by Hernowo Hasim on Monday, March 14, 2011 at 7:00am
sumber : http://www.facebook.com/home.php#!/notes/hernowo-hasim/urgennya-menghadirkan-pengalaman-membaca-yang-menyenangkan-kepada-anak-anak-kita/10150114482914333
[Catatan: Ini adalah tulisan saya di sebuah milis yang saya tujukan kepada Kang Muroni. Saya ingin menjelaskan kepadanya tentang postingan-pendek saya yang saya beri tajuk, “Pentingnya Menghadirkan Pengalaman Membaca yang Menyenangkan”. Nama asli Kang Muroni adalah Mas Moko. Saya lupa nama lengkap aslinya. Semoga memberikan manfaat juga bagi Anda yang sempat membaca. HERNOWO]
Salam,
Mas Moko apa kabar?
Semoga Anda masih ingat saya. Kita pernah bertemu di Yogya sekitar setengah tahun lalu. Lewat seminar di UNY, Bu Pangesti mempertemukan kita. Anda memberi kartu nama berukuran tak biasa (kecil, portrait, berwarna agak kemerahan kalau tak keliru) kepada saya. Ketika saya presentasi, saya masih ingat betul Anda membagi kepada audiens tentang pentingnya “story telling”. Saya kemudian menambahkan dengan mengutip penelitian Jim Trelease tentang pentingnya menjadi “story teller” dalam bukunya Read-Aloud Handbook: Mencerdaskan Anak dengan Membacakan Cerita Sejak Dini (Hikmah, 2008).
Saya tak ingin berpanjang lebar soal budaya membaca bangsa kita (meskipun, maaf, toh akhirnya saya tak bisa hanya ngomong serbasedikit). Meskipun Mas Moko tak ikut milis IGI, saya pernah membaca postingan Anda di milis ini terkait dengan (semoga judulnya tak keliru) “Bangsa yang Tidak Membaca”. Nah, saya saat ini ingin berimajinasi bertemu lagi dengan Anda di ruang maya. Saya tidak tahu apakah Anda sempat membaca postingan saya ini atau tidak. Saya hanya ingin berbagi kepada banyak orang yang, memang, peduli akan betapa pentingnya terus tak lelah mengajak orang—khususnya para guru—untuk mau dan mampu MEMBACA (saya tambah:) yang MENYENANGKAN. Ada beberapa alasan saya tentang pentingnya seorang guru memiliki pengalaman membaca yang menyenangkan ini dan membagikannya:
1. Kita menjadi bangsa yang tak mau dan mampu membaca karena membaca telah menjadi beban yang tak tertanggungkan—khususnya di sekolah-sekolah kita. Perpustakaan di sekolah yang berubah seperti kuburan (kapan-kapan saya akan membagi karya tulis saya, “Agar Perpustakaan Tak Jadi Kuburan”, yang berhasil meraih juara ketiga untuk kategori umum dalam sayembara karya tulis menuju perpustakaan ideal yang diselenggarakan oleh perpusnas akhir tahun 2010); lantas buku-buku di sekolah yang tidak bisa membangkitkan selera membaca (saya masih terus setia mendukung program “Indonesia Membaca”-nya Pak Satria meski hanya kecil-kecilan lewat Klinik Baca-Tulis yang saya kekola), dan, maaf, guru-guru yang tak ramah dalam mengajarkan dan melatihkan (atau dalam bahasa yang saya sukai: meberikan keteladanan) kegiatan membaca.
Untuk yang terakhir itu, saya teringat buku-dahsyat Paul Jennings, Agar Anak Anda Tertular “Virus” Membaca (MLC, 2006), khususnya Bab 2 “Membacakan Buku untuk Anak: Hubungan Cinta Sepanjang Hayat” dan Bab 4 “Pentingnya Cerita: Bergabung dengan Umat Manusia”. Ini buku saya terjemahkan dan terbitkan secara khusus lewat penerbit milik saya dulu, Mizan Learning Center (MLC). Bertepatan dengan penerbitan buku-terjemahan Paul Jennings pada tahun 2006, saya membuat serial buku bernama “Melejitkan Word Smart” dengan buku-pertamanya buku Jennings ini. Sayangnya, saya tak bisa bertahan menerbitkan buku-buku model buku Jennings. Peminatnya sedikit. Dalam bukunya itu, Jennings menulis, “(Membaca dan) menulis adalah keperluan pribadi bukan tugas karena di dalamnya ada kesenangan dan manfaat untuk kehidupan sehari-hari. Ada nilai yang tak terukur di dalam kegiatan tersebut.”
