Rabu, 19 Desember 2012

[KLIPING] The Finland Phenomenon.


Oleh Ardanti Andiarti
Tepat di tanggal cantik 12.12.12, di tengah kisruh perubahan kurikulum 2013, MLI (Moedomo Learning Institute) mengadakan pertemuan rutinnya di Common Room. Kali ini acaranya bedah film "Finlandia Phenomenon", sebuah film dokumenter keluaran 2011 tentang sistem pendidikan di Finlandia. Banyak yang hadir di sini. Selain Pak Iwan Pranoto (dosen Matematika ITB dan tuan rumah MLI), ada juga Pak Hendra Gunawan (dosen Matematika ITB yang kali ini menjadi moderator), Pak Andy Sutioso (pendiri Rumah Belajar Semi Palar tempat saya mengajar beberapa waktu yang lalu), Pak Armein Z. Langi (dosen Elektro ITB juga teman dari almarhumah ibu saya), dan banyak mahasiswa yang tertarik dengan isu pendidikan di Finlandia ini. Senang sekali karena saya bisa hadir dan tidak diduga bertemu dengan salah satu dosen favorit saya selama kuliah, Pak Satria Bijaksana (dosen Fisika ITB)!

Ya, sistem pendidikan Finlandia memang sering sekali menjadi topik bahasan karena dianggap memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Terlebih bila kita menyoroti tidak adanya tes sebelum lulus SMA, jam tatap muka dan jumlah PR yang sedikit. Sepertinya sangat seru bersekolah atau mengajar di Finlandia. Bisakah kita begitu saja meniru sistem pendidikan seperti di sana? Di sini saya tidak akan membahas tentang filmnya, silakan tonton sendiri di youtube (tautan di bawah tulisan ini) :) Saya hanya ingin berbagi beberapa catatan dan opini saya selama diskusi.


"Sometimes doing simple things is the hardest things." 

Sebenarnya sistem pendidikan di Finlandia menerapkan hal sederhana yang sudah seharusnya dilakukan dan tidak perlu riset yang rumit. Seperti misalnya kejujuran. Begitulah ungkap Pak Satria Bijaksana. Pendidikan adalah proses, termasuk proses perjuangan. Kita lihat sistem pesantren zaman dulu. Seorang murid lulus ketika sang guru mengatakan sudah tidak ada ilmu yang bisa dibagi lagi. Lalu murid tersebut pergi dari tempat tersebut mencari guru dengan ilmu lain. Jadi setiap orang, setiap murid, punya masa belajarnya masing-masing. Tidak lalu disamakan seperti saat ini.
Pak Satria memberikan contoh lain, dalam ranah sains dan rekayasa (engineering) : kita seharusnya memiliki dan mengimplemetasikan kemampuan melalui beberapa tahap (staging). Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah membuat desain prototip, mencobanya melalui pilot plan, mencoba melakukan dengan skala besar, lalu melakukan evaluasi. Sayang sekali, di sini  proses runtun seperti itu jarang dilakukan. Proses berpikir runtun dipotong oleh tekanan ekonomi dan politik. Untuk memperbaiki sistem pendidikan, kita hanya perlu mengembalikan pada sistem yang seharusnya, indigenous system. Itu saja.

Pada acara tersebut hadir pula Pak Adhi Nugraha,  bersama istrinya (asli Finlandia) dan anaknya. Pak Adhi ini adalah dosen Desain Produk ITB, yang baru saja pulang dari Finlandia setelah 12 tahun menetap di sana. Pak Adhi menanggapi beberapa komentar tentang keberhasilan pendidikan Finlandia yang mampu membentuk masyarakat dengan tingkat korupsi rendah. Kejujuran adalah hal yang sangat dijunjung tinggi. Masyarakat Finlandia merasa kehilangan dirinya bila melanggar kejujuran. Semacam kehilangan identitas. Wajarlah bila mereka sangat takut untuk tidak jujur. Selain menjunjung tinggi kejujuran, kunci kesuksesan pendidikan Finlandia lainnya adalah menghargai hak milik pribadi setiap orang. Sejak kecil, masalah kepemilikan ditekankan pada anak-anak Finlandia. Boleh berbagi barang, tetapi harus minta izin dan sangat berhati-hati dengan barang pinjaman. Mereka dibiasakan tidak menyentuh barang orang lain sebelum izin. Bahkan bila menemukan barang di pinggir jalan sekalipun, mereka tidak akan mengambilnya. Demikian pula dengan janji. Walaupun mungkin terdengar "selewat" atau tidak serius, mengiyakan suatu ajakan untuk masyarakat Finlandia adalah janji yang harus ditepati.

