https://www.slideshare.net/CasperWendy/selfregulated-learning-zimmerman |
Semangat ya...
--------------------------
Pendahuluan
Tantangan belajar abad 21 antara lain adalah bagaimana siswa generasi Z dan Alpha dengan kompetensinya dapat menghadapi berbagai situasi di kehidupannya kelak. Untuk mengatasi hal tersebut UNESCO juga Finlandia (termaktub pada core curriculum-nya), mengembangkan yang disebut dengan Transveral Competencies, yaitu kompetensi yang menyangkut berbagai aspek keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa abad ini, yaitu ketrampilan berpikir kritis dan inovatif, ketrampilan interpersonal, intrapersonal, ketrampilang menguasai media, teknologi informasi, kepedulian, keterbukaan, tanggungjawab terhadap isu global dan yang terakhir adalah bagaimana mereka menghormati religious value dan healthy life. (Care & Rebeccah Luo, 2015). Model merdeka belajar menjadi topik penting dalam pendidikan, karena memiliki komponen penting yang mendukung siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat di abad 21 ini. Model Merdeka belajar ini membuat siswa terlatih untuk aktif, mandiri, problem solver, berpikir kritis, inovatif, menjadi siswa yang memiliki pandangan social budaya. (Zimmerman & Schunk, 2001) dan masih banyak manfaat yang diperoleh dari model ini, yang akan banyak membantu siswa memiliki transveral competencies, sebagai bekalnya di abad 21.
Merdeka
Belajar (Self Regulated Learning)
Menurut Zimmerman, 1986, 1989
secara umum, siswa dapat dideskripsikan sebagai siswa merdeka
belajar jika mereka memiliki kemampuan metakognitif, motivasi, dan partisipan
aktif dalam proses belajar mereka sendiri. Selanjutnya oleh Zimmerman, 1989, metakognitif
didefiniskan sebagi proses pengambilan keputusan dari berbagai pilihan pengetahuan
. Siswa
merdeka belajar harus memiliki model untuk mencapai
tujuan akademik atas dasar persepsi self-efficacy.
Definisi ini mengasumsikan tiga hal yang
harus dimiliki siswa yaitu model belajar mandiri,
persepsi self-efficacy,
dan komitmen terhadap tujuan
akademik (Zimmerman, 1989).
Nilson, 2013, menyatakan bahwa merdeka belajar adalah
hubungan dengan diri sendiri dan kemampuan diri untuk berusaha, mengendalikan
diri, menilai diri secara kritis untuk mencapai hasil terbaik – dan tentang
bagaimana mengatasi resiko, kegagalan, gangguan, melawan kemalasan dalam mengejar
tujuan hidup. Merdeka belajar adalah bagaimana guru di kelas Bersama siswanya
mendiskusikan tujuan belajar, cara belajar dan bagaimana mereka mengukur keberhasilan
belajarnya. Ada tiga hal penting untuk menumbuhkan komitmen merdeka belajar
yaitu, kemampuan memahami tujuan belajar, kemampuan memusatkan perhatian,
berkaitan dengan pencapaian jangka pendek maupun jangka Panjang dan kemampuan
menetapkan prioritas. (Shihab, 2017).
Cara mengajar merdeka belajar adalah bagaimana guru memanusiakan
hubungan dengan menciptakan dukungan emosional dan pedagogis kepada siswa,
Memahami Konsep - belajar dengan mengkonstruksi makna dan fokus kepada
pemahaman, Membangun Berkelanjutan, membangun ruang kontrol siswa terhadap rute
dan tantangan yang dihadapi, menciptakan situasi penilaian yang tidak mengancam
siswa dan fokus kepada bantuan untuk penilaian diri sendiri, penilaian yang
tidak mengancam siswa dengan memberikan kepercayaan diri pada siswa. Kemudian
tidak ada penilaian baik cukup kurang, berikan penilaian misalnya mahir,
terampil dan pemula.
