Minggu, 02 September 2012

Honorable Class??? hari gini...:(


bukan bukan kelas unggulan (bersyukur di tempat saya tidak ada),
tapi mereka anak anak hebat saya
Saya masih belum paham, kenapa hari gini, ternyata masih banyak sekolah yang mengkotak kotakan anak anak atau siswanya dalam kelas bodoh, kelas pintar, kelas miskin, kelas kaya, kelas unggulan dan kelas underdog

Saya search peraturan pemerintah yang mendasari ini, saya temukan, kata mereka salah satu dasarnya adalah pasal 5 ayat 4 UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang berbunyi
Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak 
memperoleh pendidikan khusus.
persepsi saya pendidikan khusus disini adalah pendidikan yang dapat memperkaya dan memperdalam potensi kecerdasan mereka, bukan di sekolah umum biasa namun sekolah khusus seperti Sekolah Musik, Sekolah Tari, Sekolah Science
dalam UU 20 2004 pasal 4 ayat 1 jelas disebutkan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. 
pasal 5 ayat 1 jelas juga disebutkan Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk pendidikan yang bermutu
ada lagi dalam proposal pembentukan kelas unggulan menggunakan dasar pasal 3 UU Sisdiknas ini yang berbunyi 
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Semua membuat saya berkesimpulan bahwa dasar pembentukan kelas unggulan ini tidak jelas,

Oya sebelumnya akan saya jelaskan apa yang dimaksud dengan kelas unggulan yang sebenarnya, yang terjadi dan saya lihat dari sekolah yang sudah menerapkannya, perbedaan kelas unggulan dan kelas lainnya adalah kelengkapan fasilitas kelas, kelas dibuat berbeda dengan kelas lain, ada AC, komputer, hotspot, LCD, intinya fasilitas kelas dibuat lengkap dan nyaman, guru guru yang mengajar juga guru pilihan dan unggul, siswa siswanya juga pilihan minimal mereka rangking 1 – 5 di kelas biasa atau ada tes seleksi untuk siswa siswa yang dapat masuk kelas unggulan, disamping seleksi, orang tua juga harus memberikan biaya ekstra SPP yang tentu saja lebih tinggi dari kelas biasa. Tujuan dari pembentukan kelas unggulan ini adalah membuat siswa lain termotivasi untuk duduk di dalam kelas tersebut, yang berada di kelas unggulan juga merasa termotivasi untuk mempertahankan kedudukannya disana.

Sekarang kita simak silang pendapat dari beberapa Profesor di tahun 2008, saat merebaknya wacana kelas unggulan untuk sekolah unggulan ini :

Prof Suyanto -Rektor Universitas Negeri Yogyakarta- dengan tegas menyatakan pengelompokan siswa secara homogen berdasarkan kemampuan akademik menjadi kelas superbaik, amat baik, baik, sedang, kurang, sampai ke kelas “gombal”, tidak memiliki dasar filosofi yang benar.
Yang memprihatinkan, pengelompokan itu disertai program promosi dan degradasi. Siswa yang tidak mampu mempertahankan prestasi akademiknya bisa digusur dari kelas superbaik ke kelas sedang. Bahkan mungkin bisa meluncur ke kelas paling bawah, kelas “gombal”.
Secara psikologis, program yang mendiskriminasikan siswa bisa menimbulkan stigmatisasi pada siswa di kelas “gombal”. Mereka akan kehilangan rasa percaya diri.

Di pihak lain, siswa yang masuk dalam kategori kelas superbaik memiliki kecenderungan arogan, elitis, dan eksklusif. Pendek kata, pengelompokan siswa lebih banyak sesatnya dari pada manfaatnya.
Dalam proses pembelajaran, pengelompokan juga akan menumbuhkan perilaku instruksional yang bias dari guru kepada anak didiknya. Di kelas superbaik, guru bisa tampil penuh gairah karena munculnya fenomena positive hallow effect terhadap anak-anak berotak brilian. Sebaliknya, di kelas “gombal” guru cenderung masa bodoh akibat munculnya fenomena negative hallow effect terhadap kelompok siswa berotak pas-pasan.

Jika program itu terus dipertahankan, justru akan terjadi proses dehumanisasi secara sistematik di sekolah, karena tidak mencerminkan kehidupan masyarakat yang bercorak heterogen.

Pendapat Prof Suyanto tidak sepenuhnya diamini oleh kelompok yang pro kelas unggulan. Prof Liek Wilardjo -fisikawan dari UKSW- justru berpandangan sebaliknya. Menurutnya, anak-anak berbakat dan berotak cemerlang perlu mendapatkan perhatian khusus agar mereka dapat menumbuhkembangkan talenta dan kecerdasannya.

Jika anak-anak berakat dijadikan satu dengan anak-anak yang lamban, mereka akan kehilangan semangat belajar karena jenuh dengan proses pembelajaran yang lamban. Sebaliknya, anak-anak yang kurang pandai akan mengalami kerepotan jika dibiarkan bersaing dengan siswa-siwa pintar.

