Raihan, Alif, Yudhis |
Dan setelahnya kami, saya dan suami memutuskan untuk menarik kembali Raihan ke rumah, mulailah proses deschooling dengan berbagai hambatan dan kendala yang menyenangkan dan penuh tantangan. Kami harus banyak belajar juga, sharing juga, supaya tujuan pendidikan keluarga dengan apa yang kami jalani dapat berjalan dengan baik.
Pertama HS, masih meraba raba, melihat teman teman keluarga ideal, anak anak beruntung full fasilitas, terus bagaimana dengan Raihan dan adik adiknya mengingat saya bekerja pegawai pemerintah, walau akhirnya suami memutuskan untuk menjadi Bapak rumah tangga, karena usahanya bisa dilakukan di rumah.
Bingung lagi masalah biaya biaya yang mesti dikeluarkan, untuk kegiatan kegiatan di luar, kalau nggak gimana belajarnya.
Makin bingung lagi, lihat keluarga A dengan anaknya yang pinter, keluarga B yang anaknya bisa ini itu, keluarga C dst dst
hahahaha... ketawa sendiri kalau inget masa itu..
Alhamdulillah, akhirnya kita menemukan juga hakikat pendidikan keluarga yang ingin kami tanamkan, yaitu karakter, semua dibangun apa adanya sesuai budaya keluarga di rumah, gak perlu ada yang dirubah rubah gak ada jaim jaiman, kumpul ngobrol, sholat berjama'ah, ngaji, mau marah, jengkel, sebel, berantakan, rapi, bau gak enak, wangi, just the way we are deh..
Kami sadar benar anak anak akan melihat yang dilakukan orang dewasa di sekitarnya, makanya saya dan suami juga jadi belajar untuk mengendalikan diri, terutama untuk marah yang tidak asal, untuk terbiasa membicarakan apapun, demikian juga alasan alasan mengapa sesuatu itu dilarang dan diperbolehkan, mengakui kesalahan, mengakui kekurangan, menghadapi kegagalan dan utamanya lagi adalah menanamkan kejujuran dan keikhlasan
Kami sejak awal tidak begitu memikirkan tentang ijazah, yang terpenting karakter dan passion untuk belajar apa saja.
Ketika ada kesempatan untuk Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan dan usia Raihan cukup, kami tanyakan ke Raihan apakah dia ingin ikut UNPK atau tidak, Raihan bertanya apa manfaat ikut UNPK, kami berdiskusi tentang UNPK manfaat, dan juga konsekuensinya. Keputusan akhir tetap pada Raihan, dan dia memutuskan untuk ikut.
Diskusi yang berjalan sedikit lucu, saat Raihan berkomentar, "oh ternyata ujian cuma milih jawaban aja ya, gampang banget"
Selesai mengerjakan matematika menunggu bel keluar, 11 peserta anak HS dari Jakarta, Jogja, Solo, dan Salatiga |
Kami juga heran dengan kepercayaan dirinya, saat ditanya setelah mengerjakan UNPK hari pertama PKn dan Bahasa Indonesia, "gimana gampang?" jawaban Raihan "bangett", demikian juga hari kedua IPA dan IPS, "gimana?" jawaban Raihan "gampang", saya curiga, saya tanya lagi "jangan jangan maksud mas Raihan, "gampang karena mas Raihan merasa bisa jawab, tetapi jawabannya belum benar", "bener bisa kok!!" kata Raihan meyakinkan saya lagi.
Di hari ketiga, matematika saya tanya lagi "gimana?", "lumayan" jawabnya, saya kejar lagi "lumayan gampang atau lumayan susah", "lumayan susah" hahaha lega deh saya.
Tetapi overall, apapun yang terjadi dengan hasil UNPK yang rencana akan diumumkan bulan depan, sesungguhnya tujuan kami agar Raihan memiliki pengalaman berharga, bagaimana ujian itu, bagaimana merasakan kebersamaan, jika gagal, bagaimana memanage perasaannya, memanage kegagalannya, bagaimana melakukan refleksi, jika berhasil juga sama, bagaimana memanage perasaannya, bagaimana rasanya berhasil.
Simpel ya.. :)
Membaca saja, saya ikut senang... Semangat terus, Raihan... Yg wajib belajarnya...
BalasHapuswah, seru nih. saya juga berencana mulai memberikan soal-soal ujian sebagai latihan untuk Umar. terima kasih sharing-nya :) semangat belajar terus ya kak Raihan :)
BalasHapushahaha... terimakasih, semangaat belajar untuk Umar dan keluargaa
Hapus