Penilaian Formatif (Formative Assesment)
Fokus artikel ini adalah
bagaimana siswa bersama guru mengukur keberhasilan model merdeka belajar
melalui penilaian formatif. Salah satu tujuan penilaian formatif adalah untuk
memungkinkan siswa merdeka belajar yang secara aktif dapat memonitor dan
mengatur sendiri proses belajarnya (Nicol & Macfarlane-Dick, 2006). Penilaian
formatif berkaitan dengan bagaimana penilaian tentang kualitas respons siswa
(pertunjukan, karya, atau karya) dapat digunakan untuk membentuk dan meningkatkan
kompetensi siswa dengan membuat hubungan yang acak dan inefisiensi (Sadler,
1989). Penilaian formatif dan feedback harus
digunakan untuk memberdayakan siswa merdeka belajar. Konstruk pengaturan diri
mengacu pada sejauh mana siswa dapat mengatur aspek pemikiran, motivasi dan
perilaku mereka selama belajar (Pintrich & Zusho, 2002; Nicol, 2006). Penilaian formatif yang dilakukan di kelas merdeka
belajar, bermanfaa dalam meningaktkan kepercayaan diri siswa terhadap kemampuan
yang mereka miliki untuk memecahkan masalah yang dihadapi, selain itu juga mengajak
mereka menulis dan mengkaji kekeliruan atau kesalahan yang mereka dapati. Kegiatan
seperti ini membuat siswa belajar cepat untuk terus mencoba memcahkan masalah
dan juga mencari model bagaimana memecahkan masalahnya (Zimmerman, et.al, 2011,
Nilson, 2013)
Ada beberapa masalah yang
timbul saat diterapkan penilaian formatif pada model merdeka belajar:
Pertama, penilaian formatif secara eksklusif merupakan
otoritas guru, maka sulit untuk melihat bagaimana siswa dapat berdaya dan
mengembankan merdeka belajarnya. (Boud, 2000).
Kedua, feedback yang diberikan guru sulit dipahami siswa dan
belum tentu dapat membuat siswa aktif merespon feedback dari guru, dan siswa
jadi tidak dapat mengatur kegiatan belajarnya sendiri (Higgins et al., 2001).
Ketiga, feedback mengabaikan keyakinan dan motivasi siswa,
feedback eksternal semacam ini terbukti dapat mempengaruhi perasaan siswa (baik
feedback positif ataupun negative) hal ini akan mempengaruhi persepsi diri dan
kemerdekaan belajar mereka. (Dweck, 1999).
Keempat, feedback bisa jadi merepotkan guru, karena jumlah
siswa yang banyak di setiap kelas, sehingga perlu diterapkan berbagai cara
untuk memberikan feedback, selain dari guru sendiri seperti misalnya self assessment, peer assessment (Nicol & Macfarlane-Dick, 2006)
7 prinsip
penilaian formatif merdeka belajar menurut Nicol dan Macfarlane-Dick
Sulitnya penilaian formatif merdeka belajar, dicoba
dijawab oleh Nicol dan Macfarlane Dick, berikut ini:
1. Membantu siswa mengklarifikasi bagaimana
ukuran kinerja atau hasil yang baik, dari tujuan, kriteria, hasil yang
diharapkan dan standards yang ditetapkan.
2. Memfasilitasi perngembangan self-assesment
(refleksi) dalam pembelajaran
3. menyampaikan informasi terbaik kepada
siswa tentang apa yang mereka pelajari.
4. memberikan kesempatan yang sebesar besarnya
agar terjadi dialog antar siswa juga siswa dengan guru
5. Mendorong motivasi positif dan keyakinan
diri pada siswa
6. Memberikan kesempatan untuk
menghilangkan gap antara tujuan dan ambisi terhadap hasil belajar
7. Memberikan informasi kepada guru untuk
membantu menyusun model merdeka belajar
Praktik kelas Penilaian Formatif Merdeka Belajar
Berdasarkan tujuh prinsip dari Nicol tersebut, penulis mencoba
mempraktikannya dalam pembelajaran ekonomi di kelas materi kewirausahaan usaha kecil
menengah, untuk kelas XI Madrasah Aliyah (setingkat SMA)
Prinsipnya siswa akan
memahami tujuan belajarnya, jika mereka paham tujuan tersebut, bermanfaat dan
berarti, alasan yang diberikan masuk akal, jadi guru harus menyatukan tujuan
belajar yang sudah dibuatnya dengan tujuan belajar menurut pemahaman siswa,
sehingga mereka memiliki motivasi untuk melanjutkan mendalami materi pelajaran
tersebut.
