Festival Ekonomi Kreatif ini bertujuan untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas mengenai14 subsektor yang diangkat oleh kementerian perdagangan republik Indonesia. Bagaimana program ekonomi kreatif ini dapat meningkatkan pendapatan nasional, menumbuhkan rasa cinta produk dalam negeri dan mendorong kemandirian masyarakat Indonesia dengan kemudahan akses pada para pengusahanya. Untuk mengetahui seluk beluk ekonomi kreatif semua ada disini dan tentang indonesia kreatif ada disini
Festival ini diwujudkan dalam bentuk Lomba debat dan artikel bagi siswa SMA dan sederajat di sepuluh kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Pekanbaru, Bandung, Makassar, Semarang, Surabaya, Jogja, Denpasar, Palembang, dan Banjarmasin.
Kebetulan kami ikut berpartisipasi mewakili sekolah 2 tim untuk lomba debat dan 2 murid untuk lomba menulis artikel. Lomba debat sangat fair, karena semuanya serba spontan, pertanyaan juri dijawab dengan spontan, demikian juga dengan artikel. Murid yang artikelnya masuk 10 besar se Jawa Tengah harus dapat mempertanggungjawabkan artikelnya secara spontan di depan juri.
Ada 24 tim debat dan 37 tulisan artikel yang masuk ke panitia FEKSI JATENG—dari mengamati 24 tim debat, yang kemudian disaring lagi di babak semi final menjadi 10 tim debat dan kemudian disaring lagi 3 tim debat di babak final, juga dari pengamatan 10 murid yang mempertanggungjawabkan artikelnya yang masuk final, saya berpendapat. That’s Indonesian pupils…hehe
Murid Indonesia sangat kurang pengetahuannya terhadap lingkungan sekitarnya, murid Indonesia jarang membaca, hanya terpaku pada textbook dan tidak analitis
Maksud saya ketika mereka berdebat dan mengemukakan opininya, menurut ukuran kita orang dewasa, opini mereka sangat dangkal dan kurang kritis, bahkan sering tidak nyambung.
Namun jika kita melihat dari sisi mereka, artinya saya menempatkan diri saya sebagai mereka di usia mereka, opini mereka CUKUP bagus.
Inkonsistensi, tidak juga, ekspektasi lebih terhadap kemampuan murid-murid inilah yang membuat itu serasa dangkal, kurang kritis dan tidak nyambung.
Apa yang mesti dilakukan—
Baca, menanamkan kebiasaan untuk membaca dan menggali pengetahuan yang memperkaya dari apa yang mereka pelajari di sekolah---hehehehe kayaknya kok tidak mungkin, karena apa yang di kepala murid-murid kita adalah bagaimana memperoleh angka yang bagus, dan lulus ujian nasional.
Membiasakan anak beropini, dan selalu menghargai apapun opini itu—hehehe apalagi yang ini, kebiasaan kita adalah ketika mereka beropini yang berbeda dengan kita, maka yang terjadi kita akan menyalahkan mereka, dan meluruskannya seolah opini kita yang paling benar. Bukan memberikan jalan kepada mereka untuk mencari sendiri, dan membuat mereka memutuskan apakah opini mereka benar atau salah.
Semua berhubungan dengan proses tumbuh kembang mereka, semua berhubungan dengan kematangan pribadi mereka.
That’s why juri debat terlihat tidak puas dengan apa yang tertampil di hadapannya.
Rina Fauziah artikelnya di peringkat 7 Jateng. Bisa disimak disini |
Semua kembali lagi pada sistem pendidikan kita, gaya mendidik guru, sekolah dan orang tua.
Saya pernah berkunjung ke sebuah sekolah internasional di dekat rumah. Sejak TK murid sudah dibebaskan untuk beropini terhadap apapun yang mereka baca, lihat, atau gambar. Sehingga murid kelas 4 SD sudah bisa membuat sebuah karangan yang bagus dengan tatabahasa yang runtut.
Saya ingat ketika SD, pelajaran yang paling saya benci adalah mengarang, karena banyak batasan, tidak boleh sering-sering ada kata “terus”, “lalu”, “kemudian”, harus memperhatikan subyek predikat obyek dan lainnya, sehingga saya lebih berpikir bagaimana cara mengurangi kata-kata itu dan menyusunnya sesuai SPO daripada saya berpikir bagaimana mengeksplor apa yang ingin saya tulis.
