Assalamu’alaikum wr.wb.,
Katanya dalam
artikel berita ini bahwa Indonesia mempunyai jam sekolah yang paling lama di
dunia. Kalau benar, kenapa murid2 di Indonesia tidak menjadi murid paling
pintar di dunia?
Saya ingat
waktu sekolah di Selandia Baru dulu. Masuk jam 8.45 pagi. Pulang jam 3.15 sore
(untuk SMP-SMA, tetapi SD pulang lebih cepat). Dan ada waktu istirahat pagi 20
min, sekitar jam 10 pagi dan istirahat untuk makan siang dan main selama 1 jam
dari jam 12.00-13.00.
PR yang
diberikan tidak begitu banyak. Di tingkat SD tidak ada PR (atau jarang sekali
ada). SMP-SMA ada sedikit, tetapi harus dikoordinasi antara semua kelas, jadi
tidak bisa dapat PR dari semua kelas dalam satu hari. Maksimal jumlah PR tidak
lebih dari 2 jam, dan rata2 tidak sebanyak itu. Seringkali tidak dapat PR dari
semua kelas dalam satu hari.
Kelas 3 SMA,
rata-rata semua murid mengikuti 5 mata pelajaran saja. Bukan 20an seperti di
sini. Di tingkat2 sebelumnya, ada sedikit lebih banyak kelas, karena pelajaran
lebih ringan dan agar siswa dapat ilmu yang lebih luas. Jadi makin tinggi
tingkat sekolahnya, makin fokus. (Saya lupa totalnya di SMP, tetapi kalau tidak
salah, tidak lebih dari 10 kelas).
Ulangan juga sedikit.
Bukan setiap 1-2 minggu seperti di sini. Ujian dari guru kelas saja, jadi tidak
dikoordinasi untuk seluruh sekolah sekaligus. Setiap guru boleh menentukan
sendiri kapan mau kasih ujian ringan, asal ada sekian dalam satu semester. Jadi
guru bikin jadwal sendiri2 dan kasih tahu kepada siswa untuk dicatat dalam 1-2
minggu sebelumnya.
Fasilitas juga
baik dan berkualitas. Pembangunan gedung sekolah tidak ada korupsinya, jadi
atap tidak pernah ambruk. Fee sekolah juga tidak ada. Hanya ada biaya admin
sekali bayar di awal tahun (sekitar 100 dolar).
Seragam cuma
satu untuk musim panas, satu untuk musim dingin. Tidak ada seragam khusus untuk
upacara atau kegiatan yang lain (padahal orang tua lebih mampu beli daripada
orang tua di sini). Di Indonesia bisa 3-4 macam seragam: (putih, abu-abu,
batik, koko, pramuka).
Pada akhir
setiap tahun, seragam lama boleh dijual (atau dikasih) ke sekolah dengan biaya
rendah untuk kebutuhan anak kurang mampu. Jadi mereka bisa beli dari koperasi
sekolah dengan biaya murah sekali. Tidak ada orang yang coret2 bajunya seperti
di sini. Lebih banyak disedekahkan atau dijual murah kepada anak yang kurang mampu
lewat sekolah, jadi kita tidak tahu anak mana yang beli atau siapa yang jual,
karena pihak sekolah yang terima dan jual kembali supaya tidak ada yang merasa
malu.
Semua buku teks
milik sekolah, dan hanya dipinjamkan dan dikembalikan. Hanya perlu bayar sekian
dolar kalau terjadi kerusakan. Jadi setiap sekolah hanya menggantikan buku teks
sekali dalam 5-10 tahun.
Tidak pernah
ada tawuran antar sekolah selama saya sekolah di Selandia Baru. Semua “keributan”
antara sekolah hanya terjadi di lapangan olahraga, dan tidak ada selain itu. Murid
yang mau berantem juga sedikit sekali. Kebanyakan murid tidak tertarik untuk
ribut seperti itu. Semuanya sibuk dengan olah raga, kerja setelah sekolah
(bantu orang tua di toko, tugas rumah, antar koran dll.), sibuk dengan keluarga
atau santai di rumah masing2.
Murid yang
merokok bisa dihitung (sangat sedikit) karena semua guru mengajarkan anak untuk
tidak merokok, dan merupakan pelanggaran peraturan sekolah kalau ketahuan
merokok, bahkan kalau merokok di luar waktu sekolah. Kita bisa lapor ke guru
kalau tahu ada murid yang merokok, dan anak itu akan dipanggil untuk dapat
binaan. Di lingkungan sekolah, tidak ada yang boleh merokok sama sekali.
Perpustakaan besar
sekali, dua lantai di SMP-SMA saya. Dan setiap kelas ada waktu kosong 1 jam per
minggu untuk duduk saja di dalam perpustakaan, tanpa ada beban tugas apapun. Terserah
mau melakukan apa saja di dalam perpustakaan. Kebanyakan orang jadi membaca
buku, sebagian kerjakan PR. Tidak ada yang tidur. Guru tetap ada, dan bergaul
dengan semua murid di situ seperti teman dan pembina, tanpa memaksa kita harus mengerjakan
sesuatu. Lebih mungkin guru tanya tentang kesukaan kita dan bantu kita cari
buku. Saya ingat ada teman saya yang punya sifat kasar. Guru tanya kenapa dia tidak mau baca buku, dan dia bilang karena semua
buku terlalu bersih dan manis, jadi dia tidak suka. Akhirnya guru bantu dia dapat novel yang penuh dengan
kehidupan gangster, lengkap dengan kata2 kasar, sisi buruk kehidupan, dll. Kata
guru, yang penting dia merasa senang membaca dulu. Tidak penting baca
apa, asal mau baca.
Kenapa Indonesia harus sangat berbeda dengan negara maju
seperti Selandia Baru? Sedangkan kondisi dan beban terhadap murid, jam sekolah,
pelajaran dan sebagainya jauh lebih berat di sini? Kenapa di sini harus ada 3-4
seragam, sedangkan di negara maju hanya ada 1-2 versi (sesuai cuaca)? Kenapa
murid bisa dapat 23 mata pelajaran di tingkat kelas 3 SMA? (Saya pernah lihat daftar
23 kelas itu di dalam buku catatan murid saya, dan hampir pingsan karena tidak
percaya dia bisa dikasih begitu banyak pelajaran dari pihak sekolah). Kenapa
bukan 6 mata pelajaran saja? Kalau tidak
ada korupsi yang
dilakukan terus oleh pejabat pendidikan, semua sekolah akan mampu beli
buku sendiri, jadi murid tidak perlu beli. Tetapi malah korupsi yang diutamakan
di sini, bukan kesejahteraan siswa.
Kenapa orang tua dan guru selalu diam setiap tahun ketika
anak2 mencoret dan merusak seragam mereka? Kenapa anak non-Muslim di negara
barat bisa lebih peduli pada teman yang miskin daripada orang tua, guru dan
murid yang Muslim di Indonesia? Kenapa seragam tidak dikumpulkan dan dikirim ke
daerah untuk kebutuhan anak2 yang terpaksa putus sekolah karena tidak sanggup
beli seragam?
Saya tidak
paham kenapa Indonesia menjadi seperti ini. Saya lebih tidak paham lagi kenapa
seratus juta orang tua bisa menerima
keadaan ini SETIAP HARI, SETIAP BULAN, SETIAP TAHUN tanpa ada yang mau berusaha
untuk mencari keadaan yang lebih baik.
Kasihan anak Indonesia.
Saya bermimpi suatu hari kondisi pendidikan di sini bisa menjadi lebih baik
lagi dari Selandia Baru.
Wassalamu’alaikum
wr.wb.,
Gene Netto
*********
Guru Sudah Mulai Bosan dan Lelah Mengajar
Liputan 6 – Rab,
5 Okt 2011
Liputan6.com,
Jakarta: Memperingati hari Guru Internasional yang jatuh tepat pada tanggal 5
Oktober, tak sedikit guru di Indonesia yang masih mengeluh dengan kebijakan
pemerintah saat ini. Guru juga manusia, punya rasa lelah, bosan dan stres.
Demikian
ungkapan dari salah seorang guru yang sehari-hari mengajar di SMU 26 Jakarta,
Fakhrul Alam, menyoroti kebijakan pemerintah saat ini terkait dengan jam
mengajar tatap muka. Dirinya menganggap kebijakan ini tak masuk akal dari 24
jam menjadi 27,5 jam per minggu. "Kondisi kelas yang nyaman tidak nampak
di kelas yang dijejali dengan 40 siswa. Proses dituntut kontekstual, dan student
centered learning. Tetapi guru dituntut berdiri di kelas 27,5 jam tatap muka,
ini sangat tak masuk akal. Guru juga manusia punya rasa lelah, bosan dan bisa
stres," ujar guru yang juga anggota Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI)
kepada Liputan6.com, Rabu (5/10).
Fakhrul
mengatakan, pendidikan di Indonesia menganut sistem belajar paling lama di
dunia. Sekitar tahun 80-an, guru juga dibebani 24 jam. Namun 18 jam itu untuk
tatap muka, 6 jam untuk pelayanan, koreksi dan pengembangan materi dan lainya.
"Kami pernah hadir dalam sebuah workshop di situ dikatakan pendidikan kita
ini menganut sistem belajar paling lama di dunia. Masuk jam 6.30 selesai jam
15.10, ini umumnya di sekolah negeri," ungkapnya.
Ia menganggap
kondisi ini tentu akan sangat mencerdaskan, jika kondisi ditunjang dengan
lingkungan nyaman dan proses pembelajaran berjalan sesuai kebutuhan siswa,
serta diasuh oleh guru-guru yang mumpuni. "Tapi dengan jumlah 40 siswa
dalam satu kelas adalah omong kosong. Sepiawai apapun seorang guru akan
berhasil menerapkan model pembelajaran siswa aktif secara efektif jika kondisi
seperti ini," ujarnya.
Sebelumnya
sesuai kebijakan Permendiknas No. 39 Tahun 2009, untuk mendapatkan Tunjangan
Profesi Guru (TPG) seorang guru harus memiliki kewajiban mengajar 24 jam tatap
muka. Belum selesai dengan kebijakan tersebut, muncul usulan dari Kemenpan
mengenai kewajiban guru mengajar 27,5 jam tatap muka. Usulan Kemenpan tersebut
pun disetujui oleh Mendiknas yang dinilai kalangan guru sebagai hal yang tidak
realistis. (ARI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar