Kenapa dipukul guru diem aja
si???..langsung visum dan lapor polisi--guru juga manusia gak usah
takut...--kalian bukan binatang, binatang aja gak bisa diperlakukan
seenaknya...
Kalian anak-anak dibawah 18 tahun dilindungi Undang-Undang kok...
Kalian anak-anak dibawah 18 tahun dilindungi Undang-Undang kok...
UU No. 23
tahun 2002 Pasal 16 Ayat 1 tertulis: Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Didasari atas keprihatinan, yang
terjadi di sekitar kita, tentang anggapan bahwa mendidik harus dengan disiplin
yang ketat tanpa dasar yang jelas. Bahwa anak-anak harus menjalani hukuman, ketidaknyamanan,
intimidasi, diskriminasi atas hal yang sangat wajar menurut kacamata mereka dan
aneh serta menyimpang menurut kacamata guru.
Ki Hajar Dewantara, bagaimanapun juga guru
seharusnya ngemong dan among, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan
budi pekerti dan pikiran, menjadikan anak-anak kita menjadi manusia yang
bahagia, bijaksana, berjiwa besar, berakhlak mulia, apapun profesi mereka
kelak
Mendidik tidak memaksa, kita
hanyalah fasilitator bagi mereka, anak adalah pembelajar sejati,
serahkan mereka pada alam, mereka akan menemukan diri mereka sendiri.
Perlunya kesadaran akan konsep
pendidikan, diharapkan akan merubah paradigma pendidikan kolonial yang masih
banyak digunakan di sekolah-sekolah dan di anut oleh guru yaito penekanan pada
perintah, hukuman dan ketertiban (regering, tucht, orde)
Didalam masyarakat kita saat ini, masih banyak anggapan bahwa anak adalah komunitas kelas bawah.
Mereka adalah pribadi lemah yang seolah sepenuhnya harus berada di bawah
kendali kekuasaan orang dewasa, sehingga berakibat orang tua pun merasa berhak
melakukan apa saja terhadap anak, karena anak lahir bagaikan kertas putih, maka
kekuasaan ada di tangan orang tua.
Pengertian sempit dan paradigma keliru ini terus berkembang
sehingga banyak diajarkan baik di rumah maupun di sekolah, bahwa anak-anak
harus menurut sepenuhnya kepada orangtua, guru atau orang dewasa lain. Mereka
sama sekali tidak boleh membantah, mengkritik, apalagi melawan, tanpa adanya
penjelasan secara terperinci dalam situasi bagaimana hal itu seharusnya
dilakukan. Pandangan demikian akhirnya terus berkembang dan sering membuka
peluang terhadap berbagai tindak kekerasan, penindasan dan perlakuan salah
terhadap anak karena kuasa orang tua dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Seolah-olah mendidik anak
memang harus dilakukan dengan kekerasan. (Seto Mulyadi, 2006)
Padahal anak-anak yang banyak
mendapatkan tindak kekerasan, cenderung mengimitasi kekerasan tersebut,
disamping anak-anak tersebut pun akan mengalami berbagai gangguan kejiwaan yang
kelak mengganggu proses tumbuh kembang mereka secara optimal. Apabila pendidik
menginginkan munculnya pribadi-pribadi unggul di masa depan, semua harus berani
bertindak mulai sekarang yaitu menyerukan kepada pendidik dan orang tua untuk
menghentikan berbagai kekerasan terhadap anak atas nama pendidikan. Pendidikan
adalah tidak identik dengan kekerasan; bahwa pendidikan adalah tidak sekedar
memberikan instruksi atau komando, tetapi memberikan hati kita yang sarat
dengan cinta dan kasih sayang. (Diane Tillman, 2002)
Lingkungan
sekolah yang penuh perhatian dan asuhan juga terbukti telah mengurangi perilaku
kekerasan dan menciptakan sikap positif terhadap cara belajar anak-anak.(Riley, 2000)
Ada
diantara pendidik yang memandang sekolah sebagai suatu tempat yang serius untuk
belajar dan jarang sekali menganggapnya sebagai tempat untuk menikmati kegiatan
belajar dan menanggapi apa yang dibutuhkan dan ingin dipelajari oleh anak-anak
dengan senang.
Mendidik
yang berhasil adalah jika anak-anak tersebut bisa jadi manusia yang bahagia, bijaksana, berjiwa
besar, berakhlak mulia, orang yang "baik", apapun profesinya. (AS
Neil, 1971)
Menurut
Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti,
pikiran dan fisik seseorang, beliau menekankan adanya harmoni, yaitu suatu
keadaan persatuan yang selaras. Pengajaran yang diberikan kepada anak-anak
tidak bersifat paksaan, bahkan perilaku memimpin kadang tidak perlu dilakukan.
