Jumat, 11 November 2011

Mengapa mesti pake kekerasan si?....


Quote Kemerdekaan Belajar on FB : Sebelum kita memukul, menghina atau menghukum anak-anak karena tidak mengerti apa yang kita ajarkan, lihat gambar berikut. Sering kali anak tidak mengerti karena kita melakukan hal berikut ini
Saya sungguh tidak bisa memahami Guru yang dengan sadar melakukan kekerasan terhadap muridnya walau dengan maksud yang positif. Apa sebetulnya yang melatarbelakangi

Sejak awal menjadi guru tahun 2001 sampai sekarang saya masih biasa
 memukuli siswa, membentak siswa, dan bahkan sengaja mempermalukan siswa di
hadapan kelas. Semua saya lakukan bukan karena benci atau dendam, apalagi dengki, tetapi karena bentuk perhatian saya terhadap diri siswa. Perlakuan  terhadap mereka dilakukan dengan ketulusan kasih sayang, bahwa yang saya  perlakukan bukan dirinya atau kepribadiannya tapi kesalahan yang dia telah lakukan. Dengan berjalannya waktu, mereka tumbuh dan berkembang menjadi  remaja dan bahkan dewasa ternyata mereka yang menyapa, sangat hormat, peduli terhadap saya adalah mereka yang sewaktu diajar selalu mendapat  perhatian melalui perlakuan saya tadi. Mereka yang pintar, baik, sopan dan santun, ternyata kerap kali malah tak lagi ada sapaan pada gurunya.
 Anehnya, kondisi ini hampir dirasakan oleh semua teman guru di sekolah. Padahal secara teoritis, perlakuan kita agak melenceng dari kondisi ideal. Kesimpulan beberapa teman saya, bukan perlakuan yang jadi masalah bagi anak, tapi caranya memperlakukan anak. Bukan pada apa yang kita ucapkan  pada anak, tapi bagaimana cara kita mengucapkannya. Bukan pada perlakuan  memukul anak, tapi bagaimana cara kita memukul anak. Tanpa menyangkal bahwa  memang kita sebagai guru kadangkala pun melakukan kekhilafan dalam  persoalan itu.

Terus lagi

Saya merasa tidak menyesal dengan melakukan kekerasan terhadap siswa saya selama ini, karena semua saya lakukan dengan sadar. Artinya, saya melakukannya dengan "terencana dan terukur" dalam situasi tertentu. Ini pengakuan yang jujur bahwa saya sampai saat ini saya masih melakukannya. Meski sadar dalam teori psikologi pendidikan yang saya gunakan "J.W. Santrock & P. Edgen" tidak sesuai dengan tindakan saya, tapi kadangkala ada memang situasi yang tidak bisa diatasi oleh teori, karena teori pun dibuat berdasarkan pola yang bersifat umum. artinya ada hal spesifik yang juga harus ditangani secara khusus. Kalau anak yang tidak bisa lagi mengikuti pola pendidikan yang kita tetapkan, lantar harus dikembalikan ke orang tua, itu bisa menjadi solusi bagi guru/sekolah tp jelas bukan solusi bagi anak....!!! tepatnya, itu tanda frustasi guru/sekolah terhadap si Anak. He...heeee.......!! Maaf, saya tidak pernah setuju mengeluarkan anak dari sekolah. Kalau guru yang harus menggunakan perlakuan fisik termasuk "pemukulan" harus dihentikan sebagai guru, berapa banyak guru Indonesia yang harus dihentikan???? Santai saja bozz......!!!

Jika sama-sama tujuannya menjadi anak yang baik, mengapa harus dengan kekerasan, jika banyak cara yang bisa ditempuh tanpa kekerasan.
Menurut saya butuh sikap dan cara berpikir positif menghadapi setiap murid, sehingga apapun masalah yang terjadi, kita dapat menyelesaikannya dengan enak dan nyaman.

Tahun ini saya jadi wali kelas, menurut para guru yang mengajar di kelas saya, murid-murid walian saya adalah murid paling sulit dikendalikan. Iya sih mereka terutama  murid laki-laki yang jumlahnya 13 anak dari total 24 anak itu—ada yang sering bolos tidak masuk sekolah atau hanya pada jam tertentu saja, sering terlambat masuk kelas, main hp di saat pelajaran, tidur di kelas, ramai di kelas, pacaran, merokok, lompat pagar, dan sulit disuruh nurut—ada sekitar 6 anak yang seperti itu. Hampir setiap hari di awal semester lalu, bermacam laporan guru masuk di hp saya atau saat bertemu langsung…..

Namun menurut saya, anak-anak walian saya itu semua baik kok, tidak ada yang mencuri, dan memfitnah teman.

Oke tapi sekolah sudah punya peraturan—saya katakan pada anak-anak saya, jika mereka masih ingin berada di sekolah ini, mereka mau tidak mau harus taat aturan yang ada. Kalau tidak mendingan homeschooling saja, nanti saya bantu daftar ke diknas jika ingin ujian paket C, toh ujian paket C juga bias kuliah—apa sih yang dicari, kalau ada cara gampang kenapa mesti susah-susah, sampai dibela-belain bolos, telat, tidur di kelas, dimarah-marah guru sampai ada yang ditempeleng.

