Minggu, 01 Desember 2013

SOKOLA = SCHOLAE

Aneh ya arti hakikat sekolah sebagai tempat yang menyenangkan justru bisa diwujudkan di tengah hutan Bukit Dua Belas Jambi.

Cerita Butet tentang Gentar dan Linca, tentang anak anak yang begitu bersemangat untuk belajar baca tulis hitung walau di tentang oleh adat dan para orang tua mereka, juga suasana belajar yang menyenangkan, membuat saya bisa mengikuti dan merasakan gairah mereka semua yang ada disana. Mereka semangat sekali belajar hingga larut malam, dan terus penasaran dengan apa yang akan mereka pelajari keesokan harinya, ini bikin saya iri tingkat dewa sama Butet. Uhuuu huu saya ini udah 10 tahun ngajar, n masih nggak bisa bikin anak anak penasaran tentang pelajaran saya.... *yaiyalah mereka nggak butuh..eits ngeles
Butet menemukan sendiri metode yang digunakan untuk mengajarkan anak anak Rimba baca tulis hitung, mereka penghapal cepat tetapi saat merangkaikan huruf huruf tersebut dalam kata, mereka kesulitan.
Semua yang diajarkan di kelas Butet sangat disesuaikan dengan kebutuhan belajar anak anak tersebut demikian juga dengan metodenya. Beda sekali dengan yang saya temui di kelas, semua materi yang diajarkan sudah ditentukan dengan "mengabaikan" kebutuhan anak anak untuk belajar sesuai kebutuhan dan gaya belajar juga potensi mereka.
Di kelas Butet, anak anak Rimba tersebut sungguh sungguh jadi subyek pembelajaran

Maka saya bilang aneh, scholae justru bisa diterapkan di tengah hutan dengan anak anak Rimba.

Tau nggak, hasilnya pun spektakuler, mereka jadi percaya diri dan peduli dengan keberadaannya. Maksudnya gini, mereka menyadari ada yang salah dengan perambahan hutan, mereka sadar hutan mereka semakin sempit, dan mereka memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap komunitasnya. Bahkan ada semacam Kelompok Makekal Bersatu (KMB) yang salah satu misi kerennya (menurut saya) adalah mengusahakan adat istiadat Orang Rimba dalam hal pengelolaan hutan menjadi dasar dalam peraturan Taman nasional Bukit Duabelas. KMB ini juga ikut menyelesaikan permasalahan permasalahan antara Orang Rimba dengan pendatang, seperti masalah jual beli tanah, atau jika ada Orang Rimba yang sakit, masalah dengan perusahaan dll). Anak didik Butet yang pada dasarnya cerdas ini, sekarang sudah bisa membela hak hak komunitasnya sendiri, mereka sudah nggak bisa lagi ditipu para pedagang di pasar, keren pokoknya

Perjalanan saya dari Serai Serumpun Kab. Tebo
menuju Rimbo Bujang, sudah bukan hutan asli :(
Saya sering tertawa keras sendiri, membaca lembar lembar tulisan Butet di bukunya Sokola Rimba, terutama saat dia merepotkan para anak rimba, yang harus berlindung dari serangan beruang. Bertahun tahun hidup bersama anak rimba, masih saja nggak bisa naik pohon, atau sindiran anak rimba yang berjuang melindungi hutannya, tetapi takut lapar. Demikian pertanyaan pertanyaan kritis anak anak rimba mengenai kehidupan orang terang, atau orang di luar rimba. Saya setuju sekali mereka sungguh menggemaskan.

Saya pernah ke Muara Bungo, Kab . Tebo, dan Rimbo Bujang. Bener banget, perjalanan dari Jambi ke Muara Bungo naik travel memakan waktu sekitar 6 jam, dengan music house yang diputar sangat keras, plus jalan berkelok naik turun dan berlubang dalam. Lumayan bikin pening dan mual pokoknya.

Saya juga pernah bertemu Orang Rimba, yang waktu itu disebut teman yang mengantar sebagai orang Kubu *maaf baru tahu kalau artinya ternyata sangat tidak pantas tepatnya tidak adil untuk disebut demikian, menurut teman tersebut orang ini sangat bau, kadang bekas singgahan mereka akan terus bau sampai semingguan lebih nggak ilang.

Ada cerita lucu tentang Orang Rimba yang beredar disana, Polisi akan kalah berdebat dengan Orang Rimba, saat mereka ditangkap karena berkendara motor tidak pakai helm, polisi akan bertanya kok nggak pakai helm, jawab mreka adalah, saya beli motor nggak beli helm, mereka pinter banget ngeles ya

Kembali ke buku Butet, saya beli buku yang cetakan kedua, beda dengan cetakan pertama, cetakan kedua ini ditambah epilog cerita Butet saat April 2013 berkunjung kembali ke Rimba dan bertemu anak anak didiknya. Pertemuan yang membuat hati saya ikut tergetar. Sokola Rimba sekarang sudah merambah di Aceh, Makassar, Flores, Kajang, Halmahera ... Keren kan

Ada satu hal yang membuat saya galau, Butet berani keluar dari WARSI "aku tidak mau jadi pelacur karena tidak menyukai pekerjaanku, tapi tetap saja kulakukan demi gaji bulanan dan agar tetap bersama Orang Rimba di Hutan" uhuuu jleb banget gak sih. Saya suka sebel dengan sistem pendidikan Indonesia yang bikin galau ini, tetapi saat melihat anak anak di kelas uuuuu berat bangettt... :(

Andai saya masih muda, pingin rasanya ikut Butet aja masuk hutan, belajar bersama anak anak itu, seruuuu

Ada beberapa catatan untuk saya dari buku ini :
"Segelonya sejak dari mulaknya hopi tokang, tapi kalu pelajoron turuy, jadi tokang!" -- Segala sesuatunya memang dimulai dari tidak tahu, tapi kalau belajar terus jadi mahir

"Jadi Butet, pikir yang baik baik saja, supaya langkahmu tidak perlu terhenti!"-analoginya, ketika anak kecil manjat pohon orang tua pasti teriak " Hei awas..jangan naik pohon, nanti jatuh!! dan jawab si anak "kalau gak jatuh?"

"Pendidikan harus membebaskan" "Bagaimana ini, gurunya saja tertindas...belum merdeka.."

"Memberi pancing tapi tidak diajarkan bagaimana cara memancing" "Pendidikan harus berpihak ke anak anak" Kamu kan pendidik, bukan guru kursus!!.... *uhuk

"Pendidikan itu bertujuan membuat orang berdaya" Sokola harus berkontribusi bagi kehidupan dan mampu menghadapi tekanan zaman

"Melihat persoalan dari konteksnya, bukan dari cara pandangku!!
---------------
Membaca buku ini membuat saya jatuh cinta pada anak anak Rimba itu....

Semangaattt!!...(^.^)/..

*oya pertama kali kenal kata scholae yang artinya tempat bersenang senang dari bukunya Roem Topatimasang "Sekolah itu Candu" sekitar tahun 2007 (*lupa)

2 komentar:

  1. Amelia, trimakasih, kutipanmu mengingatkanku kembali... Bukan aku, tapi anak-anak itulah yg telah menjadi guru kita...

    BalasHapus
  2. Sama sama terimakasih juga cerita yang bikin iri eh inspiratif dan penyemangat .. (^.^)/

    BalasHapus

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...