Pak Ismu (dosen ITB) melihat ada fenomena bahwa di Indonesia, sains seperti produk, bukan proses. Padahal seharusnya belajar sains adalah proses mengenal fenomena (lingkungan). Peran mahasiswa untuk membantu guru sangat penting. Seperti halnya di Perancis, mahasiswa membantu guru di kelas. Guru terbantu, bila ada kesulitan bisa langsung bertanya pada mahasiswa "magang". Berkaitan dengan isu dihapuskannya sains pada kurikulum 2013 nanti, saya jadi bertanya-tanya. Bila sains (sains alam dan sains sosial) jadi dicairkan ke dalam pelajaran Bahasa Indonesia, sejauh mana para guru dapat mengajak siswa untuk berproses utuh, baik dalam kemampuan berbahasa maupun dalam berpikir ilmiah? Topik sains mana sajakah yang perlu dimasukkan dan mana yang tidak? Seperti apakah rambu-rambunya?

Belajar. Beban?

Finlandia adalah negara dengan jam belajar yang relatif sedikit. Pekerjaan rumah pun tidak banyak. Untuk tingkat 8, jumlah PRnya hanya 4-5 jam perminggu. Di Indonesia? Saya kurang tahu pasti, tapi perkiraannya lebih dari 10 jam per minggu. Di Finlandia, kata Pak Adhi, anak-anak juga boleh menggunakan kalkulator pada pelajaran matematika. "Untuk hitungannya, kenapa harus susah?". Yang penting adalah anak-anak paham logika dan konsepnya.

Coba kita lihat, istilah yang digunakan untuk menggambarkan jumlah jam belajar dalam dokumen pendidikan di Indonesia adalah beban belajar. Jumlahnya pun besar. Ya, mungkin saja pihak yang membuat dokumen-dokumen tersebut tidak sengaja menggunakan istilah belajar menjadi beban, karena bagi dirinya belajar bukalah waktu yang menyenangkan :p

Guru.

Urusan pendidikan sangat lekat dengan urusan guru. Memperbaiki pendidikan seharusnya dimulai dari memperbaiki sistem keguruan. Kalau kita mau berusaha keras, mengangkat jutaan guru lebih masuk akal daripada mengangkat jutaan anak. Perhatian untuk guru harus ditekankan, selain itu perhatian guru terhadap dirinya sendiri. Sistem kedokteran sudah mulai profesional dan lebih jelas. Namun untuk guru, belum ada sistem profesi yang jelas. Sistem yang memakmurkan. Sistem yang membuat guru menjadi profesional dan dihargai.

Di Finlandia, guru menjadi profesi terhormat, sebuah kebanggaan dan bisa dekat dengan muridnya. Bukannya tidak demikian di Indonesia, tetapi profesi guru masih dipandang sebelah mata.  Seharusnya pekerjaan guru itu bukanlah alat untuk mencari uang. Sayangnya di Indonesia guru terkadang masih menjadi alat untuk meluluskan murid. Seakan-akan kalau sudah lulus, murid bukan tanggung jawab guru lagi. Di sini beban belajar lebih banyak ditujukan pada siswa. Namun, semestinya  justru  pendidik yang harus terus dibina karena dia yang membentuk karakter dan "memanusiakan" manusia.

Menjadi guru di Finlandia cukup menantang. Hanya 10% mahasiswa terbaik yang bisa menjadi guru. Jenjang S1 digunakan untuk mendalami subjek tertentu, lalu jenjang S2 untuk mendalami pendidikan keguruan. Sangat selektif, padat dan intensif, pendidikan 5 tahun sampai master dengan materi teori dan praktek. Bagaimana dengan pendidikan guru Indonesia? Apakah pendidikan guru yang ada sekarang sudah memadai? Apakah Ujian Kompetensi Guru memang bisa digunakan sebagai pemetaan dan menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas guru? Di sini sistem untuk guru seperti 'kagok'. Pintar tidak pintar diperlakukan sama. Pemerintah berpikir harus diangkat semua, tapi tentunya tidak bisa disamakan. Mungkin pendapat Wildan, salah seorang peserta diskusi, benar adanya. Sistem pendidikan guru bisa dibuat seperti pendidikan dokter, ada jenjang pendidikan profesi seperti koas.