Perilaku
kekerasan sering disebut juga bullying. Menurut Riauskina, Djuwita, dan
Soesetio (2005) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif
yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok yang memiliki kekuasaan,
terhadap kelompok lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang
tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan bullying dilakukan oleh guru sebagai seseorang yang memiliki
kekuasaan terhadap anak-anak nya seseorang yang lebih lemah.
Perilaku bullying dikelompokkan ke
dalam 5 kategori:
1. Kontak
fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci
seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak
barang-barang yang dimiliki orang lain)
2. Kontak
verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi
panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs),
mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip)
3. Perilaku
non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan
ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya diertai oleh
bullying fisik atau verbal).
4. Perilaku
non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan
sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat
kaleng).
5. Pelecehan
seksual (kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal).
Tahun 2008,
saya melakukan penelitian dengan responden murid SMA sejumlah 88 murid yang
hasilnya adalah 95,5%
responden yang menyatakan tidak menyutujui cara guru mendisiplinkan anak-anak,
ketika ditanya bagian mana yang membuat mereka tidak setuju, 100% menyatakan
tidak menyukai cara kekerasan, keluhan yang ditulis anak-anak antara lain:
1. "Mereka tidak setuju jika guru
memberi hukuman yang berlebihan dan ini hanya membuang waktu saja. Apalagi
kalau harus dihukum sampai berjam-jam, membuat siswa stress karena harus
melaksanakan hukumannya,. Malah bisa jadi siswa dendam sama guru itu, selain
membuang waktu juga membuang energi, siswa jadi lemas di kelas, karena
energinya sudah dipakai untuk hukuman fisik, apalagi kalau guru itu sampai
memukul, bikin siswa tambah jengkel, hanya menambah dosa saja. Sekolah kita
sekolah Islam, semestinya guru lebih tahu dosa, tidak perlu kekerasan. Siswa
sudah tahu kok kalo salah. Apalagi kalo soal terlambat, guru terlambat aja
tidak di apa-apain, masak siswa terlambat sampai kayak gitu. Guru tidak
mengerti masalah siswa, kadang dijalan siswa banyak rintangan, entah jalan
macet, ketilang dan lain-lain. Padahal kita sudah jauh-jauh ke sekolah tapi
malah jadi susah di sekolah. Apalagi sekolah kita dekat dengan jalan raya, jadi
dilihat dari luar kan
membuat tercemar nama baik sekolah, karena orang-orang menganggap bahwa sekolah
itu jelek, dan akhirnya orang tua ogah-ogahan menyekolahkan anaknya. Menurut
saya remaja itu memang lagi fase membuat keonaran, tapi itu semua karena remaja
mau lebih kreatif aja". (Azizah, siswa kelas XII)
2. "Cara guru mendisiplikan
siswanya terlalu keras, mereka memukul, menendang ataupun kekerasn lainnya
untuk menertibkan muridnya, apakah tidak ada cara yng lain? Apakah orang tua
murid menyekolahkan anaknya hanya untuk menjadi korban kekerasan guru?".
(Zahri, siswa kelas XII)
3. "Saya pernah melihat teman
saya ditendang oleh salah seorang guru, dan itu sangat merugikan teman saya
walau dia memang salah, namun siatu tidan kekerasan akan mengakibatkan anak
tersebut mengalami tekanan mental dan ketidaknyamanan dalam pembelajaran"
(Hidayat, siswa kelas XII)
4.
Mereka
tidak menyetujui kekerasan, seperti mengatai goblok, bodoh, dasar pemalas,
menendang, memukul, dilempar, jalan jongkok, push up, lari dan semua hukuman
lainnya. Menurut mereka tanyakan dahulu alasannya, dan hukuman
tidak mesti dengan kekerasan. Hukuman-hukuman itu membuat mereka lelah dan
tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik.
5.
Orang tua mereka saja tidak pernah memukul, namun
di sekolah malah dipukul guru
6.
Anak-anak keberatan jika sepatu atau barang-barang
mereka seperti sweeter, jaket, ikat pinggang disita dan seringnya tidak
dikembalikan. Karena mereka membeli barang tersebut atas ijin orang tua yang
sudah bersusah payah mencarikan uang.
7.
Anak-anak menuntut hak mereka untuk memperoleh
pendidikan, karena mereka sudah membayar SOP yang mahal di sekolah ini.
8.
Anak-anak ingin merasa nyaman, tentram dan damai
tanpa ancaman berada di sekolah ini
9.
Anak-anak ingin lebih bebas dalam mengembangkan
diri dan berekspresi tanpa ancaman.
