Dua hari yang lalu, kami saya dan beberapa teman, berkunjung ke Qaryah Thayyibah, Kalibening dan sekali lagi saya bertemu sosok bersahaja dan baik hati Bahruddin.
Pembicaraan yang selalu menarik, walau berulang kali saya berdiskusi, sharing dengan beliau. Kali ini pembicaraan kami mulai dari latar belakang Bahruddin membuat komunitas belajar QT. Awalnya Bahruddin sudah mulai resah, melihat kenyataan buruknya sistem pendidikan Indonesia. Pak Din, panggilan akrab Bahruddin, terinspirasi dari diskusi-diskusi beliau dengan George Yunus Aditjondro, buku-buku Paulo Freire dan Deschooling- Ivan Illich. Dengan latar belakang keresahan tersebut, dipicu dengan mahalnya biaya pendidikan saat putranya masuk SMP, pak Din mengumpulkan warga desanya sekitar 30 orang untuk membuat komunitas belajar dan 12 orang dari 30 tersebut menyetujui membuat komunitas belajar di desa Kalibening.
Yang menarik disini adalah cara pandang penduduk desa yang berani berbeda, berani “gila”untuk lepas dari pendidikan formal dan ijazah, untuk mengejar kemerdekaan belajar.
Anak-anak yang keluar dari belenggu sekolah, akhirnya menemukan kemerdekaannya. Mereka bisa belajar apa saja sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang mereka miliki tanpa batas. Peristiwa 6 tahun yang lalu itu kini telah menghasilkan beberapa penulis, komikus, pelukis, pemusik, pembuat film, dan yang terpenting dari itu semua, mereka semua tidak berhenti untuk terus belajar memberdayakan apa yang ada pada diri mereka dan lingkungan terdekat mereka. Kini anak-anak tersebut mendirikan Universitas Kehidupan yang sering mereka sebut UK, mereka ada yang bekerja di pabrik, jadi karyawan atau melanjutkan kuliah di Bandung, Yogya, Jakarta—namun mereka semua masih bisa berkumpul dan belajar bersama di UK baik bertemu tatap muka maupun lewat dunia virtual.
Ada seorang anak yang kini tetap bekerja di Pabrik sekaligus kuliah di UK, tujuannya bekerja untuk membeli peralatan film, sehingga dapat membuat film yang ia impikan, ada juga yang ingin membeli laptop supaya dapat lebih efisien menuliskan semua ide dan gagasannya dalam sebuah tulisan.
Jadi tetap saja, tujuan belajar mereka adalah memberdayakan semua yang ada pada diri dan lingkungan sekitar mereka untuk dapat mewujudkan kesejahteraan diri dan orang-orang disekitarnya.
Sebenarnya itulah tujuan belajar yang hakiki, anak-anak ini memegang teguh idealism yang ada pada diri mereka, di tengah carut marut kondisi perekonomian, politik dan pendidikan di negaranya, mereka berani berkata inilah yang bisa mereka lakukan untuk Negara tercintanya, tidak perlu ijazah dan transkrip nilai tapi mereka tetap bersemangat untuk terus berkarya dan belajar dari kehidupan ini, sehingga mereka dapat mensejahterakan orang-orang di sekitar mereka