Senin, 04 November 2019

Tentang Ketrampilan Self-Regulated Learning

Tulisan tulisan beberapa bulan belakangan ini membosankan ya - lagi sok sokan gaya nulis beberapa untuk artikel - biar nggak ujian terbuka, saya pingin bikin 2 artikel untuk jurnal internasional Scopus Q3 (syarat dari progdi -) ini uwo banget - pengalaman pertama, 2 artikel kualitatif, dan 3 artikel kuantitatif (yang udah jadi, artikel meta analisis, dan multivariat) masih kurang 3 artikel lagi - belum plus disertasi yang galau pinginnya kualitatif, tapi masih menunggu keputusan promotor

Untuk diketahui, masukin jurnal internasional itu bisa berbulan bulan dari review sampai approve, cerita dari kakak kelas, lebih sulit bikin artikel untuk jurnal internas, daripada disertasi (aaah mereka tuh ya bisanya nakutin saya aja....) - target beasiswa hanya 6 semester, dan sekarang udah jalan separo dan belum ada kemajuan

Seruunya, jadi gak sempet ke salon buat facial n renang....., bukan bukaaan, cuma duitnya udah abis buat beli buku *hahahaha nggayya...

Penelitian saya, rencananya tentang Self-Regulated Learning atau Self-Directed Learning - biasa aja sih sebetulnya, tapi ya baru tahu lho, kalau anak anak SMA pada umumnya, gak punya ketrampilan SRL ini, ada beberapa alat ukur yang bisa dipakai sih tapi karena riset saya kualitatif, jadi data ini saya dapet dari wawancara beberapa dari mereka - sedih ya

Tujuan belajar mereka masih abstrak dan klise - membahagiakan orang tua, caranya bagaimana? jadi orang sukses, orang sukses seperti apa? ya sukses gitu, uangnya banyak, caranya uangnya banyak gimana.... hihihi
Secara mandiri mereka nggak punya keingintahuan untuk memperkaya diri pada ilmu pengetahuan - semua yang mereka lakukan karena perintah, dan intervensi orang lain, bukan karena keinginan diri. Mereka sendiri tidak tahu apa yang mereka butuhkan, apa kompetensi mereka, apa yang mereka inginkan, semua sudah sepaket diputuskan oleh orang tua atau guru

Hal ini berbeda dengan anak anak yang sejak kecil sudah dibiasakan dilatih ketrampilan SRL ini, mereka sudah bisa menetapkan tujuan belajar sendiri, merampungkan proyeknya, bikin timeline, dan terkadang meminta bantuan fasilitator jika ada kesulitan menyelesaikan proyeknya...
Anak anak dengan ketrampilan SRL, cara berpikirnya pun sudah berbeda, mereka sudah di level create something, kalau di Taxonomi Bloom mereka udah di level tertinggi - demikianpula pada tuntutan abad 21, udah dapet semua

Ini kutipan hasil wawancara sama anak usia 15 tahun yang sudah punya skill SRL
"kita masih ada math, masih ada ips, pkn, tapi gak semua anak perlu itu, jadi kayak kemarin kita tahun lalu, aku masih beajar math, tapi mathnya itu juga cuma, yang paling aku inget dan baru dan masuk ke otak itu belajar formula untuk gambar determine something that’s perfect, ini kepake karena aku suka gambar realistic, ya gitu, kita belajar yang lain juga, tapi gak kayak anak anak lain soalnya satu jam dua jam tentang ini, kalau dipikir balik, nggak akan selalu dipakai"

Daaaan anak anak yang dibiasakan dilatih ketrampilan SRL ini belum banyak, secara umum, sekolah sekolah di Indonesia belum melatihkan ketrampilan ini (perlu research mendalam juga nih, walau terlihat jelas di depan mata).

Memang sih kalau saya lihat anak anak yang memiliki ketrampilan SRL ini, sistem sekolahnya, dari guru, kepala, lingkungan, dan orang tua semua mendukung

mas Mentri, kalau rombak total kurikulum, rombak juga penerimaan gurunya, rombak juga kurikulum pendidikan gurunya - guru guru yang beneran kompeten berintegritas dll yang bisa jadi guru..... (*siap siap dibalang sendal sama guru guru)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...