Senin, 08 Juli 2013

[KLIPING] Pendidikan yang Tak “Mendidik”

Nur Sholikhin ;  Peneliti Bidang Pendidikan di Garawiksa Institute Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 04 Juli 2013

Hadirnya pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan menjadi wadah penanaman nilai dan membentuk karakter serta kepribadian anak bangsa. Dengan pendidikan, diharapkan kehidupan masyarakat lebih bermartabat.



Bila masalah pendidikan diperhatikan dengan saksama maka tampak jelas bahwa pendidikan berbanding lurus antara krisis moral dan komersialisasi pendidikan. Pendidikan diarahkan untuk dikomersialisasikan sehingga hal ini akan menimbulkan krisis moral terhadap anak bangsa.

Hal demikian terjadi karena orientasi pendidikan sebagai akibat dari sistem ekonomi pasar dunia yang material-kapitalistik. Sistem pendidikan yang berbasis material-kapitalistik itu sudah melekat mulai dari kebijakan hingga penyelenggaraan; sehingga tujuan serta fungsi pendidikan yang diimplikasikan dalam materi dan kurikulum hanya menjadi slogan verbal belaka.

Sistem pendidikan yang berbasis material-kapitalistik tersebut berdampak terhadap sikap masyarakat dan warga sekolah. Adanya sistem tersebut menimbulkan sikap pragmatis bagi warga sekolah, sehingga berdampak terhadap cara pandang masyarakat. Saat ini masyarakat menganggap pendidikan identik dengan mencari kerja. Pendidikan hanya dijadikan tempat pengembangan potensi, agar setelah lulus sekolah bisa bekerja di tempat yang layak.

Hal demikian menjadi pertimbangan utama bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Mereka berlomba-lomba menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit ataupun sekolah yang menjanjikan pekerjaan bagi muridnya.

Selain orang tua, sekolah pun berlomba-lomba menjanjikan pekerjaan bagi siswanya ketika sudah lulus sekolah. Ini merupakan salah satu potret sistem pendidikan yang pragmatis.

Lantas yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa masyarakat menganggap pendidikan hanya dijadikan tempat mencari ijazah dan pekerjaan? Bukankah sudah jelas dalam UU No 20 Pasal 3 Tahun 2003 dijelaskanbahwa pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tidak terealisasinya tujuan pendidikan itu akibat dominasi budaya serta sistem pragmatisme dalam dunia pendidikan.

Bukan hanya dalam dunia pendidikan, budaya pragmatis juga menjalar di masyarakat. Hal itu karena adanya ketidaksesuaian dalam sistem pendidikan saat ini. Pendidikan diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan pasar.
Penanaman nilai serta pembentukan karakter dan kepribadian pun kian terbengkalai, karena yang ditekankan adalah agar siswa dapat bekerja. Proses tidak lagi mendapatkan ruang yang banyak dalam pendidikan, tapi hasil menjadi hal yang urgen. Lulus ujian dan mendapatkan ijazah merupakan harapan utama para siswa.

Dengan lulus ujian dan mendapatkan ijazah, siswa dapat melamar pekerjaan, karena kedua hal tersebut menjadi salah satu syarat. Ironisnya, berhasil tidaknya siswa mengenyam pendidikan itu ditentukan dengan Ujian Nasional (UN). Inilah yang mendukung dominasi sistem pendidikan yang pragmatis.


Dengan sistem pendidikan pragmatis, pendidikan tidak lagi mencetak siswa yang berkarakter, tetapi mencetak siswa yang hanya ahli bekerja. Dengan demikian, yang terjadi adalah banyaknya kasus pelanggaran yang dilakukan siswa saat mengenyam pendidikan, tawuran antarpelajar, menyontek, bolos sekolah misalnya.

Sistem pendidikan pragmatis, juga menyeret banyak lembaga pendidikan untuk terjebak dalam budaya pragmatis. Budaya pragmatis tersebut menjadikan corporate values sebagai nilai utama dalam membangun pendidikan. Pendidikan tidak lebih hanya seperti supermarket. Pengelola pendidikan akan berbondong-bondong untuk mencari siswa sebanyak-banyaknya dengan memberikan jaminan mendapatkan pekerjaan setelah lulus.

Akibatnya, kecurangan kerap kali menghiasi lembaga pendidikan pada saat pelaksanaan UN, guna menjaga popularitas lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang dapat meluluskan siswa 100 persen yang akan dicari masyarakat. Jika seperti itu terus dilestarikan, nilai-nilai pendidikan sedikit demi sedikit akan pudar.

Sistem pragmatis pastinya akan memengaruhi pada proses pendidikan. Menurut pandangan Habermas, ada tiga kategori pengetahuan yaitu teknis, praktis dan emansipatoris. Jika budaya pragmatis mendominasi dunia pendidikan, pengetahuan teknis-praktis akan mendominasi proses pendidikan. Yang terjadi dalam proses pendidikan adalah pengetahuan dipisahkan dari proses pembentukannya.
Tak “Mendidik”

Pergolakan antara idealisme dan sistem pragmatisme dalam dunia pendidikan akan terus terjadi. Di satu sisi, pendidikan mempunyai peran dalam membentuk dan menanamkan nilai, kepribadian serta karakter siswa. Namun, di sisi lain pendidikan harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Idealisme pendidikan tidak akan berarti ketika disandingkan dengan sistem pragmatis yaitu berupa ekonomi. Tidak dapat dipungkiri, pendidikan dewasa ini diarahkan untuk memperbaiki ekonomi seseorang. Jika hal ini terjadi, “Kehidupan publik seperti apa yang hendak dibentuk oleh dunia pendidikan?” (Neil Postman: 1996).

Pendidikan diyakini untuk memainkan peran yang signifikan dalam membentuk kehidupan masyarakat yang bermartabat. Bahkan, pendidikan diyakini sebagai tolok ukur keberhasilan bangsa. Namun, jika pendidikan diarahkan ke hal yang bersifat pragmatis maka yang menjadi basis pendidikan bukan lagi nilai-nilai idealisme.

Saat ini pasarlah yang membentuk pendidikan. Pendidikan memenuhi kebutuhan pasar. Sedikit sekali lembaga pendidikan yang mempertahankan idealismenya. Pendidikan mengikuti kebutuhan pasar, karena tanpa bekerja seseorang tidak akan bisa hidup.

Paradigma seperti itulah yang sudah tertanam dalam masyarakat. Lembaga pendidikan jika mempunyai prospek untuk kerja maka lembaga pendidikan tersebut akan laris. Bahkan, hal itu sangat kentara di tataran perguruan tinggi.

Orang tua akan lebih senang jika anaknya kuliah di fakultas yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi yang lebih kelak ketika sudah kerja. Jadi, tidak heran fakultas yang digemari masyarakat adalah fakultas yang berorientasi pasar dan mudah untuk kerja, misalnya fakultas ekonomi, akuntansi, dan kedokteran.
Fakultas yang tidak bisa memenuhi kebutuhan pasar maka sedikit yang berminat, seperti fakultas filsafat dan antropologi. Saat ini masyarakat menyekolahkan anak bukan berdasarkan keilmuan yang akan diperoleh, tetapi berdasarkan prospek kerja ke depan.

1 komentar:

  1. banyak sistim pendidikan yg sebenarnya bersifat tidak mendidik, itu semua kesalahan siapa???

    banyak mereka yg kuliah sambil kerja, belajar cuma sehari dalam seminggu di universitas swasta, ujung^nya dapat ijazah sbg syarat persamaan.

    bahkan banyak paket, abcd, sampai E, kuliah tidak ijazah ada...???? salah siapa???

    Susahnya kalau semua dipimpin oleh oknum yg rusak. kalau memang harus dipersulit jangan dipermudah,
    sebaliknya kalau mau harus dipermudah jangan dipersulit......


    Hukum di Indonesia sekarang sedang krisis..yg miskin masuk penjara yg kaya tertawa

    BalasHapus

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...