Saya ingat ketika SD, pelajaran yang paling saya benci adalah mengarang, karena banyak batasan, tidak boleh sering-sering ada kata “terus”, “lalu”, “kemudian”, harus memperhatikan subyek predikat obyek dan lainnya, sehingga saya lebih berpikir bagaimana cara mengurangi kata-kata itu dan menyusunnya sesuai SPO daripada saya berpikir bagaimana mengeksplor apa yang ingin saya tulis.
Bebaskan anak-anak untuk membaca apa saja yang ingin mereka baca, kemudian mintalah mereka untuk mengungkapkan opini dari apa yang mereka baca, hargailah apapun opini mereka, buatlah mereka percaya diri, berikan stimulus yang cukup yang tidak berkesan menyalahkan dan menggurui jika opini mereka “melenceng”, lambat laun mereka akan terbiasa dan berani untuk mengutarakan opini atau pendapatnya dengan baik.
FESKI ini merupakan pembuktian dari boleh dibilang gagalnya sistem pendidikan kita mencetak generasi muda yang kritis dan berpengetahuan luas…
*saya bicara sebagian besar murid kita ya, bukan berbicara tentang yang sedikit yang akhirnya bisa maju ke final dan babak grand final di Jakarta.
Bagi murid-murid saya, ketika mereka turun setelah bertanding, dan mengatakan pada saya bahwa mereka kecewa dan menyesal tidak tampil maksimal, saya berharap mereka memperoleh pelajaran dari peristiwa ini, that's a life. Ketika ada kesempatan dan mereka tidak dapat memanfaatkannya dengan baik begitulah rasanya, kelak ketika mereka menemui hal semacam ini lagi, saya berharap mereka mengingat perasaan ini, sehingga mereka dapat meraih kesempatan mereka sebaik mungkin. Terdengar kejam, tidak juga, suatu saat mereka akan menemui hal semacam ini dalam kehidupan mereka.
Ada lagi tim yang satunya, yang merasa sudah tampil maksimal dan ternyata mereka gagal masuk 10 besar. Bagaimana mereka dapat menerima kegagalan mereka dengan bijak, bagaimana mereka merefleksi diri mereka sendiri, itu lebih penting dari apapun. I'm so proud of you guys..:)
Banyak nilai yang dapat diambil dari peristiwa ini, pembentukan karakter dan konsep diri lebih penting daripada apapun.
Smile… Salam FEKSI..!! THANKS FEKSI, LIKE YOU SO MUCH!!.
Amelia...!!! Wah...wah...wah... Its very nice comment.. Terima kasih telah memberikan ulasan cukup panjang lebar tentang FEKSI dan hikmah di balik mengikuti FEKSI. Saya jadi merasa beruntung FEKSI memperoleh ulasan sedalam ini.
BalasHapusDalam banyak hal, saya setuju dengan apa yang Amelia sampaikan. Sudah terlalu lama anak-anak bangsa ini dididik bukan dengan cara-cara mendidik yang pas. Saya teringat dengan Paulo Freire yang menuliskan buku berjudul "Pendidikan yang Membebaskan". Buku itu saya baca pada awal 90-an ketika saya masih di bangku kuliah.
Kalau model pendidikan gaya Freire itu diterapkan di republik tercinta sejak zaman kemerdekaan, saya kira Indonesia akan jauh lebih maju dari apa yang diperoleh saat ini. Pendidikan harus memerdekakan siapapun peserta didik. Pendidikan juga harus membuat peserta didik bebas membuat keputusan atas masa depan mereka.
FEKSI, dalam skala yang sangat kecil, kami arahkan untuk membuat adik2 SMA ini berani mengambil sikap dan keputusan atas apa yang mereka katakan dan tuliskan, sekaligus belajar menerima perbedaan, hingga "kekalahan" secara fair. Insya Allah, tahun depan kami akan kembali dengan FEKSI yang lebih baik lagi, tentu karena berkat ulasan dan dukungan moril sebagaimana telah Amelia tunjukkan lewat blog ini.
Salam FEKSI dan teruslah berjuang mewujudkan pendidikan yang membebaskan..!!!
/asmono wikan
Terimakasih juga pak Asmono, saya tunggu aksi berikutnya...:)..Semangaatt!!..(^.^)/..
BalasHapus