Menurut Pak Andy, pemerintah berkeinginan sistem di Indonesia seperti di Finlandia, yaitu pembelajaran tematik. Namun gurunya tidak disiapkan untuk menjadi fasilitator pembelajaran tematik. Kalau guru diprioritaskan, bukan tidak mungkin guru tidak perlu diawasi terlalu banyak, anak pun tidak perlu dites. Sementara itu, di Indonesia justru ada  UN yang malah menjadi penghambat kreativitas di pendidikan.

Salah kaprah?
Nampaknya banyak salah kaprah dalam penerapan sistem pendidikan di Indonesia. Contohnya, menurut Pak Iwan, penerapan standar untuk siswa. Standar semestinya dilakukan pada layanan pendidikan: kecakapan guru, kecukupan jumlah sekolah, dan fasilitas. Secara falsafah hal ini sangat keliru! Hasilnya, Indonesia menciptakan satu jenis lulusan, bukan menciptakan manusia.

Kalau menurut Pak Adhi, contoh salah kaprah di sini adalah penerapan disiplin, yang malah sering terbentur aturan-aturan konyol, misalnya penggunaan sepatu. Beberapa sekolah kadang mewajibkan siswa menggunakan sepatu hitam dengan merek tertentu. Bukannya disiplin yang ditegakkan, malahan menciptakan homogenitas (yang tidak beralasan).

Atau mungkin Anda tahu salah kaprah lainnya di sistem pendidikan kita? Anda bisa menyebutkannya?

"Saya, sebagai ibu di Finlandia, tidak masalah jika anak saya jadi supir bus. Tetapi tidak begitu di Indonesia." 

Yang diperhatikan oleh Ibu Adhi (saya lupa namanya :p), pendidikan di  Indonesia terlalu mengutamakan KOMPETISI. Menurutnya kompetisi (di pendidikan) hanya boleh ada untuk diri sendiri. Tidak masuk akal ketika anak dengan kemampuan yang berbeda-beda lalu diberi urutan (ranking). Namun ia paham mengapa orang tua jadi memperhitungkan ranking anaknya. Di Finlandia, semua pekerjaan dihargai. Supir bus atau tukang sapu di jalan masih sangat dihargai dan bisa hidup makmur. Di sini, jarang sekali orang tua yang menginginkan anak-anaknya menjadi tukang sapu atau supir bus. Ia bertemu dengan seorang ibu yang mengatakan anaknya harus ranking supaya bisa dapat sekolah di tempat yang bagus dan mendapat kerja yang bagus. Ya, budaya dan tuntutan orang tua terhadap anak memang banyak berpengaruh terhadap sebuah sistem di luar sistem formal.

Lalu kita harus bagaimana?

Kalau kebanyakan orang berpendapat kita sebaiknya meniru Finlandia, menurut Pak Iwan Pranoto tidak demikian. Kita justru harus mencari atau meniru apa yang tidak kerjakan di Finlandia. Misalnya untuk sistem penilaian. Penerapan UN adalah kondisi paling tidak ideal. Lihatlah Finlandia yang tidak memiliki sistem penilaian seperti UN. Anak-anak dan guru belajar dan mengajar tidak untuk ujian, tapi untuk kenikmatan. Enjoyment. Semua menikmati proses belajar. Di Indonesia? Tidak hanya "teaching-learning for a test", tapi kita menjalankan "teaching-learning for a bad test".

Bagaimanapun, betul apa yang dikatakan Pak Armein, Finland is Finland. Keberhasilan seperti itu diraih karena negaranya sudah maju, atau mereka maju karena pendidikannya seperti itu. Keduanya saling mempengaruhi. Keberhasilan tersebut juga tertolong oleh budaya di rumah. Kita harus sabar dalam berproses, tidak bisa langsung mengadopsi cara Finlandia. Kita harus melihat budaya masyarakat kita juga.

Dan yang terpenting, kata Pak Satria Bijaksana, "..willingness to do!"

...

The Finland Phenomenon : video 1/4 - video 2/4 - video 3/4 - video 4/4
sumber bacaan lain : The Finland Phenomenon - a film on schools

3 komentar:

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...