Oleh Sidharta Susila
Sumber : http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/10/15301522/Tragedi.Pendidikan
KOMPAS.com - Ada ironi nan
pilu dalam pendidikan kita. Kemasygulan ironi itu berulang dan kian
mengabaikan martabat pendidikan. Terbayangkankah guru memperlakukan
siswanya seperti barang tak berjiwa? Hal itu dilakukan hanya demi
kepentingan guru. Beginikah nasib pendidikan ketika uang begitu
memobilisasi dinamika pendidikan?
Riwayat pendidikan kita
diwarnai sejarah uang (gaji). Sampai lahirnya era Reformasi, gaji guru,
khususnya guru PNS, demikian kecil. Reformasi telah membalikkan nasib
guru, khususnya guru PNS. Pemerintah terus menaikkan gaji guru dan
memberikan beragam tunjangan.
Niat meningkatkan kesejahteraan
guru itu mulia. Sayang, begitu banyak guru yang belum selesai dengan
dirinya. Kepahitan hidup panjang karena gaji kecil membuat mereka
demikian dahaga uang. Jiwa mereka kian kerontang ketika panggilan jiwa
sebagai pendidik nihil. Guru hanyalah sebuah pekerjaan.
Ketika
pemerintah terus menaikkan gaji dan memberikan beragam tunjangan, mereka
tergagap-gagap hingga mabuk. Mereka tak lagi berpijak kukuh karena
nihilnya panggilan jiwa sebagai pendidik. Pengabdian dengan menjadi guru
menjadi tema usang dan bahan olok-olokan.
Pada gelora nafsu
meraup uang inilah sejumlah guru berubah karakter dari abdi menjadi
budak. Abdi itu pemuja kehidup- an yang memuliakan martabat diri.
Pilihan sikap dan tindakannya diorientasikan memuliakan kehidupan dan
martabat diri. Orientasi hidup abdi adalah investasi jangka panjang.
Budak
adalah kebalikannya. Sikap dan tindakan budak hanya untuk kepentingan
jangka pendek lagi egoistis. Budak hanya akan bekerja bila tahu akan
segera mendapat hasil/untung untuk dirinya. Budak tak peduli kalaupun
pilihan sikap dan tindakannya menghancurkan martabat dan kehidupan.
Perilaku
membudak (uang) ini tercecap pada kasus pembocoran soal ujian, proyek
buku, dan pembangunan pengadaan fasilitas pendidikan yang amburadul,
memberikan jasa manipulasi nilai, atau memecah jumlah kelas di
sekolahnya demi memenuhi tuntutan minimal proyek sertifikasi. Juga
ketika mereka terus menambah kelas dengan menerima sebanyak-banyaknya
siswa tanpa seleksi agar mencapai target minimal jumlah mengajar untuk
tuntutan sertifikasi. Tak peduli cara ini dilakukan di tengah
sekolah-sekolah kecil miskin yang kian sekarat.
Ini tragedi
pendidikan. Niat awal meningkatkan kesejahteraan agar guru kian
bermartabat kini justru telah menjadi proses perbudakan (guru) yang
justru menghancurkan martabat serta kehidupan.
Peran negara
Negara
tak bisa terus membiarkan dinamika pendidikan semacam ini. Guru itu
lentera, penyuluh kehidupan. Ia hanya bisa jadi pencerah kehidupan bila
dari kedalaman jiwanya terpendar terang. Itu terjadi ketika hidupnya
dijangkarkan pada panggilan jiwanya sebagai pendidik.
Tak
dimungkiri bahwa untuk hidup, guru membutuhkan pendapatan layak. Namun,
hidup guru tak boleh berangkat dari situ. Pemerintah pun tak boleh terus
membiarkan uang (gaji, tunjangan) demikian memesona bahkan memobilisasi
pendidikan. Pertama, uang bisa membikin seseorang haus tak terpuaskan.
Apalagi ia yang belum selesai dengan dirinya. Pendidikan yang
dimobilisasi uang kian menyandera nurani guru. Mereka berubah dari abdi
pendidikan menjadi budak uang.
Kedua, ternyata tak cukup niat
baik menyejahterakan guru dengan terus meningkatkan gaji-tunjangan.
Penerapan kebijakan itu telah membuat sejumlah guru sekolah bertindak
tunanurani. Demi meraup uang, mereka tak peduli nasib sekolah sekitar.
Kita bertanya masygul, di manakah tanggung jawab serta panggilan jiwa
mereka mencerdaskan bangsa? Di mana pula solidaritas mereka dengan nasib
sesama guru di sekolah sekarat/mati itu? Meraup rakus murid demi
memenuhi target proyek sertifikasi telah mengubah realitas sekolah dari
komunitas pemuja kehidupan yang cerdas menjadi gerombolan berseragam.
Ketiga,
dinamika pendidikan yang dimobilisasi uang dalam praksisnya terbukti
membuat perilaku sejumlah guru kian liar dan tunamoral, serta efektif
membikin sekarat hingga mematikan sekolah-sekolah kecil. Kalau
pemerintah membiarkan kondisi ini, niat awal meningkatkan martabat
kehidupan lewat pendidikan berubah menjadi proses sistematis oleh negara
yang membunuh sejumlah sekolah di negeri ini.
Inilah tragedi
pendidikan sekaligus kejahatan keji negara berselimut kebijakan. Jangan
biarkan nasib negeri ini dipertaruhkan dengan gegabah dan murah.
Sidharta Susila (Pendidik; Tinggal di Muntilan)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menjadi Instruktur
Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...
-
Saya meminta seorang teman sariorange@gmail.com untuk menerjemahkan artikel yang berharga ini, supaya lebih banyak teman guru yang bisa ter...
-
Tahun 1998 - 2005 saya adalah guru paling kejam di dunia, saya sering menyakiti anak-anak saya sebagai dalih untuk melecut semangat mereka, ...
-
Mereka yang ada di Jaman Jahiliyah 3 Saya... :) Saat ini saya membagi perjalanan saya menjadi guru, menjadi tiga jaman jahiliyyah. Pili...
Seperti saya seorang guru yang tahu pasti didepan mata segala bentuk penyimpangan dalam dunia pendidikan, benar-benar terpukul nurani saya. Tapi semua diluar kemampuan saya. Maka hanya dengan berdoa saja, meski menurut hadis nabi adalah selemah-lemahnya iman. Mari bersama berdoa, agar kita diberi kekuatan menghadapi setiap cobaan dalam hidup ini! Amin
BalasHapushttp://aguspurnomosite.blogspot.com/