Sejak awal menjadi
guru tahun 2001 sampai sekarang saya masih biasa
memukuli siswa, membentak siswa, dan bahkan sengaja mempermalukan siswa di
hadapan kelas. Semua saya lakukan bukan karena benci atau dendam, apalagi dengki, tetapi karena bentuk perhatian saya terhadap diri siswa. Perlakuan terhadap mereka dilakukan dengan ketulusan kasih sayang, bahwa yang saya perlakukan bukan dirinya atau kepribadiannya tapi kesalahan yang dia telah lakukan. Dengan berjalannya waktu, mereka tumbuh dan berkembang menjadi remaja dan bahkan dewasa ternyata mereka yang menyapa, sangat hormat, peduli terhadap saya adalah mereka yang sewaktu diajar selalu mendapat perhatian melalui perlakuan saya tadi. Mereka yang pintar, baik, sopan dan santun, ternyata kerap kali malah tak lagi ada sapaan pada gurunya.
memukuli siswa, membentak siswa, dan bahkan sengaja mempermalukan siswa di
hadapan kelas. Semua saya lakukan bukan karena benci atau dendam, apalagi dengki, tetapi karena bentuk perhatian saya terhadap diri siswa. Perlakuan terhadap mereka dilakukan dengan ketulusan kasih sayang, bahwa yang saya perlakukan bukan dirinya atau kepribadiannya tapi kesalahan yang dia telah lakukan. Dengan berjalannya waktu, mereka tumbuh dan berkembang menjadi remaja dan bahkan dewasa ternyata mereka yang menyapa, sangat hormat, peduli terhadap saya adalah mereka yang sewaktu diajar selalu mendapat perhatian melalui perlakuan saya tadi. Mereka yang pintar, baik, sopan dan santun, ternyata kerap kali malah tak lagi ada sapaan pada gurunya.
Anehnya, kondisi ini hampir dirasakan oleh
semua teman guru di sekolah. Padahal secara teoritis, perlakuan kita agak
melenceng dari kondisi ideal. Kesimpulan beberapa teman saya, bukan perlakuan
yang jadi masalah bagi anak, tapi caranya memperlakukan anak. Bukan pada apa
yang kita ucapkan pada anak, tapi bagaimana
cara kita mengucapkannya. Bukan pada perlakuan
memukul anak, tapi bagaimana cara kita memukul anak. Tanpa menyangkal
bahwa memang kita sebagai guru
kadangkala pun melakukan kekhilafan dalam
persoalan itu.
Terus lagi
Saya
merasa tidak menyesal dengan melakukan kekerasan terhadap siswa saya selama
ini, karena semua saya lakukan dengan sadar. Artinya, saya melakukannya dengan
"terencana dan terukur" dalam situasi tertentu. Ini pengakuan yang
jujur bahwa saya sampai saat ini saya masih melakukannya. Meski sadar dalam
teori psikologi pendidikan yang saya gunakan "J.W. Santrock & P.
Edgen" tidak sesuai dengan tindakan saya, tapi kadangkala ada memang
situasi yang tidak bisa diatasi oleh teori, karena teori pun dibuat berdasarkan
pola yang bersifat umum. artinya ada hal spesifik yang juga harus ditangani
secara khusus. Kalau anak yang tidak bisa lagi mengikuti pola pendidikan yang
kita tetapkan, lantar harus dikembalikan ke orang tua, itu bisa menjadi solusi
bagi guru/sekolah tp jelas bukan solusi bagi anak....!!! tepatnya, itu tanda
frustasi guru/sekolah terhadap si Anak. He...heeee.......!! Maaf, saya tidak
pernah setuju mengeluarkan anak dari sekolah. Kalau guru yang harus menggunakan
perlakuan fisik termasuk "pemukulan" harus dihentikan sebagai guru,
berapa banyak guru Indonesia yang harus dihentikan???? Santai saja
bozz......!!!
Jika sama-sama tujuannya menjadi anak yang baik, mengapa
harus dengan kekerasan, jika banyak cara yang bisa ditempuh tanpa kekerasan.
Menurut saya butuh sikap dan cara berpikir positif menghadapi
setiap murid, sehingga apapun masalah yang terjadi, kita dapat menyelesaikannya
dengan enak dan nyaman.
Tahun ini saya jadi wali kelas, menurut para guru yang
mengajar di kelas saya, murid-murid walian saya adalah murid paling sulit
dikendalikan. Iya sih mereka terutama
murid laki-laki yang jumlahnya 13 anak dari total 24 anak itu—ada yang
sering bolos tidak masuk sekolah atau hanya pada jam tertentu saja, sering
terlambat masuk kelas, main hp di saat pelajaran, tidur di kelas, ramai di
kelas, pacaran, merokok, lompat pagar, dan sulit disuruh nurut—ada sekitar 6
anak yang seperti itu. Hampir setiap hari di awal semester lalu, bermacam
laporan guru masuk di hp saya atau saat bertemu langsung…..
Namun menurut saya, anak-anak walian saya itu semua baik
kok, tidak ada yang mencuri, dan memfitnah teman.
Oke tapi sekolah sudah punya peraturan—saya katakan pada anak-anak saya, jika mereka masih ingin berada di
sekolah ini, mereka mau tidak mau harus taat aturan yang ada. Kalau tidak
mendingan homeschooling saja, nanti saya bantu daftar ke diknas jika ingin
ujian paket C, toh ujian paket C juga bias kuliah—apa sih yang dicari, kalau
ada cara gampang kenapa mesti susah-susah, sampai dibela-belain bolos, telat,
tidur di kelas, dimarah-marah guru sampai ada yang ditempeleng.
Tidak ada anak yang memilih opsi kedua itu, semua masih
ingin belajar disekolah. Oke waktu berjalan laporan itu tetap ada, bukannya
berkurang malah bertambah—bahkan 6 anak itu bolos semua saat pelajaran
tertentu.
Saya ajak mereka ngobrol, maunya gimana, menurut mereka saya
sebagai wali kelas harus bersikap bagaimana—akhirnya karena laporan sudah masuk
BP, mereka diminta untuk menulis surat pernyataan permintaan maaf terhadap guru
tersebut, dan berjanji tidak bolos lagi.
Menurut saya, guru adalah pekerjaan hati, pekerjaan seni,
dan menyenangkan. Kepada 6 anak tersebut
dan teman-teman sekelasnya hubungan kami sangat terbuka. Mereka akan dengan
enteng bercerita mengapa bolos, kemana saja waktu bolos, apa saja yang
dilakukan, bersama siapa saja.
Kasus A
Contoh kasus murid A, teman-teman satu kelas tidak menyukai
perilaku A ini karena ,sok dan belagu. Berdasar pengamatan saya, A ini anak
yang baik. Saya bikin kelas tutorial, jadi anak-anak berkelompok dipimpin satu
anak yang menonjol sisi akademisnya untuk selanjutnya anak tersebut
bertanggungjawab kepada anggota kelompoknya jika ada kesulitan dalam pelajaran
saya, dia jadi tutor sebaya. Kebetulan kami membahas Siklus Akuntansi
Perusahaan Dagang, jadi banyak worksheet
yang harus dikerjakan untuk latihan.
Pertama kali kelompok yang ketiban sampur satu kelompok
dengan A menolak mentah-mentah sampai histeris. * wah saya tidak suka sekali
melihatnya—ekspresi anak-anak kok jadi jahat sekali. Kemudian saat itu juga
saya minta A sementara meninggalkan kelas, walau agak kaget dia turuti
permintaan saya. Setelah A pergi, saya Tanya ke anak-anak apa masalah mereka
dengan A, hampir semua mengeluh A sok, belagu, ketua kelas kok suka bolos,
sering terlambat masuk dan masih banyak lagi. Oke saya minta mereka untuk
menuliskan keluhan mereka di secarik kertas, yang rencananya nanti saya
sampaikan ke A.
Keesokan harinya A saya ajak ngobrol, saya tanya dulu apa yang
dirasakannya di kelas, nyaman atau tidak. Dia jawab kalau dia merasa tidak
bermasalah dengan teman-teman di kelasnya, dari hasil ngobrol itu saya menarik
kesimpulan bahwa A tidak peduli teman-teman suka atau tidak dengan sikapnya.
Kemudian saya sampaikan kertas keluhan teman-teman tentang dirinya, dia
membacanya dengan senyum-senyum, “masak sih bu saya seperti ini”—itu komentar
yang keluar dari mulutnya. Saya memang nyaman seperti ini bu *seenaknya.
A memang pernah
cerita ke saya kalau dia pingin mundur jadi ketua kelas, dia merasa terbebani
dan tidak bebas, karena teman-teman suka memojokkan dirinya yang sering
bersikap seenaknya dan tidak bertanggungjawab. Saya katakan kenapa dulu kamu menerima saja dijadikan
ketua kelas. Saya tidak bisa meluluskan permintaannya. A mengatakan saya memang
pingin gini sampai desember bu, januari nanti saya akan berubah dan
bersungguh-sungguh. *lama amat bathin saya . Saya katakan, kamu gak bisa menyuruh
teman-teman untuk memahami mu, kamu yang mesti memahami mereka dan menerima
konsekuensi atas pilihanmu untuk jadi orang yang seenaknya. Kata saya geli dalam hati.
Entah mulai darimana, berkembangnya waktu sekarang
teman-teman sekelasnya tidak mengucilkan A lagi, demikian juga A sudah mau
merubah sikapnya, tidak sok dan belagu lagi
Kasus B
Adalah B yang hobi main gitar, bolos dan terlambat, juga
tidak memperhatikan guru di kelas, malas mengerjakan pekerjaan dari guru dan sering tidur di kelas
Saya tidak menerapkan treatment khusus ke B, dari kelompok
tutorial yang saya bentuk tadi, B berubah. Evaluasi saya bernilai kelompok, jadi
hasil test satu kelompok saya rata-rata dan yang memiliki rata-rata tertinggi
akan diumumkan di depan kelas.
Soal evaluasi, saya buat sangat mudah, hanya ganti angka
dari worksheet yang sudah dikerjakan mereka, ada modifikasi sedikit namun tetap
masih mudah, saya membuat 4 set soal yang berbeda, dan anak-anak saya bagi dua
supaya tempat duduk lebih longgar dan saya lebih mudah mengawasi.
Setelah selesai langsung saya koreksi, dan ternyata nilai B
sempurna pekerjaannya benar semua, juga di evaluasi yang kedua. Sejak saat itu
saya lihat B meningkat kepercayaan dirinya, jadi lebih bersemangat, mau
mengerjakan tugas, dan belajar bersama teman-teman kelompoknya. Hal ini
mempengaruhi ke 5 teman lainnya, karena mereka melihat B bisa dan mau mengerjakan
worksheet yang saya bagikan.
Walau kelas saya di cap sebagai kelas badung oleh sebagian
besar guru, namun kelas saya meraih rata-rata tertinggi di hampir setiap pelajaran, pada ulangan tengah semester lalu.
I’m so proud of you guys…Semangaatt!!...(^.^)/..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar