Oleh : Rhenald Kasali
Sabtu, 4 Oktober 2014 | 10:00 WIB
Pada abad ke-15, seorang
pelaut tangguh mengangkat layar kapalnya menyeberangi lautan. Tujuannya
adalah pusat rempah-rempah di timur.
“India.” Ia berseru pada semua awak kapalnya. “Kita telah mendarat di India.”
Anda mungkin sudah bisa mereka siapa yang saya maksud. Ya,
dia adalah Christopher Colombus. Alih-alih mendarat di India seperti
janjinya pada ratu Isabel yang membiayai misi perjalanannya (untuk
memperkuat posisi Spanyol dalam perdagangan rempah-rempah yang terputus
akibat Perang Salib), Colombus justru mendarat di Amerika.
Ini
tentu di luar harapannya. Saat menghadap ratu, ia pun dicemooh para
penjelajah dunia lainnya yang sudah sampai di Tanjung Harapan. Ketika
itulah Columbus berfilsafat, "Kalau Anda tak pernah kesasar, maka kita
tak akan pernah menemukan jalan baru."
Tetapi bagaimana orang
seperti Columbus bisa menjadi penjelajah dunia, menemukan dunia baru?
Sama pertanyaannya, mengapa orang-orang Jepang, India, Yahudi, China dan
Korea ada di seluruh dunia?
Bahkan sekarang, orang Malaysia dan
Singapura mulai banyak buka usaha di sini? Ada apa dengan anak-anak kita
yang masih senang berada dalam "ketiak" keluarga besarnya, menjadi PNS
dan sebagainya?
Saya ingin katakan, sesungguhnya anak-anak Anda
sama seperti saya. Kita semua sebenarnya rajawali, dan bukanlah burung
dara yang sayapnya diikat (dikodi) serta tak pernah bisa terbang tinggi,
diberi kandang yang sempit agar selalu dekat dengan tuannya.
Berikan anak-anak Tantangan, Maka Mereka akan Menjadi Pemimpin
Saya
kira Columbus benar. Kita semua tahu tidaklah penting apa yang kita
capai hari ini, atau saat ini. Yang lebih penting sesungguhnya adalah
apa yang bisa kita pelajari dari sebuah perjalanan itu sendiri. Apalagi
perjalanan itu adalah sebuah proses, bukan penghentian akhir.
Anak-anak tak boleh berhenti belajar walau katanya "sudah tamat"
sekolah.
Sebaliknya, Anda tahu hari ini, jutaan manusia Indonesia
setiap hari sangat takut "menjelajahi" dunia baru yang sama sekali
belum dikenalnya. Teman saya, seorang guru matematika misalnya, marah
besar saat disuruh mengajar matematika dengan cara digabungkan dengan
ilmu lainnya secara holistik. Dia biasa nyaman dalam silonya yang
parsial dan merasa paling pandai. Dia juga gemar mengatakan orang lain
salah.
Banyak orang menghindari sesuatu yang namanya kegagalan,
kesasar, atau segala hal baru yang bakal menyulitkan hidupnya. Bahkan,
menghindari sesuatu kalau ada tantangannya karena takut terlihat kurang
pandai karena orang lain bisa melakukannya sedang kita mungkin tidak.
Kita maunya anak-anak kita menjadi juara kelas, lulus cepat dan dapat
pekerjaan yang baik, dimudahkan jalannya.
Kita bahkan carikan
mereka pekerjaan dari koneksi kita, yang mudah-mudah. Tak banyak orang
yang mengerti bahwa keunggulan yang dicapai manusia sebenarnya tak
pernah lepas dari seberapa hebat ia terlatih menghadapi aneka kesulitan
dan tantangan kehidupan.
Tanpa kita sadari, sebenarnya kita
terperangkap dalam kenyamanan. Persis seperti perjalanan pulang-pergi
rumah-kantor yang selalu melewati jalan yang sama berulang-ulang, yang
sesungguhnya mencerminkan kemalasan berpikir belaka. Kita takut kesasar,
menjaga agar anak-anak tidak tersesat. Padahal jalan yang buntu itu
bukan dead end, tetapi pertanda perlunya putar arah (reroute).