Untuk mempelajari materi
tersebut, guru memberikan beberapa opsi tujuan belajar, seperti misalnya, pilihan
tujuan pertama, siswa dapat memahami apa itu susaha kecil menengah, kedua,
siswa dapat membuka usaha kecilnya sendiri, ketiga siswa membuat proyek membantu
usaha kecil menengah yang ada. Setelah diputuskan kemudian didiskusikan
kriteria apa yang dapat dirumuskan untuk menunjukkan bahwa belajar mereka
tentang materi kewirausahaan usaha kecil menengah ini berhasil. Misalkan sebagai
berikut :
Tujuan belajar yang dipilih
siswa adalah siswa dapat membuat proyek untuk membantu usaha kecil menengah
yang ada. Untuk tujuan yang ini siswa satu kelas berkelompok, satu kelompok 4-5
orang. Kemudian didiskusikan proyek itu akan dalam bentuk apa saja?
- Melakukan pengamatan langsung untuk mencari permasalahan yang terjadi pada satu usaha kecil menengah
- Melakukan perbandingan, mencari referensi baik dari usaha kecil yang lain atau dari buku buku referensi yang ada
- Mendiskusikan hasil temuan secara kelompok
- Solusi berupa proyek yang dapat dilaksanakan dan bermanfaat untuk usaha tersebut.
Guru memberikan fasilitas
kepada siswa untuk melakukan pengamatan pada usaha kecil menengah dengan
mengajak siswa ke pasar tradisional dekat sekolah. Siswa berkelompok,
berkeliling untuk melakukan pengamatan dan wawancara kepada para pemilik usaha,
rata rata pedagang kecil, pemilik kios atau pedagang kaki lima.
Hasil pengamatan kemudian
didiskusikan kembali di dalam kelas. Karena rata rata permasalahan para pemilik
usaha hamper sama, yaitu sepinya pasar sehingga diputuskan untuk membuat proyek
MANSA Peduli Pedagang– proyek yang diusulkan siswa ini bertujuan membantu agar
masyarakat kembali ke pasar tradisional. Mereka membuat video iklan lengkap
dengan profil dan tempat usaha mereka.
Sebelum proyek ini
dilaksanakan kembali didiskusikan ukuran keberhasilan dari proyek tersebut, dan
disusun dalam bentuk rubik sebagai berikut :
Tabel.1. Rubik Penilaian formatif Proyek MANSA Peduli
Pedagang
Kategori
|
Dimensi
|
|||
Pemula
|
Terampil
|
Mahir
|
||
Ide
|
Ide dari iklan
yang lain
|
Video iklan
dari saduran
|
100% ide
asli dan tidak plagiat
|
|
Kualitas Video
|
- Kamera
75% goyang
- Kualitas
gambar tidak terang dan jelas
- Suara
tidak terdengar jelas
- Tidak
ada variasi
|
- Kamera
50% goyang
- Kualitas
gambar 50% terang dan jelas
- Suara
80% jelas
- Variasi
50% (animasi, tulisan, backsound)
|
- Kamera
stabil
- Kualitas
gambar terang dan jelas
- Suara
jelas
- Variasi
penuh (animasi, tulisan, backsound)
|
|
Banyaknya Like, karena
dishare di Youtube
|
< 50
Like
|
Ø 50
like < 100
|
Ø 100
like
|
|
Feedback dari pemilik
usaha
|
|
|
|
Rubik diatas dibuat bersama
sama siswa, jadi mereka mengetahui hasil seperti apa yang diharapkan. Proses penilaian
formatif yang dilaksanakan dengan siswa. Selaian Penilaian Formatif ada hal
lain yang juga tidak kalah penting dalam proses merdeka belajar yaitu saat
semua kelompok berefleksi mengenai proses pembelajaran ini dari awal hingga
akhir. Pertanyaan pertanyaan refleksi yang dapat diajukan antara lain, mengenai
apa tantangan terbesar proyek ini, bagaimana mereka mengatasinya, mengapa itu
menjadi tantangan, apa yang membuat mereka puas dan bahagia, mengapa? apa yang
membuat mereka sedih, tidak suka atau marah, mengapa?