Kelas heterogen justru akan mempersubur mediokritas, di mana anak-anak cemerlang tidak bisa mengembangkan talenta dan kecerdasannya, mengalami stagnasi dan pemandulan intelektual. Sementara anak-anak lamban hanya “jalan di tempat”.

Kekhawatiran bahwa siswa yang masuk dalam kelas “gombal” akan dihinggapi rasa minder dianggap terlalu berlebihan, karena baru berdasarkan asumsi yang belum diuji kebenarannya. Pengelompokan siswa lamban di dalam kelas tersendiri – seperti halnya yang terjadi di Inggris – justru diyakini dapat memudahkan
penanganannya secara khusus.

Pandangan Prof Liek Wilardjo senada dengan Conny R Semiawan (1992) tentang perlunya pengembangan kurikulum berdiferensiasi, di mana peserta didik yang berkemampuan unggul perlu mendapatkan perhatian khusus.

Menurut Prof Conny, kurikulum berdiferensiasi dapat mewujudkan seseorang sesuai dengan kemampuan yang ada padanya, dapat menghadapi masalah dan kompleksitas kehidupan yang berubah akibat peningkatan teknologi dan perubahan nilai-nilai sosio-kultural.

Pro-kontra tentang kelas unggulan semakin menarik disimak ketika belakangan ini juga muncul program yang hampir sama, yaitu kelas akselerasi, di mana anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi bisa menamatkan belajarnya lebih cepat. Misalnya, SLTP/SMU bisa ditempuh hanya dua tahun.

Persoalannya, apakah program kelas unggulan atau akselerasi mampu mendongkrak mutu SDM kita yang dinilai masih berada pada aras rendah? Apakah ada jaminan, anak-anak berotak cerdas yang jumlahnya hanya beberapa gelintir yang telah sukses menempuh program kelas unggulan, atau akselerasi mampu menjadi generasi cerah budi yang memahami dinamika hidup yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dan bangsanya? Jangan-jangan program kelas unggulan itu dibentuk hanya berdasarkan sikap latah.

Ingin meniru pendidikan gaya Barat, Inggris misalnya, dengan dalih untuk meningkatkan mutu SDM dan daya saing bangsa di tengah-tengah percaturan global, tanpa disesuaikan dengan konteks sosial-budaya masyarakat kita.

Kalau ini yang terjadi, dunia pendidikan kita telah lepas dari lingkaran dan dinamika kehidupan kontekstual yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Implikasinya, out-put yang dilahirkan oleh institusi pendidikan kita hanyalah generasi-generasi berotak brilian dan cerdas intelektualnya, tetapi miskin kecerdasan hati nurani dan spiritual. Pada akhirnya justru membikin mereka menjadi asing hidup di tengah-tengah masyarakat bagaikan “rusa masuk kampung”. Tidak memiliki kepekaan dalam merasakan denyut nadi kehidupan yang berlangsung di sekelilingnya.

Problem-problem eksistensi kita, menurut Anton Naben (2001), adalah krisis moral yang merambah hampir di semua lini kehidupan dengan segala dampaknya. Kita amat membutuhkan sosok manusia yang memiliki kecerdasan spiritual dan apresiasi tinggi terhadap nilai-nilai kejujuran, yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan. Yang menabur benih kerukunan bila terjadi silang sengketa, yang memberikan kepastian bila terjadi kebimbangan. Yang menegakkan kebenaran bila terjadi beragam bentuk penyelewengan dan kesesatan. Yang menjadi pembawa terang di tengah kegelapan hidup.

Saat ini, nilai-nilai kejujuran -meminjam istilah Abd. A’la (2002)- sudah menjadi moralitas bangsa yang tergadaikan. Budaya malu sudah nyaris hilang dari memori bangsa. Korupsi, manipulasi, kolusi, nepotisme, dan sejenisnya marak terjadi di mana-mana. Perilaku keagamaan hanya sampai pada tataran ekstrinsik. Agama hanya dijadikan sebagai topeng untuk pencapaian kepentingan. Para elite pemimpin tidak bisa jadi teladan bagi anak-anak bangsa. Yang terjadi justru sebuah kebanggaan bila mereka mampu melakukan pembohongan publik sehingga terlepas dari jerat hukum yang mengancam mereka atas perbuatan korup yang telah dilakukan. Sementara itu di atas akar rumput, sentimen kesukuan dan etnis, anarkhisme yang dibungkus fanatisme keagamaan, main hakim sendiri, dan kekerasan lainnya menjadi adonan perilaku yang gampang disaksikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pencerahan Peradaban
Dalam kondisi demikian, dunia pendidikan kita harus mampu memosisikan diri sebagai pencerah peradaban, menjadi media katharsis yang mampu memuliakan martabat kemanusiaan hakiki, di mana nilai-nilai kejujuran dan kesalehan hidup baik pribadi maupun sosial bersemayam dan bernaung dalam hati nurani bangsa. Sekolah harus mampu menjadi ikon masyarakat mini, yang menggambarkan suasana dan panorama hidup bermasyarakat multikultur, di mana anak-anak banyak belajar menginternalisasi dan mengapresiasi perbedaan dan heterogenitas dalam segala aspeknya. Dengan demikian, setelah terjun ke masyarakat, mereka bisa tampil inklusif, egaliter, tidak elitis, memiliki empati, dan tidak besar kepala. Hal ini tentu sulit dicapai jika anak-anak yang tengah menuntut ilmu di bangku sekolah dikelompokkan secara homogen, sehingga mereka tidak pernah memiliki kesempatan belajar memahami dan menghargai perbedaan dalam arti yang sesungguhnya.

Pengalaman menunjukkan pendidikan yang lebih berorientasi pada hal-hal yang bersifat materialis, ekonomis, dan teknokratis demi mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa seperti yang gencar diteriakkan dengan lantang pada masa Orde Baru kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti.

Yang kita khawatirkan, kelas unggulan yang mendewakan kecerdasan intelektual semacam itu hanya akan melahirkan tamatan pendidikan yang cerdas, pintar, dan terampil, tetapi tidak memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang memadai.
(Suara Merdeka, Selasa, 2 Juli 2002)


Sekarang tahun 2012, bagaimana perkembangannya? Saya coba mencari lagi ternyata banyak terjadi salah kaprah tentang konsep kelas unggulan ini, konsep yang saya kemukakan diatas adalah artian yang terjadi pembentukan kelas unggulan di lapangan, kelas unggulan ini nantinya dijadikan embrio untuk membentuk sekolah unggulan.
Maksud Pemerintah yang disampaikan Fasli Jalal di tahun 2008, kelas unggulan dan sekolah unggulan adalah sekolah yang efektif yaitu;

·         Sekolah yang mampu memberikan layanan optimal kepada seluruh anak dengan berbagai perbedaan bakat, minat kebutuhan belajar
·         Sekolah mampu meningkatkan secara signifikan kapabilitas yang dimiliki anak didik menjadi aktualisasi diri yang memberikan kebanggaan
·         Sekolah yang mampu membangun karakter kepribadian yang kuat, kokoh dan mantap dalam diri siswa
·         Sekolah yang mampu memberdayakan sumber daya yang ada secara optimal dan efektif
·         Sekolah yang mampu mengembangkan networking yang luas kepada stakeholder
·         Sekolah yang mampu mewujudkan sekolah sebagai organisasi pembelajar
·         Sekolah yang responsif terhadap perubahan

Tidak ada diskriminasi siswa disini, semua mempunyai hak yang sama untuk merasakan pendidikan bermutu sesuai dengan pasal 4 dan 5 ayat 1 UU Sisdiknas

Kesimpulan saya, kelas unggulan untuk sekolah unggul bisa terwujud dengan memperbaiki proses belajar mengajar, mengubah paradigma mendidik, peningkatan sumber daya guru dan proses di kelas yang perlu banyak dibenahi, bukan mengkotak kotakan anak anak, menjadi kelas pintar, kelas bodoh, kelas kaya kelas miskin atau kelas unggulan dan kelas underdog.

Karena keberagaman anak anak tidak salah, kita yang harus dapat mengakomodasi setiap kebutuhan mereka yang beragam itu. Satu saat mereka lepas di masyarakat mereka pun akan menemui kehidupan di tengah keberagaman bodoh pintar miskin kaya pejabat rakyat jelata dsb, pendidikan ini merupakan pendidikan berkelanjutan pendidikan yang membuat mereka menjadi manusia pembelajar bukan hanya mengejar hal hal akademis saja.

Anak anak itu kita bikin melek hidup, karena bukan prestasi akademik saja yang dikejar, banyak aspek karakter yang mesti dibentuk, kejujuran, keharmonisan, berbagi, menghargai orang lain, dan banyak hal yang lebih penting daripada sekedar prestasi akademik yang sifatnya sementara dan bukan indikator yang tepat untuk melihat keberhasilan mereka kelak

Sekarang bukan jamannya lagi guru melakukan transfer knowledge, guru hanya fasilitator, jika masih sebagai transfer knowledge maka guru akan terlibas oleh jaman, internet, buku, dan sumber informasi lainnya sudah melebihi apa yang guru tahu, jangan batasi pengetahuan anak anak dengan pengetahuan guru, anak anak bisa mencari dan menemukan semuanya melebihi apa yang kita tahu.

Seperti kata Einstein (1929) that imagination is more important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination has no limits. Jika kita memberikan apa yang kita ketahui ke murid kita, maka yang mereka tahu nggak jauh dari yang kita tahu.
Seharusnya sebagai Guru kita harus membantu murid murid kita memiliki pengetahuan FAR beyond us, jaaauuuuh diatas kita, mereka harus lebih baik dalam segala hal dari kita, mereka harus bisa menjadi seseorang yang bahkan mereka sendiri tidak sanggup memimpikannya.

http://untukanakbangsa.blogspot.com/2012/06/school-is-out-education-is-in.html

Semangaaaatt!!...(^.^)/..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...