Ingatlah,
masalah baru terus bermunculan dan pengambilan keputusan tak bisa
dihafalkan. Habit kita telah kita wariskan pada bangsa melalui anak-anak
kita.
"Self Driving"
Bepergian ke tempat
baru, dengan informasi, uang, waktu dan pengetahuan terbatas
sesungguhnya bisa mengubah nasib manusia. Dan keterbatasan itu belum
tentu membuat kita tersudut tanpa kemampuan keluar (dari kesulitan) sama
sekali. Dan anak-anak remaja kita, sesungguhnya memiliki kemampuan
untuk men-drive diri masing-masing, yang membuat mereka mampu mencari dan menemukan "pintu keluar" dari kesulitan sehari-hari.
Namun tradisi kita ternyata jauh dari harapan itu. Kita lebih banyak membentuk mereka menjadi passengers ketimbang drivers.
Persis seperti penumpang angkutan kota yang boleh mengantuk, bahkan
tertidur, tak perlu tahu arah jalan, merawat kendaraan, berinisiatif
pindah jalur. Semua sudah ada yang urus, tahu-tahu sudah sampai di
tempat tujuan.
Anak-anak kita sesungguhnya adalah rajawali, bukan
burung dara. Tetapi secara psikologis dan tradisi, kita telah mengikat
(meng-'kodi') sayapnya, sehingga mereka tak bisa terbang tinggi. Mereka
hanya menjadi "burung dara" yang hanya bisa melompat ke atap gedung,
lalu turun lagi ke bawah tidak jauh-jauh dari rumah kita.
Kita
"kodi" sayapnya dengan berbagai belenggu, apakah itu proteksi dan
kenikmatan yang berlebihan, keputusan yang tidak pernah kita ijinkan
untuk diambil mereka sendiri, hanya untuk memotong rambut atau membeli
sepatu.
Banyak masalah mereka kita ambil alih cepat-cepat
sebelum mereka bergulat mengatasinya sendiri dalam kecemasan, dalam
ketakberdayaan.
Juga dogma, ancaman, ketakberdayaan dari pengalaman kita, serta kehadiran kita yang harus ada kemanapun mereka pergi.
Cerita mereka bisa anda baca dalam buku aplikasi Self Driving
(terbit dua minggu lalu) yang kemarin diluncurkan mahasiswa saya di
UI. Judulnya 30 Paspor di Kelas Sang Profesor. Isinya suka duka dan
curhat mereka melepas kodi-kodi itu agar menjadi rajawali yang hebat
dalam program one person-one nation, kesasar di manca-negara.
Buku
itu jadi sebagai akibat provokasi yang saya lakukan pada mereka, dengan
fakta bahwa para tenaga kerja wanita kita di luar negri ternyata lebih
mampu menangani tantangan dan ketidakpastian di luar negri ketimbang
para calon sarjana yang hanya duduk manis di bangku kuliah.
Saya
katakan, era jagoan bicara telah berakhir, kini jagoan itu hanya akan
dihormati kalau mereka punya karya, punya langkah. Dan TKW itu adalah
manusia yang terhormat karena mereka punya langkah dan membawa berkah.
Jadi
hari pertama kuliah, mereka harus urus paspor. Seminggu kemudian,
membuat rencana perjalanan ke luar negri. Satu negara hanya boleh
dikunjungi oleh satu orang. Dan itu harus cepat, karena 30 mahasiswa
berebut negara tujuan dengan syarat tak boleh yang bahasa dan
penduduknya mirip dengan kita. Kalau terlambat, biayanya makin besar,
negeri yang dikunjungi makin jauh, makin rumit pengurusan visa dan
mungkin saja makin tak menarik untuk dikunjungi. Misalnya Bangladesh.