Simpulan.
Artikel ini ingin menjawab
bahwa model merdeka belajar sangat bisa dilaksanakan di kelas, karena guru memiliki
otoritas di dalam kelas. Merdeka belajar sangat sesuai dengan permendikbud 20 –
22 tahun 2016, mengenai Standar Kelulusan, Standard Isi dan Standard Proses
dimana proses belajar yang dilaksanakan harus kreatif, interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk aktif dan memiliki prakasa juga
mandiri. Sehingga guru dapat membantu siswa nya menjadi manusia yang
memiliki transveral competences dan
siap menghadapi abad 21.
Daftar Pustaka
Black,
P., & Wiliam, D. (1998). Assessment and classroom learning. Assessment in
Education, 5, 7-74
Boud, D. (2000) Sustainable
assessment: rethinking assessment for the learning society, Studies in Continuing Education, 22(2), 151–167.
Care, Esther and Rebeccah Luo, (2015). Assesment of Transveral Competencies, Policy
and Practice in Asian Pasific Region, UNESCO Bangkok
David J. Nicola* and Debra
Macfarlane-Dickb. (2006). Formative
assessment and self regulated learning:
a model and seven principles of good feedback practice Studies in Higher
Education Vol. 31, No. 2, April 2006,
pp. 199–218
Dweck, C. (1999) Self-theories:
their role in motivation, personality and development (Philadelphia, PA,
Psychology Press).
Higgins, R., Hartley, P.
& Skelton, A. (2001) Getting the message across: the problem of communicating
assessment feedback, Teaching in Higher Education, 6(2), 269–274.
Nilson, Linda Burzotta.2013 Creating
self-regulated learners : modeles to strengthen students’ self-awareness and
learning skills. Published by Stylus Publishing, LLC 22883 Quicksilver
Drive Sterling, Virginia 20166-2102
Pintrich, P. R. &
Zusho, A. (2002) Student motivation and self-regulated learning in the college classroom,
in: J. C. Smart & W.G. Tierney (Eds) Higher Education: handbook of
theory and research (vol. XVII) (New York, Agathon Press).
Sadler, D. R. (1989) Assessment
and Evaluation Research,
Instructional
Science 18:119-144 (1989) 119 © Kluwer Academic
Publishers. Dordrecht - Printed in the Netherlands Formative assessment and the
design of instructional systems
Sadler, D. R. (1998)
Formative assessment: revisiting the territory, Assessment in Education, 5(1), 77–84.
Shihab, Nejelaa, & Komunitas Guru Belajar
Nusantara.(2017). Merdeka Belajar di Ruang Kelas. Penerbit Literati. Kampus
Guru Cikal Jakarta.
Wolters,
C. A. (2010). Self-regulated learning and the 21st century competencies.
Department of Educational Psychology, University of Houston Retrieved December
14,
2010,from.http://www.hewlett.org/uploads/Self_Regulated_Learning_21st_Century_Compe
tencies.pdf
Zimmerman, B. J. (1989). A Social Cognitive
View of Self-Regulated Academic Learning. Journal
of Educational Psychology 1989, Vol. 81, No. 3, 329-339
Zimmerman, B. J. (1986). Development of
self-regulated learning: Which are the key subprocesses? Contemporary
Educational Psychology, 16,301-313.
Zimmerman,
B., & Schunk, D. (2001). Self-regulated
learning and academic achievement: Theoretical perspectives (2nd ed.).
Mahwah, NJ: Erlbaum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar