Membaca buku William hampir sama dengan membaca buku Izza,
kalau Izza saat menulis buku itu usianya 15 tahun, dan kisahnya ditulis setelah
dia memutuskan untuk mundur dari pendidikan formalnya, tepat 3 bulan sebelum
Ujian Nasional SMP. Sedangkan William, justru menuliskannya saat dia masih
duduk di bangku SMA kelas 2 berarti kurang lebih usianya 16-17 th
Izza, keluar karena dia merasa tidak cocok dengan berbagai ilmu yang dia peroleh di pendidikan formal. Dia merasa semua yang dia peroleh tidak sesuai dengan kebutuhannya saat itu. Izza secara akademis termasuk anak yang unggul, nilai nilainya selalu jauh diatas rata rata temen sekelasnya. Sekolahnya pun bukan sekolah sembarangan, Sekolah terfavorit rintisan RSBI di Kotanya. Namun keresahannya atas ketidaksingkronan ilmu yang dibutuhkan dan ilmu yang wajib dipelajarinya membuat Izza mengundurkan diri dari sekolahnya.
Izza, keluar karena dia merasa tidak cocok dengan berbagai ilmu yang dia peroleh di pendidikan formal. Dia merasa semua yang dia peroleh tidak sesuai dengan kebutuhannya saat itu. Izza secara akademis termasuk anak yang unggul, nilai nilainya selalu jauh diatas rata rata temen sekelasnya. Sekolahnya pun bukan sekolah sembarangan, Sekolah terfavorit rintisan RSBI di Kotanya. Namun keresahannya atas ketidaksingkronan ilmu yang dibutuhkan dan ilmu yang wajib dipelajarinya membuat Izza mengundurkan diri dari sekolahnya.
Sampai akhirnya si Ayah bisa menerima keputusan Izza,
setelah membaca puluhan buku yang dibaca Izza. Si Ayah dalam tekanan dan
kekalutannya, berusaha memahami Izza, melihat Izza dengan perspektif Izza,
bukan perspektif dirinya. Ini terkadang yang jarang sekali dilakukan oleh Orang
tua pada umumnya.
Kembali ke buku William, beda dengan Izza, William bertahan,
dia berusaha memberikan berbagai solusi yang dihadapi saat menerima banyak
tekanan dari guru dan sekolah
Sempat terbersit di pikiran saya, jika ke 950 murid saya
memiliki pemikiran seperti William, tentu sekolah dan guru guru di sekolah saya
akan bertambah cerdas. Saya bersyukur teman teman di sekolah saya sebagian
besar sudah tidak seperti apa yang diceritakan William di bukunya. Mereka sudah
lebih terbuka dan rasional menghadapi dinamika para siswa, sehingga perlakuan
ke siswa lebih baik.
Di Bukunya tentang Pesan dari Murid untuk Guru Siapapun Bisa melakukan Kesalahan—sebenarnya lebih ke pesan seorang murid bernama William kepada murid yang lainnya di seluruh Indonesia. Saya sebagai guru yang membaca buku ini, merasa seperti mendapat hunjaman di dada berulang kali, saat guru berkata kasar ke murid, dan saat murid tersebut menjawab perkataan kasar gurunya.
Di Bukunya tentang Pesan dari Murid untuk Guru Siapapun Bisa melakukan Kesalahan—sebenarnya lebih ke pesan seorang murid bernama William kepada murid yang lainnya di seluruh Indonesia. Saya sebagai guru yang membaca buku ini, merasa seperti mendapat hunjaman di dada berulang kali, saat guru berkata kasar ke murid, dan saat murid tersebut menjawab perkataan kasar gurunya.
Masih ada ya guru seperti itu saat ini---guru jaim, tidak
mau mengakui kekeliruan, merasa selalu benar dan paling benar, tidak melihat
murid dengan perspektif murid, suka berkata kasar dan menghina muridnya—mudah
mudahan semakin kesini persentasenya semakin berkurang
Buku William ini bener bener menelanjangi guru dan sistem
persekolahan sampai detil. Di dalam buku ini William tidak hanya mengungkap
segala kekurangan lembaga sekolah dan gurunya, namun William menawarkan
berbagai solusi yang bisa ditempuh. Tapi ya Will, kalau guru itu saya, dikritik
semacam itu, saya pasti akan tertawa geli dan senang, karena kalian berani
mengungkapkan opini kalian, karena saya termasuk guru yang nggak pernah
mempermasalahkan apapun yang kalian bawa dari rumah (seragam, buku, tas,
catatan, masalah dll). Saya juga bukan guru yang suka memberi PR atau tugas di
rumah yang rumit, tugas saya di luar jam pelajaran hanya dikarenakan, tidak
dimungkinkan di kerjakan di sekolah, karena faktor tempat dan waktu, dan yang
pasti tugas tersebut bermanfaat (bukan nilai lho) …. Eits kok jadi pencitraan
sih.