Ada
dua situasi kebatinan yang akan mereka hadapi: terasing sekaligus
tertantang. Dalam keterasingan, mereka hanya berbicara dengan diri
sendiri, bukan bergantung pada orang lain. Di tengah kesibukan banyak
berdialog dengan orang lain dan media sosial, dalam keterasingan, bagus
bagi anak muda untuk membangun diri. Dialog diri ini akan menimbulkan self awareness (kesadaran diri) untuk membentuk karakter yang kuat.
Sebab,
kuliah saja di bangku kelas tak menjamin manusia belajar menghadapi
tantangan yang sebenarnya. Kini, semua persiapan harus diurus sendiri
dalam waktu yang sangat singkat, dilarang memakai jasa calo atau travel,
juga dilarang menerima bantuan keluarga.
Paspor, penginapan,
rencana perjalanan, apa yang mau dilihat, biaya dan sebagainya.
Laporannya pun bebas, diutamakan refleksi kehidupan, bukan soal produk
atau pasar. Jadi perjalanan mereka tidak dimulai di pintu keberangkatan
bandara, melainkan di hari pertama kuliah dengan saya.
Sambil
belajar teori saya ajak mereka melihat sendiri dunia, dan hadapi sendiri
segala masalah. Makin kesasar makin bagus. Lama-lama "kodian" itu
lepas, sayap mereka membuka, tanpa disadari mereka mulai bisa terbang
jauh.
Satu hal yang dapat dipastikan adalah; mereka akan mulai
mengaktifkan otaknya. Dari situ secara tidak sadar mereka sudah memulai
praktik manajemen yang sebenarnya. Selama ini buku-buku sudah pasti
menjelaskan segala teknik mengatasi masalah dengan amat jelas.
Masalahnya, pernahkah mereka sendiri menggunakanya dalam kehidupan di dunia nyata?
Faktanya
pula, kebanyakan sarjana kita belum banyak yang mampu bekerja dengan
baik meski di bangku perkuliahan mereka terlihat sangat berprestasi.
Inilah yang disebut sarjana kertas dengan kehebatan memindahkan isi buku
ke dalam lembar kertas ujian.
Sebagai guru, saya merenungkan
kehadiran saya dalam kehidupan mereka: apakah saya hanya menjadi
pentransfer pengetahuan atau seorang pendidik? Saya menyadari betul
bahwa pendidik bukanlah sekedar penyampai teori. Kemampuan mewadahi
keingintahuan, memperbaiki watak dan karakter, membentuk masa depan
mereka adalah sama pentingnya dengan memperaktikan teori.
Masalahnya,
maukah mereka berubah? Apakah perubahan ini diijinkan orangtua mereka
yang "percaya" bahwa menjadi burung dara lebih baik daripada menjadi
rajawali...
Prof Rhenald Kasali adalah
Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Selain
itu, pria bergelar Ph. D. dari University of Illinois ini juga banyak
memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi
pansel KPK sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia
mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model social business di
kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari
entrepreneurship dan kemandirian. Saat ini, dia juga maju sebagai
kandidat Rektor Universitas Indonesia. Terakhir, buku yang ditulis
berjudul "Self Driving": Merubah mental passengers menjadi drivers.
Source :
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/04/100000926/Anak-anak.Kita.Bukanlah.Burung.Dara.yang.Sayapnya.Diikat?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=bisniskeuangan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Menjadi Instruktur
Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...
-
Saya meminta seorang teman sariorange@gmail.com untuk menerjemahkan artikel yang berharga ini, supaya lebih banyak teman guru yang bisa ter...
-
Tahun 1998 - 2005 saya adalah guru paling kejam di dunia, saya sering menyakiti anak-anak saya sebagai dalih untuk melecut semangat mereka, ...
-
Mereka yang ada di Jaman Jahiliyah 3 Saya... :) Saat ini saya membagi perjalanan saya menjadi guru, menjadi tiga jaman jahiliyyah. Pili...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar