Membaca buku ini, mengingatkan saat kecil saya dulu. Kira-kira
usia 3-4 tahun saya sudah dipaksa belajar membaca dan menulis oleh ibu saya. Ibu
Asia, walau keturunan campuran Cina dan Belanda. Jika tulisan halus saya salah,
maka melayanglah cubitan di paha. Sampai paha saya ungu-ungu. Belum isak tangis
saya kalau nggak bisa nulis huruf a di buku tulis halus, saya harus
melakukannya hampir sepanjang hari sepulang sekolah. Satu huruf a latin untuk satu
halaman buku tulis halus..susaaaahnya bukan main.
Belum lagi setiap hari minggu ada guru ngaji yang datang ke
rumah. Dilarang nonton TV, dan harus belajar ngaji, untung guru ngajinya baik
hati dan suabar, kalau saya capek, saya boleh istirahat melihat TV. Dan tentu
saja ibu tidak tahu hal ini.
Amy Chua memang sosok ibu Asia, melihat caranya mendidik
Louisa dan kakaknya Sophia adalah hal yang biasa di wilayah Asia, saya bahkan
pernah melihat ibu asli China yang mengurung anaknya di kamar untuk belajar. Iya
sih nilainya selalu bagus dan akhirnya masuk ITB, tapi sesudah itu apa?...
Saya malah berpikir, apakah perilaku kekerasan atas nama
kedisiplinan, juga pemaksaan untuk belajar, les, ikut bimbel supaya no 1 di
sekolah merupakan perilaku asli pendidikan ala Asia ya?...
Buku Amy ini enak sekali dibaca, ringan, menyenangkan dan
mudah dipahami. Saya jadi lebih paham mengenai gaya China mendidik anak, anjing Samoyed-Coco, juga
tentang biola dari buku ini.
Pada jurnal-jurnal yang pernah saya baca mengenai
kontroversi buku ini, banyak yang tidak memahami bagaimana seorang ibu tega
memaksa anaknya untuk berlatih piano dan biola sepanjang hari, walau hari libur
sekalipun, tega mengeluarkan kata-kata menyakitkan seperti “kau sampah”, “tak
tahu berterima kasih” dan banyak lagi kata-kata menyakitkan, tidak boleh
melakukan kegiatan yang disukai, tidak boleh menginap di rumah teman, tidak
boleh nonton TV, tidak boleh memainkan alat music selain piano dan biola, juga
semua nilai harus A sempurna.
Amy Chua mampu mengorbankan dirinya, dan akan melakukan
apapun yang terbaik untuk anaknya walau keluarga dan seisi dunia membencinya.
Mungkin karena saya orang Indonesia atau orang Asia, melihat
cara Amy mendidik anak bukan suatu hal yang istimewa atau aneh. Yang membuatnya
terasa aneh karena saya membacanya di tahun ini, dimana banyak informasi dari
buku-buku yang sudah saya baca, dan juga dari artikel Ki Hajar Dewantoro,
buku Sekolah itu Candu Roem Topatimasang, Toto-Chan, teori otak dan lain
sebagainya, yang kemudian membuat saya berpikir bagaimana karakter hasil
bentukan Amy Chua ini.
Menurut buku ini, kedua anak Amy Chua merupakan sosok yang
baik hati dan suka membantu, mereka “terlihat” nakal dan tidak patuh terutama
Louisa karena ingin membalas sakit hati mereka kepada Amy Chua ibu mereka.
Satu hal yang pasti disini terlihat, betapapun “kejam”nya si
ibu macan, tapi dia cinta tanpa syarat kepada kedua anaknya. Masa kecil saya
yang penuh kekerasan dari Ayah dan cubitan serta omelan dari Ibu, tidak membuat
saya marah dan benci kepada beliau berdua, karena entah darimana, saya tahu
mereka melakukannya karena cinta
Nah lho---tapi kalau saya sendiri si gak begitu bernafsu dengan
nomor 1 atau rangking satu, atau cepet bisa baca dan lain-lain. Saya lebih
senang dengan semuanya bagus, semuanya bisa, belajar bersama, tidak ada yang
unggul karena semua unggul. Tinggal lakukan saja yang terbaik dan sepenuh hati,
rezeki Allah nggak akan kemana kok, dan saya termasuk orang yang lebih puas
jika maju bersama-sama, dan berhasil bersama-sama… J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar