Minggu, 13 November 2011

[KLIPING] Pendidikan dan Kolektivitas untuk Bumiputera

Pendidikan dan Kolektivitas untuk Bumiputera (BI Purwantari, Kompas, Sabtu, 19 November 2005)

Tiap-tiap Orang djadi Guru; tiap-tiap Rumah djadi Perguruan! Demikian bunyi semboyan yang tertulis dalam salah satu artikel di dalam buku berjudul Karja Ki Hadjar Dewantara, bagian I, Pendidikan yang diterbitkan oleh Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa pada tahun 1962. Di bawahnya, tertulis judul artikel mobilisasi intelektuil nasional untuk mengadakan wajib belajar.

Semboyan ini, seperti diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, menganjurkan suatu gerakan mobilisasi untuk belajar bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Mobilisasi intelektuil yang dimaksud di sini adalah mengerahkan seluruh sumber daya manusia yang ada untuk memberi pengajaran kepada anak-anak bumiputera. Anjuran ini merupakan cita-cita pendiri perguruan Taman Siswa itu untuk memajukan pendidikan rakyat bumiputera di negeri kolonial Belanda.
Dalam sejarah Indonesia, Ki Hajar Dewantara yang juga dikenal sebagai Suwardi Suryaningrat adalah pejuang yang bergerak memerdekakan bangsanya melalui pemajuan pendidikan dan pengajaran rakyat bumiputera. Perhatian terhadap persoalan pendidikan digelutinya selama masa pembuangan di negeri Belanda.

Setelah pulang ke Tanah Air, ia mendirikan perguruan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang merupakan bentuk kritiknya atas sistem pendidikan kolonial. Berbeda dengan sistem kolonial, sistem pengajaran di Taman Siswa bertujuan meninggikan derajat rakyat terjajah dan membentuk jiwa kebangsaan Indonesia. Tujuan ini menjadikan gagasan-gagasan pendidikan Ki Hajar dan Taman Siswa khususnya sebagai bagian gerakan rakyat Hindia Belanda menentang kolonialisme.

Harmoni dan Among
Buku dengan ketebalan mencapai 557 halaman ini, merupakan buku kumpulan 116 tulisan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang pernah diterbitkan oleh surat kabar, majalah, ataupun pernah dibacakan sebagai pidato selama kurun waktu tahun 1928 hingga tahun 1954. Artikel-artikel ini ditulis dalam bahasa Melayu, Belanda, dan Jawa. Untuk keperluan penerbitan, artikel berbahasa Belanda dan Jawa juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini sendiri merupakan buku pertama dari dua buku lainnya yang berisi kumpulan tulisan Ki Hajar. Buku kedua berisi kumpulan tulisan mengenai kebudayaan sedangkan buku ketiga tentang politik, jurnalistik, dan kemasyarakatan.

Gagasan Ki Hajar tentang pendidikan dikelompokkan menjadi tujuh bab di dalam buku ini yaitu bab tentang pendidikan nasional, politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan keluarga, ilmu jiwa, ilmu adab, dan bahasa. Tiap bab berisi antara 8 sampai 39 judul artikel, dengan jumlah artikel terbanyak dalam kelompok bab tentang politik pendidikan. Memang, gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan tak bisa dilepaskan dari konteks politik pendidikan yang berlaku pada masa tersebut yaitu politik pendidikan kolonial.


Secara garis besar, Ki Hajar Dewantara mengemukakan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, dan fisik seseorang. Ketiga elemen ini, menurut dia, tak dapat dipisah-pisahkan supaya tercapai kesempurnaan hidup. Dalam kaitan dengan pendidikan nasional, daya upaya memajukan ketiga elemen ini hendaknya berlandaskan garis hidup bangsanya atau berdasarkan kebudayaan bangsanya dan ditujukan untuk mengangkat derajat serta memerdekakan manusia sebagai anggota sebuah persatuan (bangsa). Kemerdekaan yang dimaksudkan di sini adalah berdiri sendiri (zelfstandig), tidak bergantung kepada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfsbeschikking). Lebih jauh, dalam hidup merdeka tersebut, Ki Hajar menekankan pentingnya harmoni yaitu suatu keadaan persatuan yang selaras. Untuk mencapai ini, masing-masing anggota persatuan harus ingat bahwa ia hidup bersama-sama dengan orang lain yang juga berhak menuntut kemerdekaannya. Oleh karena itu, golongan yang berbeda harus mengatasi perbedaan tersebut dan mementingkan peri kehidupan bersama.

Selain itu, pengajaran yang diberikan kepada anak didik tidak bersifat paksaan bahkan perilaku memimpin kadang tidak perlu dilakukan. Sebagai gantinya, para pendidik harus bersikap ngemong atau among. Para guru seharusnya tidak mengajarkan pengetahuan mengenai dunia secara dogmatik. Sebaliknya, mereka hanya berada di belakang anak didik sambil memberi dorongan untuk maju, secara halus mengarahkan ke jalan yang benar, dan mengawasi kalau-kalau anak didik menghadapi bahaya atau rintangan. Anak didik harus memiliki kebebasan untuk maju menurut karakter masing-masing dan untuk mengasah hati nuraninya.

Kritik pendidikan kolonial
Gagasan-gagasan utama Ki Hajar tentang pendidikan dan pengajaran ini lahir dalam konteks pergulatannya sebagai aktivis politik dan salah satu pendiri Indische Partij (IP) selain pengasuh surat kabar berbahasa Belanda De Expres dan bahasa Jawa Panggugah. Gagasan tentang pendidikan yang memerdekakan lahir atas pengamatannya terhadap sistem pengajaran kolonial. Menurut dia, pendidikan dan pengajaran kolonial menjauhkan rakyat Hindia Belanda dari realitas sehari-hari penindasan kolonial dan itu berarti menghapus kesadaran akan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.
Menurut dia lagi, politik etis yang mendorong pengembangan pendidikan untuk bumiputera sesungguhnya telah menciptakan ketergantungan rakyat Hindia Belanda kepada penjajahnya. Dengan politik etis, rakyat bumiputera menjadi terbiasa ditolong sehingga kehilangan kepercayaan pada dirinya, bahkan kepada peradabannya sendiri.

Kritik atas sistem pendidikan kolonial ini diberi bentuk konkret oleh Ki Hajar dengan membangun perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Meskipun pada awalnya perguruan ini dianggap sebagai gerakan tidak politis oleh beberapa tokoh politik Hindia Belanda maupun oleh pemerintah kolonial, dalam waktu tidak terlalu lama banyak sekolah-sekolah partikelir bergabung dengan Taman Siswa. Pada tahun 1930, tidak kurang dari 52 sekolah Taman Siswa dengan 6.500 murid di Jawa, Sumatera, Bali, dan Kalimantan. Delapan tahun kemudian, Taman Siswa berkembang menjadi 225 sekolah dengan 700 guru dan 17.000 murid (Ayu Ratih, Reconsidering the Great Debate on Indonesian National Culture in 1935 - 1942).
Ketertarikan banyak orang di masa itu untuk menyekolahkan anaknya di Taman Siswa didorong oleh sistem pengajaran yang menekankan pada kemerdekaan anak didik. Berbeda dengan sistem pendidikan barat yang juga dianut oleh pemerintah kolonial, Taman Siswa mendidik murid-muridnya supaya berperasaan, berpikiran, dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan untuk mencapai hidup tertib bersama. Sebaliknya, pada saat itu, karakter pengajaran kolonial menekankan pada perintah, hukuman, dan ketertiban (regering, tucht, orde).

Kritik lainnya menyangkut dasar kerakyatan yang tidak dimiliki oleh pendidikan kolonial. Nilai-nilai yang diajarkan di sekolah-sekolah kolonial adalah nilai yang berkaitan dengan kemajuan kaum kapitalis menumpuk materi. Maka, di kalangan pribumi tertanam kuat budaya ambtenaar, menjadi pegawai gubernemen yang bergaji tinggi dan lupa kepada sekelompok besar masyarakat yang miskin. Taman Siswa menjalankan asas kerakyatan yang membuat pendidikan dan pengajaran berguna bagi lapisan besar masyarakat pribumi. Penyakit individualisme yang memisahkan satu orang dengan orang lain digantikan dengan nilai-nilai kekeluargaan.

Nilai-nilai kekeluargaan atau kolektif ini dikemukakan Ki Hajar bukan untuk menghilangkan kemerdekaan. Sebaliknya, di dalam hidup merdeka seseorang harus ingat bahwa ia hidup bersama orang lain yang juga berhak menuntut kemerdekaan diri. Oleh karena itu, pengajaran nilai kolektif dimaksudkan untuk memberi kesadaran tentang kehidupan bersama dalam persatuan masyarakat.

Nilai kebebasan dan kolektivitas yang dijunjung Ki Hajar ini terungkap pula di dalam salah satu artikelnya tentang pendidikan dan pengajaran untuk golongan minoritas yang ditulis setelah kemerdekaan. Di dalam artikel ini Ki Hajar mengemukakan persoalan apakah yang harus dilakukan terhadap golongan minoritas dalam hal pendidikan dan pengajaran?

Sebagai sebuah negara merdeka yang berdasar demokrasi, pengertian minoritas sangatlah berbau kolonial. Di dalam negara merdeka seharusnya hanya ada perbedaan antara warga negara dan orang asing. Oleh karena itu, negara seharusnya memberi kebebasan kepada warga negaranya untuk pemberian pengajaran. Pemerintah harus mengusahakan pengajaran umum yang nasional dan demokratis sementara golongan-golongan partikelir bebas mendirikan sekolah-sekolah guna memelihara ideologi masing-masing. Pemerintah hanya bertugas memberi bantuan secukupnya dan mengawasi agar tiap golongan tidak mengabaikan kepentingan golongan lainnya.
Tampaknya, gagasan Ki Hajar Dewantara tentang kebebasan dan kolektivitas yang digaungkan jauh sebelum Indonesia merdeka pun belum sepenuhnya terlaksana. (Litbang Kompas)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...