Senin, 01 November 2010

Digital Learners



Have you been paying attention?
How do your students learn? Are they interpersonal, logical, spatial, intrapersonal, linguistic, musical, naturalist or body-kinesthetic
Yes!! (Gardner, Frames Of Mind (2003))
But Mostly, They’re Digital Learners
Here’s Why
Todays, average graduates college have spent :
Over 10000 hours playing video game – interactive videogames, mediascopes, june 1996
Over 10000 hours talking in cellphones – Prensky M (2001), Digital Natives, Digital Immigrants
and roughly 20000 hours watching TV
Today’s Children and Teens spend 2,75 hours a week using home computers- Institute for social research,2004
70% of our nation’s 4- 6 years old have used a computer – Kaiser Family Fondation 2003



Sesungguhnya di Era sekarang ini, murid-murid kita adalah anak-anak beruntung. Mereka bisa belajar apa saja, dengan siapa saja, dan kapan saja dengan teknologi informasi yang berkembang pesat belakangan ini.
Mereka adalah digital learners, mereka bisa belajar dari ponsel, ipods, google, wiki, yahoo dan masih banyak lagi. Permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi mengenai suatu konsep, permasalahan hidup, informasi, apapun itu dapat mereka akses tanpa batas dari computer, ponsel, ipod dan podcast mereka.

Murid-murid kita tidak bisa lepas dari teknologi, tidak dapat dipungkiri semua teknologi yang ada membuktikan dapat mempermudah mereka belajar apa saja yang mereka butuhkan.


Penelitian Sugatra Mitra membuktikan bahwa anak-anak ini di pelosok desa sekalipun dapat belajar sendiri dengan baik, mereka bisa dengan sendirinya memahami kosakata bahasa asing tanpa guru atau seseorang yang mengajarinya.
Mereka bisa belajar karena mereka punya akses mereka memiliki “hole in the wall”.

Dalam penelitian yang dijalaninya selama 5 tahun Sugata menempatkan 3-5 unit computer di desa-desa pelosok India, yang kemudian disebut “hole in the wall”, dilengkapi kamera tersembunyi yang sengaja dipasang untuk melihat respon anak-anak atau orang-orang dewasa yang ada di desa tersebut.

Dan hasilnya anak-anak bisa belajar sendiri, bahkan mengajari anak yang belum tahu, bagaimana memanfaatkan google dan game online di internet, dan yang menarik anak-anak itu dapat memahami sedikitnya 20 kosakata bahasa inggris, seperti next, go, shut down, start.

Penelitian Sugata Mitra dan penelitian-penelitian lembaga-lembaga diatas membuktikan bagaimana sesungguhnya seorang anak dapat belajar dengan mudah dengan teknologi informasi.

Sangat disayangkan jika kita membatasi mereka untuk menggunakan teknologi informasi, tanpa pembimbingan dan penjelasan yang masuk akal, bagaimana cara memanfaatkan teknologi informasi dengan baik dan benar. Walau sedikit bertentangan dengan Sugatra Mitra—karena dalam penelitiannya anak diberi kebebasan tanpa batas untuk mengakses segala informasi dari “hole in the wall”yang dibangunnya--.

Pernyataan saya diatas, didasarkan pada persepsi kebanyakan masyarakat Indonesia yang masih menabukan internet dan ponsel.

Dalam video Pay Attention diatas, dijelaskan bagaimana guru yang dengan cerdas dapat menjadikan ponsel sebagai media pembelajaran bahasa, menulis, puisi, sejarah, math dan masih banyak lagi, disitu juga dicontohkan bagaimana pemanfaatan short message (SMS) untuk pembelajaran.

Seperti diungkapkan oleh Khalil Gibran dan Sir Ken Robinson bahwa pendidikan untuk masa yang akan datang, bukan masa sekarang dan masa lalu, para guru hendaknya dapat menyesuaikan dan selalu update perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu pembelajaran dan teknologi informasi sehingga kita dapat dengan tepat membimbing anak-anak untuk memanfaatkan dengan sebaik-baiknya segala teknologi informasi yang ada.

berikut adalah Technology-Student Perspective



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...