Tetralogi Buru, yang Anak Semua Bangsa saya sampul - kebiasaan kalo lagi baca buku saya nggak suka dikepoin :D |
Apa hubungannya sama lebaran ya hahaha
Keluarga dari ibu, kumpul lebaran dua tahun sekali, pertimbangannya, anak cucu bisa berlebaran ke keluarga pasangan di tahun yang lain. Tahun ini giliran di keluarga ibu, seperti biasa para budhe dan pakdhe akan cerita siapa leluhur kami.
Nah kami diingatkan lagi, bahwa kakek buyut kami adalah Raden Panji Adikusumo (Asisten Wedana Bunder Jombang), bin Raden Panji Djayusman Gondokusumo (Patih Mojokerto)+ R Ay Sumarsih binti RP.Ongkowidjoyo (Colleteur Lamongan), bin bin RP Sungkono Gondokusumo, bin Raden Adipati Panji TJOKRONEGORO III / R.Panji GONDOKUSUMO, Bupati Probolinggo 1831-1839, bin Raden Adipati TJOKRONEGORO II / R Panji NOTOKUSUMO(Bupati Kasepuhan Surabaya 1785-1818), bin R Panji DJAYENGRONO / Raden Panji TJOKRONEGORO (Bupati Surabaya 1758), bin Kyai ONGGOWIDJOYO / Kyai Tumenggung DJIMAT TJONDRONEGORO (Bupati Kasepuhan Surabaya 1752-1763), bin Kyai Tumenggung HONGGODJOYO (Bupati kasepuhan Surabaya), bin PANGERAN LANANG DANGIRAN / KI AGENG BRONDONG. Ini alur yang dari mbah Putri Raden Ay Liek Koessabandinah panjang yaaa - kalau mbah Putri kelahiran tahun 1920, berarti kakek buyut saya menjabat di Jombang sekitar tahun itu kan ya..
Nah yang dari mbah kakung Raden Ismoekadinoto, memiliki ayah Raden Sadikin Adiwinoto (Asisten Wedana Polisi - Surabaya) dan ibu Raden Ay Istijati putri dari Keluarga
Kyai Ageng Kasan Besari (Kyai Ageng Tegalsari I, Th.1760 s/d Kanjeng Lider
Raden Mas Tjokronegoro I, Bupati Ponorogo 1811-1900. Panjang yaaa..
Silsilah ini ada di Rodovid, ditulis oleh Dr. Ismoe Soekamto Suwelo, M.Sc pakdhe kami.
sumber : http://id.rodovid.org/wk/Orang:740693 ini ibu saya..
Silsilah ini jadi ketemu ujungnya mbah putri dan mbah kakung sama sama keturunan Pangeran Lanang Dangiran atau dikenal dengan Ki Ageng Brondong, sedikit cerita Ki Ageng Brondong, nama gelar lainnya adalah Pangeran Lanang Dangiran di Ampel Surabaya. Serta perkembangan Trah sebagai penerus generasi. Konon dituturkan bahwasanya Pangeran Kedawung atau disebut juga Sunan Tawangalun adalah nama gelar saat menjadi Raja di Blambangan (sekarang wilayah Banyuwangi-Jawa Timur), berputra sebanyak 5(lima) anak diantaranya Pangeran Lanang Dangiran atau dikenal dengan nama Kyai Brondong.
Dalam usia 18 tahun Pangeran Lanang Dangiran bertapa, dengan menghanyutkan diri diatas sebuah papan kayu dan sebuah bronjong (alat penangkap ikan terbuat dari anyaman bambu) di sungai. Dalam bertapanya tersebut dihanyutkan sampai dipantai utara Jawa. Gelombang dan arus air laut mengehempaskannya, dan akhirnya terdampar ditepi pantai dekat Sedayu - Lamongan dalam keadaan tidak sadar. Keadaan seluruh badannya dilekati oleh berbagai binatang laut seperti kerang,remis dlsb. Sehingga terlihat kulit tubuhnya seperti diselimuti butiran jagung bakar (bhs jawa = brondong). Pangeran Lanang Dangiran saat terdampar tersebut ditemukan oleh Kyai Kendil Wesi, dan dirawatnya dan dibawa pulang, sampai sehat seperti sedia kala.