Tidak ada anak yang memilih opsi kedua itu, semua masih ingin belajar disekolah. Oke waktu berjalan laporan itu tetap ada, bukannya berkurang malah bertambah—bahkan 6 anak itu bolos semua saat pelajaran tertentu.

Saya ajak mereka ngobrol, maunya gimana, menurut mereka saya sebagai wali kelas harus bersikap bagaimana—akhirnya karena laporan sudah masuk BP, mereka diminta untuk menulis surat pernyataan permintaan maaf terhadap guru tersebut, dan berjanji tidak bolos lagi.

Menurut saya, guru adalah pekerjaan hati, pekerjaan seni, dan menyenangkan.  Kepada 6 anak tersebut dan teman-teman sekelasnya hubungan kami sangat terbuka. Mereka akan dengan enteng bercerita mengapa bolos, kemana saja waktu bolos, apa saja yang dilakukan, bersama siapa saja. 

Kasus A
Contoh kasus murid A, teman-teman satu kelas tidak menyukai perilaku A ini karena ,sok dan belagu. Berdasar pengamatan saya, A ini anak yang baik. Saya bikin kelas tutorial, jadi anak-anak berkelompok dipimpin satu anak yang menonjol sisi akademisnya untuk selanjutnya anak tersebut bertanggungjawab kepada anggota kelompoknya jika ada kesulitan dalam pelajaran saya, dia jadi tutor sebaya. Kebetulan kami membahas Siklus Akuntansi Perusahaan Dagang,  jadi banyak worksheet yang harus dikerjakan untuk latihan.

Pertama kali kelompok yang ketiban sampur satu kelompok dengan A menolak mentah-mentah sampai histeris. * wah saya tidak suka sekali melihatnya—ekspresi anak-anak kok jadi jahat sekali. Kemudian saat itu juga saya minta A sementara meninggalkan kelas, walau agak kaget dia turuti permintaan saya. Setelah A pergi, saya Tanya ke anak-anak apa masalah mereka dengan A, hampir semua mengeluh A sok, belagu, ketua kelas kok suka bolos, sering terlambat masuk dan masih banyak lagi. Oke saya minta mereka untuk menuliskan keluhan mereka di secarik kertas, yang rencananya nanti saya sampaikan ke A.
Keesokan harinya A  saya ajak ngobrol, saya tanya dulu apa yang dirasakannya di kelas, nyaman atau tidak. Dia jawab kalau dia merasa tidak bermasalah dengan teman-teman di kelasnya, dari hasil ngobrol itu saya menarik kesimpulan bahwa A tidak peduli teman-teman suka atau tidak dengan sikapnya. Kemudian saya sampaikan kertas keluhan teman-teman tentang dirinya, dia membacanya dengan senyum-senyum, “masak sih bu saya seperti ini”—itu komentar yang keluar dari mulutnya. Saya memang nyaman seperti ini bu *seenaknya.

 A memang pernah cerita ke saya kalau dia pingin mundur jadi ketua kelas, dia merasa terbebani dan tidak bebas, karena teman-teman suka memojokkan dirinya yang sering bersikap seenaknya dan tidak bertanggungjawab.  Saya katakan kenapa dulu kamu menerima saja dijadikan ketua kelas. Saya tidak bisa meluluskan permintaannya. A mengatakan saya memang pingin gini sampai desember bu, januari nanti saya akan berubah dan bersungguh-sungguh. *lama amat bathin saya . Saya katakan, kamu gak bisa menyuruh teman-teman untuk memahami mu, kamu yang mesti memahami mereka dan menerima konsekuensi atas pilihanmu untuk jadi orang yang seenaknya.  Kata saya geli dalam hati.

Entah mulai darimana, berkembangnya waktu sekarang teman-teman sekelasnya tidak mengucilkan A lagi, demikian juga A sudah mau merubah sikapnya, tidak sok dan belagu lagi

Kasus B
Adalah B yang hobi main gitar, bolos dan terlambat, juga tidak memperhatikan guru di kelas, malas mengerjakan pekerjaan dari guru dan sering tidur di kelas

Saya tidak menerapkan treatment khusus ke B, dari kelompok tutorial yang saya bentuk tadi, B berubah. Evaluasi saya bernilai kelompok, jadi hasil test satu kelompok saya rata-rata dan yang memiliki rata-rata tertinggi akan diumumkan di depan kelas.

Soal evaluasi, saya buat sangat mudah, hanya ganti angka dari worksheet yang sudah dikerjakan mereka, ada modifikasi sedikit namun tetap masih mudah, saya membuat 4 set soal yang berbeda, dan anak-anak saya bagi dua supaya tempat duduk lebih longgar dan saya lebih mudah mengawasi.

Setelah selesai langsung saya koreksi, dan ternyata nilai B sempurna pekerjaannya benar semua, juga di evaluasi yang kedua. Sejak saat itu saya lihat B meningkat kepercayaan dirinya, jadi lebih bersemangat, mau mengerjakan tugas, dan belajar bersama teman-teman kelompoknya. Hal ini mempengaruhi ke 5 teman lainnya, karena mereka melihat B bisa dan mau mengerjakan worksheet yang saya bagikan.

Walau kelas saya di cap sebagai kelas badung oleh sebagian besar guru, namun kelas saya meraih rata-rata tertinggi di hampir setiap pelajaran, pada ulangan tengah semester lalu.

I’m so proud of you guys…Semangaatt!!...(^.^)/..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...