2. Saya memberi tanggapan atas postingan Mbak Ameliasari— dengan tajuk “pentingnya pengalaman membaca yang menyenangkan”—adalah untuk memberi alternatif soal bagaimana mengatasi rendahnya budaya membaca (dan menulis juga lho Mas Moko) yang kelihatannya KUALITASNYA terus menurun. Di KOMPAS Minggu edisi kemarin, 13 Maret 2011, di bagian pojok kanan bawah, dimuat resensi-pendek buku The Shallows: How the Internet is Changing the Way We Think, Read and Remember (Atlantic Books, 2010) karya Nicholas Carr. Jika tak ada aral melintang, terjemahan buku ini akan dapat dinikmati para pembaca di Indonesia pada pertengahan tahun ini. Mas Moko tentu dapat menebak—atau bahkan sudah membaca?—apa inti buku Carr dari judulnya saja. Internet sangat bermanfaat karena memberikan kekayaan sumber dan keragaman materi untuk dibaca oleh siapa saja yang dapat mengaskes Internet. Namun, di balik itu, efek-buruknya tak bisa dihindarkan. Apa efek-buruk itu?
Menurut Carr, Internet telah mengubah pola membaca para penggunanya. Kegiatan “deep reading” yang pernah digambarkan dengan bagus oleh Sven Birkerts dalam The Gutenberg Elegies: The Fate of Reading in an Electronic Age (1994) kayaknya sudah mulai menghilang. Birkets menulis, “Membaca adalah suaka paling pribadi dan subjektif— sebuah ruang-hening yang personal. Melewati bahasa, pembaca secara aktif menerjemahkan teks untuk dirinya—sebuah penggalian makna dan penjelajahan ke kedalaman. Dalam deep reading, waktu seolah berhenti—waktu dialami tanpa sadar bahwa waktu itu berjalan. Itulah sebuah waktu yang meditatif.” Indah sekali kan? Menurut Carr lagi, akibat Internet, kegiatan membaca menjadi loncat sana-loncat sini. Boro-boro mau “membaca mendalam”, membaca yang menghasilkan sesuatu yang penting dan berharga saja sudah susah sekali. Efek-buruk itu rupanya berantai. Dalam konteks kegiatan menulis, efek-buruk itu juga ada: “copy-and-paste” bahkan plagiarisme merajalela (ini tambahan saya).
3. Saya pun kemudian mengusulkan pentingnya TELADAN MEMBACA di tengah masyarakat. Peran ini dapat diambil oleh para orangtua, guru, dan “public figure” jika benar-benar ingin mengubah budaya membaca bangsa kita menjadi lebih baik dan berkualitas. Teladan membaca ini tugasnya hanya satu: memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan kepada putra-putri bangsa ini sejak sangat dini. Salah satunya adalah dengan “story telling” sebagaimana Mas Moko tekankan. Namun, saya usul agar si pembaca dongeng menggunakan (memegang) buku sebagaimana sudah saya sampaikan di seminar UNY setengah tahun lalu. Bahkan kalau perlu—misalnya kegiatan “story telling” ini bersifat massal—dibuatkan miniatur buku yang besar dan dapat dilihat (dialami) oleh anak-anak kita ketika mereka mendengarkan pembacaan dongeng. Dalam film The Blind Side, yang membuat Sandra Bullock menyabet Piala Oscar 2010, adegan membacakan buku ini tamnpil luar biasa. Sudah nonton Mas Moko? Menurut saya, pengalaman membaca yang mengasyikkan seperti inilah yang KURANG atau bahkan tak ada sama sekali di dalam diri anak-anak kita (dan mungkin juga kebanyakan orang dewasa).
Dikarenakan minimnya pengalaman membaca yang menyenangkan ini, penggalakan minat membaca yang dilakukan dengan mendirikan taman bacaan, perpustakaan, komunitas baca—baik secara formal maupun informal—menjadi seperti sia-sia. Sebenarnya tak sia-sia amat sih—pasti ada manfaatnya, tapi efek-dahsyat dalam melejitkan minat membaca secara sangat signifikan seperti tak terjadi. Bahkan, penggunaan ayat-ayat Iqra’ juga kadang tak mempan. Nah, kabar baiknya tetap ada Mas Moko. Di tengah berita-berita yang kayaknya terus menunjukkan kemerosotan minat baca bangsa kita (lihat, misalnya, berita dengan judul “70 Persen Buku Terserap di Jawa-Bali: Minat Baca Masyarakat Indonesia Terendah di Asia Timur”, dalam Kompas edisi 10 Februari 2011), ada berita gembira.
Apa berita gembira itu? Saya menemukan buku yang sangat bagus dan memukau saya. Buku ini ditulis oleh Rahma Sugihartati, Membaca, Gaya Hidup dan Kapitalisme: Kajian tentang Reading for Pleasure dari Perspektif Cultural Studies (Graha Ilmu, 2010). Bu Rahma telah membuat penelitian dan hasilnya layak kita rujuk bersama. Salah satu hasil penelitiannya adalah para ABG menjadi keranjingan membaca gara-gara novel-novel yang difilmkan, seperti novel Harry Potter atau Laskar Pelangi. Dahsyat kan? Beberapa peenerbit yang tergabung dalam Kelompok Mizan juga mencatat penjualan yang signifikan atas novel-novel yang difilmkan—salah satunya serial novel fantasi Percy Jackson. Tapi siapa yang mau membaca buku Bu Rahma, Mas Moko? Kalau panjenengan memerlukan, nanti saya belikan dan kirim kepada Anda.
Demikian Mas Moko, mohon maaf jika saya malah menambah ruwet persoalan minat baca di negeri ini.
Hernowo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar