- Assess learning
- Accountability
- Advocate
Senin, 24 September 2012
[KLIPING] What I’m telling MY daughter about HER education!
I followed up my recent posts to The Orlando Blog with a post on my own blog on how I would encourage the use of technology to:
I was motivated to do that because I have concluded that our current
institutional approach to education is NOT motivating the learning which
will be necessary to “future-proof” our students’ education! Our over-reliance on standardized testing to measure learning has crowded out much opportunity for innovation
so that students are lulled into a false sense of security to “do what
they are told” in exchange for the false assurance that they will be
rewarded with “good” grades which they interpret as evidence that they
are learning what and how they need to prepare for their future education and careers which we are simply unable to predict
due to technology, globalization, and other wrenching changes whose
effects have NOT YET manifested themselves to the extent that they
eventually will, i.e. “you ain’t seen nothing YET!”
Rabu, 12 September 2012
[KLIPING] Tragedi Pendidikan
Oleh Sidharta Susila
Sumber : http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/10/15301522/Tragedi.Pendidikan
KOMPAS.com - Ada ironi nan pilu dalam pendidikan kita. Kemasygulan ironi itu berulang dan kian mengabaikan martabat pendidikan. Terbayangkankah guru memperlakukan siswanya seperti barang tak berjiwa? Hal itu dilakukan hanya demi kepentingan guru. Beginikah nasib pendidikan ketika uang begitu memobilisasi dinamika pendidikan?
Riwayat pendidikan kita diwarnai sejarah uang (gaji). Sampai lahirnya era Reformasi, gaji guru, khususnya guru PNS, demikian kecil. Reformasi telah membalikkan nasib guru, khususnya guru PNS. Pemerintah terus menaikkan gaji guru dan memberikan beragam tunjangan.
Niat meningkatkan kesejahteraan guru itu mulia. Sayang, begitu banyak guru yang belum selesai dengan dirinya. Kepahitan hidup panjang karena gaji kecil membuat mereka demikian dahaga uang. Jiwa mereka kian kerontang ketika panggilan jiwa sebagai pendidik nihil. Guru hanyalah sebuah pekerjaan.
Ketika pemerintah terus menaikkan gaji dan memberikan beragam tunjangan, mereka tergagap-gagap hingga mabuk. Mereka tak lagi berpijak kukuh karena nihilnya panggilan jiwa sebagai pendidik. Pengabdian dengan menjadi guru menjadi tema usang dan bahan olok-olokan.
Pada gelora nafsu meraup uang inilah sejumlah guru berubah karakter dari abdi menjadi budak. Abdi itu pemuja kehidup- an yang memuliakan martabat diri. Pilihan sikap dan tindakannya diorientasikan memuliakan kehidupan dan martabat diri. Orientasi hidup abdi adalah investasi jangka panjang.
Budak adalah kebalikannya. Sikap dan tindakan budak hanya untuk kepentingan jangka pendek lagi egoistis. Budak hanya akan bekerja bila tahu akan segera mendapat hasil/untung untuk dirinya. Budak tak peduli kalaupun pilihan sikap dan tindakannya menghancurkan martabat dan kehidupan.
Perilaku membudak (uang) ini tercecap pada kasus pembocoran soal ujian, proyek buku, dan pembangunan pengadaan fasilitas pendidikan yang amburadul, memberikan jasa manipulasi nilai, atau memecah jumlah kelas di sekolahnya demi memenuhi tuntutan minimal proyek sertifikasi. Juga ketika mereka terus menambah kelas dengan menerima sebanyak-banyaknya siswa tanpa seleksi agar mencapai target minimal jumlah mengajar untuk tuntutan sertifikasi. Tak peduli cara ini dilakukan di tengah sekolah-sekolah kecil miskin yang kian sekarat.
Ini tragedi pendidikan. Niat awal meningkatkan kesejahteraan agar guru kian bermartabat kini justru telah menjadi proses perbudakan (guru) yang justru menghancurkan martabat serta kehidupan.
Sumber : http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/10/15301522/Tragedi.Pendidikan
KOMPAS.com - Ada ironi nan pilu dalam pendidikan kita. Kemasygulan ironi itu berulang dan kian mengabaikan martabat pendidikan. Terbayangkankah guru memperlakukan siswanya seperti barang tak berjiwa? Hal itu dilakukan hanya demi kepentingan guru. Beginikah nasib pendidikan ketika uang begitu memobilisasi dinamika pendidikan?
Riwayat pendidikan kita diwarnai sejarah uang (gaji). Sampai lahirnya era Reformasi, gaji guru, khususnya guru PNS, demikian kecil. Reformasi telah membalikkan nasib guru, khususnya guru PNS. Pemerintah terus menaikkan gaji guru dan memberikan beragam tunjangan.
Niat meningkatkan kesejahteraan guru itu mulia. Sayang, begitu banyak guru yang belum selesai dengan dirinya. Kepahitan hidup panjang karena gaji kecil membuat mereka demikian dahaga uang. Jiwa mereka kian kerontang ketika panggilan jiwa sebagai pendidik nihil. Guru hanyalah sebuah pekerjaan.
Ketika pemerintah terus menaikkan gaji dan memberikan beragam tunjangan, mereka tergagap-gagap hingga mabuk. Mereka tak lagi berpijak kukuh karena nihilnya panggilan jiwa sebagai pendidik. Pengabdian dengan menjadi guru menjadi tema usang dan bahan olok-olokan.
Pada gelora nafsu meraup uang inilah sejumlah guru berubah karakter dari abdi menjadi budak. Abdi itu pemuja kehidup- an yang memuliakan martabat diri. Pilihan sikap dan tindakannya diorientasikan memuliakan kehidupan dan martabat diri. Orientasi hidup abdi adalah investasi jangka panjang.
Budak adalah kebalikannya. Sikap dan tindakan budak hanya untuk kepentingan jangka pendek lagi egoistis. Budak hanya akan bekerja bila tahu akan segera mendapat hasil/untung untuk dirinya. Budak tak peduli kalaupun pilihan sikap dan tindakannya menghancurkan martabat dan kehidupan.
Perilaku membudak (uang) ini tercecap pada kasus pembocoran soal ujian, proyek buku, dan pembangunan pengadaan fasilitas pendidikan yang amburadul, memberikan jasa manipulasi nilai, atau memecah jumlah kelas di sekolahnya demi memenuhi tuntutan minimal proyek sertifikasi. Juga ketika mereka terus menambah kelas dengan menerima sebanyak-banyaknya siswa tanpa seleksi agar mencapai target minimal jumlah mengajar untuk tuntutan sertifikasi. Tak peduli cara ini dilakukan di tengah sekolah-sekolah kecil miskin yang kian sekarat.
Ini tragedi pendidikan. Niat awal meningkatkan kesejahteraan agar guru kian bermartabat kini justru telah menjadi proses perbudakan (guru) yang justru menghancurkan martabat serta kehidupan.
Senin, 10 September 2012
Dihargai atau tidak, sudah tidak penting lagi....:)
Peraturan pemerintah tentang kewajiban mengajar 24 jam membuat posisi
guru dengan jumlah jam mengajar sedikit dan jumlah guru berlebih menjadi
kesulitan.
Kewajiban ini apalagi kalau bukan ujung ujungnya
duit, artinya guru yang tidak dapat memenuhi 24 jam dia tidak berhak
atas tunjangan sertifikasi satu kali gaji, dan dengan kata lain tidak
berhak disebut guru professional.
Di sekolah saya ada 6 guru
ekonomi dengan jumlah jam mengajar 62 jam per minggu, jadi jika dibagi
rata ke 6 orang, setiap guru tidak bisa mengajar sesuai aturan 24 jam.
Itulah mengapa sejak tiga tahun yang lalu saya memutuskan mundur untuk
mencari jam di sekolah lain, hingga saya harus mengajar 3 sekolah, ujung
ujungnya memang duit, tapi selama 3 tahun ini nikmatnya bagi saya bukan
sekedar uang namun, tantangan mengajar di tiga sekolah dengan karakter
budaya sekolah yang berbeda, juga karakter siswa siswanya.
Tahun ini ada peraturan baru bahwa orang orang seperti saya, tidak boleh
mengajar di sekolah selain dibawah Kemenag, tidak boleh di sekolah
diknas, juga di SMK
Minggu, 09 September 2012
The greatest love of all and me...:)
Pertama mengenal lagu ini sekitar tahun 1989 saat saya masih SMA, waktu itu Hilman-lupus membahas lagu ini di majalah Gadis, lagu ini yang membuat saya terlecut kembali bersemangat ketika saya gagal dan jatuh
I believe the children are our future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they possess inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children's laughter remind us how we used to be
Everybody's searching for a hero
People need someone to look up to
I never found anyone who fulfilled my needs
A lonely place to be
So I learned to depend on me
I decided long ago, never to walk in anyone's shadows
If I fail, if I succeed
At least I'll live as I believe
No matter what they take from me
They can't take away my dignity
I believe the children are our future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they possess inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children's laughter remind us how we used to be
Everybody's searching for a hero
People need someone to look up to
I never found anyone who fulfilled my needs
A lonely place to be
So I learned to depend on me
I decided long ago, never to walk in anyone's shadows
If I fail, if I succeed
At least I'll live as I believe
No matter what they take from me
They can't take away my dignity
Rabu, 05 September 2012
Saya "keranjingan" belajar di Coursera
Kuliah Introduction to Finance sekarang beranjak ke week 8, saya
baru selesai mengerjakan assignment di week 6 yang batas akhir pengerjaannya
tanggal 6 September besuk, sedangkan video kuliah untuk week 7 dan week 8
berikut assignmentnya sudah ada kemarin, batas akhir dua assignment week 7 dan
8 sama sama tanggal 20 September.
Kuliah Intro to Finance bersama Prof. Gautam Kaul sangat
menyenangkan, apa lagi setiap assignment, skor saya lebih dari 75 walau seringnya
mesti dua kali mengerjakannya. Jadi satu assignment diberi kesempatan dua kali
untuk mengerjakannya dengan dua soal yang 75% berbeda dari soal sebelumnya.
Mau pamer, skor nilai saya di Assignment 6 attempt 2, yang attempt 1 cuma dapet 70 |
Feedback dari Prof. Kaul di assignment 6 attempt 1, baca komentar atas kesalahan yang saya buat, simpatik ya...:) |
Sementara kuliah Finance ini berjalan, bulan September ada 3 kuliah lain yang saya ikuti, Statistic One bersama Prof Conway dari Princeton University, Model Thinking oleh Prof. Scott dari Michigan University dan satu lagi Introductional to Computational Finance and Financial Econometric bersama Prof. Eric Zivot dari Washington University.
Ini empat kuliah yang saya jalani bulan september ini |
Kuliah kuliah ini rata rata akan berjalan selama 10 minggu
termasuk assignment, quizzes, ataupun homework setiap minggunya.
Di dunia nyata, sebenarnya saya masih harus mengerjakan thesis saya, tentang pengaruh word of mouth intention, image sekolah, kepuasan siswa dan service quality, namun rasanya sayang untuk mengesampingkan kuliah kuliah saya di coursera. Saat mengerjakan thesis saya hanya merasa, harus menyelesaikan pekerjaan itu, saya belum menemukan Aha bahwa saya akan dapat sesuatu dari research saya
Di dunia nyata, sebenarnya saya masih harus mengerjakan thesis saya, tentang pengaruh word of mouth intention, image sekolah, kepuasan siswa dan service quality, namun rasanya sayang untuk mengesampingkan kuliah kuliah saya di coursera. Saat mengerjakan thesis saya hanya merasa, harus menyelesaikan pekerjaan itu, saya belum menemukan Aha bahwa saya akan dapat sesuatu dari research saya
Beda sekali ketika saya mengerjakan assignment 1 – 6 dari
Prof. Kaul yang sudah saya kerjakan minggu per minggu karena ada batas waktu tiap
assignment tiap minggu. Saat saya salah mengerjakan satu kasus rasanya jadi
tambah penasaran, dan saat saya bisa menyelesaikan kasus kasus di soal itu
rasanya puaaaaaasss sekali, perasaan ini sulit sekali digambarkan. Padahal kelas di Prof. Kaul tidak ada reward yang berarti, tidak seperti jika saya menyelesaikan thesis saya,
rewardnya tentu saja, ijazah, gelar bisa juga kenaikan pangkat. Reward yang saya dapat dari Prof. Kaul adalah kepuasan saat
dapat memecahkan kasus kasus dalam soal assignment juga inspirasi gaya mengajar
dari Prof. Kaul
Pada prinsipnya ke empat kuliah yang saya ikuti sistemnya
sama, ada 5-8 video pendek 15-20 menit yang berisi kuliah para prof tersebut
yang bisa di download dan kemudian ada quizzes, assignment, dan homework di
setiap minggunya yang harus dikerjakan sebelum batas waktu
Tidak jauh berbeda dengan Prof. Kaul, kelas Prof. Conway,
Prof. Scott dan Prof. Eric Zivot juga sangat menyenangkan, guru guru itu
sungguh sungguh expert di bidangnya, mereka bisa membuat saya yakin bahwa apa
yang mereka ajarkan worth it. Bukan lagi ijazah tapi bener bener ilmu yang
bermanfaat untuk kehidupan saya. Klise ya tapi nyata
Nha ini gara gara Kuliah pertama saya dengan Prof. Kaul yang membuat saya jadi "keranjingan" dan gelap mata untuk ambil mata kuliah yang lain hehe |
Gaya Prof. Conway dari Princeton University saat menyampaikan kuliahnya |
Prof. Eric Zivot dari University of Washington, cepeeett banget ngomongnya tapi oke deh |
Prof. Scott dari Michigan University, yang ini juga ngomongya cepet bangett, tapi tetep kereeenn kuliahnya |
Minggu, 02 September 2012
Honorable Class??? hari gini...:(
bukan bukan kelas unggulan (bersyukur di tempat saya tidak ada), tapi mereka anak anak hebat saya |
Saya search peraturan pemerintah
yang mendasari ini, saya temukan, kata mereka salah satu dasarnya adalah pasal
5 ayat 4 UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang berbunyi
Warga
negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh
pendidikan khusus.
persepsi saya
pendidikan khusus disini adalah pendidikan yang dapat memperkaya dan memperdalam
potensi kecerdasan mereka, bukan di sekolah umum biasa namun sekolah khusus
seperti Sekolah Musik, Sekolah Tari, Sekolah Science
dalam UU 20 2004 pasal 4 ayat 1 jelas disebutkan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. pasal 5 ayat 1 jelas juga disebutkan Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk pendidikan yang bermutu
ada lagi dalam proposal pembentukan kelas unggulan menggunakan dasar pasal 3 UU Sisdiknas ini yang berbunyi
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Semua membuat saya berkesimpulan bahwa dasar pembentukan kelas unggulan ini tidak jelas,
Oya sebelumnya akan saya jelaskan apa yang dimaksud dengan kelas unggulan yang sebenarnya, yang terjadi dan saya lihat dari sekolah yang sudah menerapkannya, perbedaan kelas unggulan dan kelas lainnya adalah kelengkapan fasilitas kelas, kelas dibuat berbeda dengan kelas lain, ada AC, komputer, hotspot, LCD, intinya fasilitas kelas dibuat lengkap dan nyaman, guru guru yang mengajar juga guru pilihan dan unggul, siswa siswanya juga pilihan minimal mereka rangking 1 – 5 di kelas biasa atau ada tes seleksi untuk siswa siswa yang dapat masuk kelas unggulan, disamping seleksi, orang tua juga harus memberikan biaya ekstra SPP yang tentu saja lebih tinggi dari kelas biasa. Tujuan dari pembentukan kelas unggulan ini adalah membuat siswa lain termotivasi untuk duduk di dalam kelas tersebut, yang berada di kelas unggulan juga merasa termotivasi untuk mempertahankan kedudukannya disana.
Sekarang kita simak silang pendapat dari beberapa Profesor di tahun 2008, saat merebaknya wacana kelas unggulan untuk sekolah unggulan ini :
Langganan:
Postingan (Atom)
Menjadi Instruktur
Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...
-
Saya meminta seorang teman sariorange@gmail.com untuk menerjemahkan artikel yang berharga ini, supaya lebih banyak teman guru yang bisa ter...
-
Tahun 1998 - 2005 saya adalah guru paling kejam di dunia, saya sering menyakiti anak-anak saya sebagai dalih untuk melecut semangat mereka, ...
-
Mereka yang ada di Jaman Jahiliyah 3 Saya... :) Saat ini saya membagi perjalanan saya menjadi guru, menjadi tiga jaman jahiliyyah. Pili...