Selang beberapa waktu lamanya, Kyai Kendil Wesi mengetahui asal-usul Pangeran Lanang Dangiran, yang tidak lain masih satu keturunan dengan Kyai Kendil Wesi, yaitu keturunan dari raja-raja Blambangan, yang mana Kyai Kendil Wesi dari Trah Menak Soemende. Didalam asuhan Kyai kendil Wesi terhadap Pangeran Lanang Dangiran dianggap sebagai anak sendiri, dan ketika dewasa beliau masuk Islam, dan sampai menjadi guru agama.
Berselang dewasa Pangeran Lanang Dangiran menikah dengan puteri dari Ki Bimo Tjili, berasal dari Panembahan di Cirebon. Kyai Kendil Wesi mengetahui bahwa kelak kemudian hari puteranya akan hidupnya mulia, serta menjadi pemuka agama, maka disarankan agar Pangeran Lanang Dangiran untuk meluaskan ajaran Agama Islam, ke wilayah Ampel Dento di Surabaya.
Akhirnya pada tahun 1595, Kyai Brondong dengan keluarga menetap di Surabaya, tepatnya diseberang Timur Sungai/kali Pegirikan, dekat Ampel disebut padukuhan Botoputih. Disinilah di awal penyembar Agama Islam tepatnya di Ampel Surabaya. Pada waktu itu Kadipaten Surabaya masih merdeka, tidak dibawah kekuasaan Mataram, dan saat itu yang memegang kekuasaan adalah Pangeran Pekik.
Baca buku Pram ini, jadi mengandai andai, berarti simbah simbah saya dulu mengalami berbagai hal pelik yang mungkin tidak sesuai hati nurani, banyak pertentangan dan keterbatasan. Cerita budhe budhe mbah kakung yang tahun 1950an merupakan Kepala Kejaksaan Solo merupakan seorang yang kukuh pendirian, keras akan ketidakadilan dan idealis, tak gentar walau prinsip beliau mencelakai diri sendiri. Demikian pula mbah kakung dari ayah, di tahun yang kurang lebih sama, beliau merupakan kepala kantor Departemen Agama kota Metro Lampung Tengah, yang mengundurkan diri begitu saja (naruh pecinya di meja kantor) kemudian pulang dan tidak pernah ngantor lagi, gara gara dipojokkan untuk mau menerima suap. Difitnah dan di penjara juga pernah, sampai bulik saya yang lahir saat mbah kakung dipenjara dinamai Kisah Jarawati
Cerita mirip Minke selalu menjadi cerita sebelum tidur saat saya merawat mbah Putri dari ibu, mbah Putri ini sering mbalelo, tidak suka diatur dan pemberontak, beliau suka bertanya tanya, mengapa anak laki laki berbeda perlakuan dengan anak perempuan. Manjat pohon, manjat pagar, lari dari rumah sering dilakukannya semasa kecilnya hahahaha
Sayangnya saya tidak memiliki cerita tertulis beliau beliau, ada buku harian mbah Kakung, tetapi dalam bahasa Belanda, saya tidak paham, dan sudah tidak lengkap (ibu saya memperlihatkannya juga saat saya masih kecil) sekarang catatan itu ntah kemana.
Semoga para leluhur diterima amal ibadahnya disisi Allah, kami anak cucunya melakukan yang lebih baik untuk bangsa ini. Aamiin.
Membaca buku Pram, merasai masa lalu, yang sebetulnya sampai sekarang masih ada namun bentuknya berbeda, tersamar dan kadang tidak terasai. Membayangkan Pram di tahun 1978, menulis kisah dengan latar belakang akhir abad ke 19 - tahun 1899, betapa luas dan mendalam pemikirannya, untuk masa itu u know... nanti deh cerita tentang ini.
#kembali menikmati pergolakan pemikiran pemikiran Minke ah...
Boyolali, 16 Juni 2018 |
Boyolali, 16 Juni 2018 |
Yogyakarta, 12 Oktober 2008, beberapa sudah pergi. In Memorian Budhe Rule Perkis, dan mbak Poerbarini |
Hotel Dana, Solo 9 Juni 2000 Seluruh mbahlik, mbahdhe, budhe, pakdhe, bulik, paklik juga keponakan dari keluarga ibu |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar