak sanggup memimpikannya. (terjemahan saya nih.., tapi bisa dipercaya kok :)


Nha untuk itu kuncinya adalah bagaimana kita bisa mengembangkan kreatifitas mereka, langkah pertama adalah embraces mistakes, Jonan menggambarkan bagaimana Thomas Alva Edison melakukan 2000 kali kesalahan hingga dia bisa menemukan lampu, atau rata rata orang kaya di dunia pernah bangkrut selama 4 kali (Tracy, 2009), orang semacam apa ya yang bisa bertahan akan kesalahannya hingga sedemikian rupa, is it a strong will? NO, itu adalah karakter bahwa menyukai eh mencintai kesalahan love mistakes just as dearly as successes, seseorang yang meilhat kesalahan sebagai pembelajaran dan pengalaman yang menyenangkan, merekalah orang orang yang akan mencapai keberhasilan.

Hiks coba kita ya, salah sedikit aja, yang nyalah nyalahin bisa sampai bertahun tahun, atau salah sedikit aja yang nyukurin bejibun....... :(((((((

Terus gimana penerapannya di kelas
Ketika murid melakukan kesalahan, cari cara gimana meyakinkan mereka bahwa berbuat kesalahan itu BAIK. Perlihatkan kepada murid anda mudahnya anda melakukan kesalahan, tunjukkan kesalahan anda sendiri setiap saat anda membuatnya (Darling-Hammond & Mc Laughlin, 1995; Donaldson, 2012). Alasannya hal ini akan membuat kita menutup mulut ketika anda mengatahui murid anda berada on the wrong track-just trust them!!. Mereka, anak-anak tahu kemana mereka akan berlanjut dan mungkin mereka akan menemukan a better path than you have in mind. Waaaa hiks, ampuni hamba ya Allah, mudah mudahan, saya nggak segitu banget membuat anak anak terpasung dengan kesalahan yang mereka buat. --a better path than you have in mind, wow siapa saya yaaa sok sokan deh sukanya *jedotinkepala

Langkah yang kedua adalah allow autonomy, memberikan murid murid kekuatan dan kekuasaan atas keinginan belajar mereka, letting them decide what they will to learn, when they will learn it and how they will learn it.... hahahaha walah walah Jonan gara gara ini, saya sampai nggak percaya saya nih pantes jadi guru nggak yaa, dia nggak tahu gimana beratnya menerapkan itu di sekolah kita.

Tentu saja murid kita nggak semua tahu apa yang ingin mereka pelajari, disitulah peran kita. Guru dapat memberi banyak pilihan. Anda dapat memberikan tujuan pembelajaran, misalkan memahami tata surya, kita bagi anak anak dalam kelompok, biarkan mereka memutuskan bagian tata surya yang mana yang ingin mereka pelajari dan dalami, biarkan mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan atas pilihan belajar mereka. Setelah itu, murid murid ini mempresentasikan apa yang mereka peroleh di kelas.

Ada sekolah High Tech High di San Diego California, gak ada kelas, gak ada guru, gak ada test, gak ada textbook, murid belajar bersama dengan fasilitator n murid lainnya untuk mendesain proyek, dan hasilnya 100% lulusan HTH masuk Universitas....wew kereeennn..:)

Dengan memberi kebebasan pilihan belajar, maka akan meningkatkan kreatifitas mereka. Ketika mereka tahu mereka boleh memilih apa yang mereka pelajari dan bagaimana mereka belajar, mereka akan lebih percaya diri


Langkah ketiga untuk membuat mereka kreatif adalah menumbuhkan motivasi intrinsik caranya no grades no test END THE TYRANY OF TEST AND GRADES hehe
Jonan cerita tentang Reed College salah satu universitas terkemuka setara Harvard, Yale, Princeton, Oxford dan Stanford atau masuk dalam Ivy College. Di Reed nilai akan dibagikan saat murid tersebut lulus. Professor keep track of grades, but they never tell students their grades. Dengan cara ini murid murid disana melakukan hal terbaik the best they can do deh. Tahu siapa yang pernah sekolah di Reed --Steve Jobs--

Inti yang saya tangkap, menumbuhkan kesukaan belajar dari dalam , bukan karena reward dan punishment, akan membuat mereka memiliki hasrat belajar murni, sehingga dapat menghasilkan karya karya masterpiece

Terakhir ada 3 best practices yang menurut Jonan bisa diterapkan di kelas, project based learning dan nanti hasilnya ditempel di kelas atau dalam bentuk portofolio, Colaborative learning dan Inquiry based learning, semua bisa diterapkan sendiri sendiri atau mix match.

Aaah sesi yang awesome, oya saat sesi tanya jawab, ada yang tanya bahwa hal tersebut akan sulit diterapkan disini terutama tiga hal tadi embraces mistakes, autonomy dan no test no grade. Jawab Jonan, disana juga sama, saya juga kesulitan menerapkannya, tapi saat kepsek menegur saya, saya keluarkan presentasi ini. Hahaha....berasa gimana gitu denger jawaban ini..:)

Masih bersambung yaaa...:)

5 komentar:

  1. waahh saya jadi ikut tersulut nih mba Ameliasari, keren n keren abis deh.. memang kita orang tua yang harus belajar ya sebelum bisa punya anak dan mengajar anak.. wah wah kita butuh berapa generasi nih.. Thanks for sharing, ijin share yaa..

    BalasHapus
  2. hahahaha....
    mari kita coba... yang jelas, tentang project anak-anak yang ditempelkan atau kita beri apresiasi itu memang sangat menumbuhkan minat mereka untuk lebih dan lebih lagi... guru gak boleh capek deh pokoknya *ini yang susah, guru ne akeh samberan soalnya.. qiqiqiqi...

    BalasHapus
  3. Pendidikan itu tergantung pada lingkungan dimana orang tinggal. Termasuk dari perhatian orang-orang disekitarnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. benar sekali education is an athmosphere kata CM, saya pernah membahasnya juga disini http://untukanakbangsa.blogspot.com/2012/04/ceritaku-tentang-cinta-yang-berpikir.html

      Hapus
  4. Memang susah betul itu diterapkan di Indonesia, tetap semangat untuk para guru demi memperbaiki pendidikan

    BalasHapus

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...