Saya juga akan komentar di buku ke 2 William Tiga Tahun dari
Sekarang, hampir mirip dengan buku pertama William mengajak murid Indonesia
untuk lebih kritis di Sekolah atas segala ketidakadilan yang sering mereka
hadapi. William juga berkeras bahwa setiap anak Indonesia harus mengenyam
pendidikan di Sekolah- yang bisa mengubah pendidikan Indonesia adalah murid
murid itu sendiri
Saya beberapa kali terhenyak dengan pernyataan pernyataan
William, namun saat saya membaca artikelnya tentang Tiga Pilar Pendidikan
Indonesia, tentang Pikiran Kritis, Proses Dialogis dan Budaya Belajar Sepanjang
Hayat, saya terus adem lagi—
Begini pertama membaca tulisan William saya kira atau beneran
ya dia penentang unschooling, tetapi di artikelnya tiga pilar bagian terakhir
William menulis
“jika proses belajar diselenggarakn secara berkelanjutan
lewat pendidikan nonformal ataupun informal seperti melalui dialog terbuka,
diskusi, sosialisasi, tentang hal tertentu, dan kursus keterampilan, maka disana
telah terbentang esensi pendidikan. Dengan demikian, untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa Indonesia secara keseluruhan, terlepas dari apakah pemerataan
pendidikan formal di seluruh daerah sudah dilaksanakan secara seimbang, budaya
belajar sepanjang hayat menjadi solusi utama yang paling mungkin dilaksanakan,
bahkan oleh setiap dari kita, karena didalamnya telah terkandung pikiran kritis
dan proses dialogis yang dapat dimulai dari, oleh dan untuk kita demi menjaga kelangsungan
kehidupan dan kepentingan bersama di tengah masyarakat”
Karena menurut saya sekolah tidak wajib, tetapi belajar
wajib.
Belajar bisa dengan siapa saja, apa saja, kapan saja, dan
dimana saja. Pembentukan karakter tidak mudah dilaksanakan di sekolah, jika
sekolah masih saja sama dengan yang digambarkan oleh William—tidak dapat saling
menghargai, tidak dapat bertindak adil, dan tidak demokrastis, orientasi hanya
angka dan ijazah. Tujuan belajar yang hanya nilai dan ijazah juga salah, seharusnya tujuan
belajar supaya murid murid tersebut bisa berdaya sesuai kompetensinya, bermanfaat bagi diri dan lingkungannya, sehingga mereka menjadi manusia manusia
sehat jasmani dan rohani
Sepanjang paradigma guru dan masyarakat belum berubah,
sampai kapanpun peristiwa peristiwa ketidak adilan di sekolah akan terus
berlangsung, demikian pula dengan tujuan belajar sepanjang hayat—merubah persepsi
siswa bahwa tujuan belajar supaya mereka lebih berdaya, dapat memanfaatkan ilmu
tersebut untuk diri mereka dan lingkungannya, bukan nilai dan ijazah semata
juga tidak mudah, karena sistem pendidikan Indonesia masih menggunakan dua hal
tersebut sebagai ukuran.
Non scholae, sed vitae discimus is a Latin phrase meaning We do
not learn for the school, but for life, meaning that one should not gain
knowledge and skill to please a teacher or master, but because of the benefits
they will gain in their life.
Semangaattt!!...(^.^)/
Bu saya ingin share dn meminta pndapat ibu sy msh bersekolah di slh satu SMAN kelas 11, saya sudah tidak bersekolah smenjak smester 2 ini dan sering tidak sklh smnjak kls 11 krn sy tdk ingin dan tidak nyaman brsklh dsitu lagi. Tidak ada satupun yg bisa mengerti saya, apa yg harus sy lakukan ? trmakasih
BalasHapusYang penting adalah tidak berhenti belajar, dimanapun itu, karena belajar memang tidak hanya di sekolah.
HapusYang harus dilakukan adalah buktikan kepada dunia, bahwa Ananda tetap dapat berarti bagi keluarga dan masyarakat, atas keputusan untuk tidak belajar di sekolah.
untuk ijazah, kalau mau bisa diperoleh dengan mengikuti kegiatan di PKBM, ijazah yang dikeluarkan setelah mengikuti ujian paket C, dapat digunakan untuk mendaftar kuliah juga
Tapi yang paling penting adalah terus belajar, belajar apa saja, dimana saja, dengan siapa saja, dan apa saja, sesuai dengan minat dan kebutuhan Ananda
Semangaaattt!!.. (^.^)/...
Kalau masih bingung bisa japri ke leaguie@gmail.com