10. Anak-anak
merasa malas pergi ke sekolah, jika di sekolah saja mereka merasa tidak nyaman,
tertekan dan takut.
11. Anak-anak
ingin merasa di sayangi, dicintai dan dihargai, karena mereka juga manusia.
Dalam UU No. 23 tahun 2003 Pasal 16 Ayat 1 yang juga
dilanggar tertulis: Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Pasal 3 dikemukakan bahwa,
"perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera". Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa
"anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan".
Dalam Konvensi Hak Anak, tercatat ada dua hal yang
dilanggar oleh terjadinya bullying. Undang-undang yang pertama adalah
Undang-Undang Pasal 16 Ayat 1 yang berbunyi: Tidak seorang anakpun dapat
dikenai campur tangan sewenang-wenang atau tidak sah mengenai kehidupan
pribadi, keluarga, rumah tangga, atau hubungan surat menyuratnya, ataupun
diserang secara tidak sah nama baiknya. Undang-undang ini tampaknya merujuk
kepada bullying jenis mental. Dimana sindiran, penyerangan nama baik,
dan hal-hal lain yang disebutkan dalam undang-undang tersebut digunakan sebagai
alat bullying. Ayat selanjutnya dari pasal ini memberi semacam petunjuk
apabila undang-undang ayat satu dilanggar: Anak berhak atas perlindungan hukum
terhadap campur tangan/serangan seperti tersebut di atas. Tentunya, ayat ini
seolah memberi peringatan bagi para penindas bahwa jalan hukum dapat ditempuh
apabila terjadi bullying.
Permasalahan kedisiplinan yang
terjadi di Sekolah, dapat diatasi dengan syarat mutlak: guru, pegawai dan
kepala sekolah harus terintegrasi menjadi tim yang solid. Memiliki visi yang
sama yaitu mendidik anak-anak Sekolah menjadi manusia-manusia yang unggul,
berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Termasuk didalamnya adalah anak-anak
dapat memiliki perasaan menghargai, menyayangi, mencintai dan mau memahami keadaan
orang lain.
Guru seharusnya berpikir positif
terhadap anak-anaknya, tidak menghakimi anak didiknya sebagai anak yang bodoh,
karena input yang jelek. PAHAMI dan YAKINI bahwa TIDAK ADA anak-anak Sekolah yang
bodoh, menurut Howard Gardner, 1983, dalam teorii multiple intelegences,
kecerdasan seseorang dibagi menjadi 7, yaitu kecerdasan linguistik, musikal,
logis-matematis, spasial, kinestetik, interpersonal dan intrapersonal. Mungkin
guru tidak memahami dimana kecenderungan kecerdasan anak-anaknya. Vonis bodoh
atau pintar untuk seorang anak bisa berdampak buruk terhadap perkembangan
psikologis mereka. Pandai atau bodoh menurut siapa, dan parameternya apa. Jadi
bkan bodoh atau pintar, melainkan masing-masing anak meiliki potensi kecerdasan
yang berbeda, oleh karena itu guru harus berperilaku arif terhadap semua anak-anak.
(Sujono Samba, 2007)
Keseluruhan materi bidang studi
tersebut sebagian besar terlalu abstrak, tidak kontekstual, tidak sesuai dengan
kebutuhan belajar anak-anak, useless, tidak sesuai dengan kompetensi
yang ada di dalam diri mereka, dan tidak digunakan dalam kehidupan anak-anak di
masa yang akan datang. Paradigma pendidikan Indonesia dulu dan sekarang, hanya
menekankan seseorang untuk menjadi pegawai atau karyawan. Memiliki gelar
tinggi-tinggi hanya untuk mencari pekerjaan, bukan untuk mandiri dengan menjadi
enterpreneur, misalnya. Sehingga ijasah menjadi satu-satunya tujuan
seorang anak-anak untuk belajar, yang selanjutnya menumbuhkan keyakinan bahwa
jika sudah memiliki ijasah tidak perlu belajar lagi.
Pahami dan yakini bahwa setiap anak-anak
adalah manusia unik yang memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Bagaimana
masing-masing anak-anak yang berbeda tersebut bisa menggunakan potensi uniknya
dalam sebuah kerjasama dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar di luar
dirinya.
Guru harus dapat mengetahui
dengan jelas alasan mengapa seorang anak-anak memiliki perilaku (yang menurut
guru) menyimpang. Guru terbiasa
berprasangka buruk terhadap anak-anaknya, yang selanjutnya terkadang
menjatuhkan mental dan mematikan kreativitas anak-anak. Always ask WHY....?,
sebelum bertindak lebih lanjut.
Daftar Pustaka:
Agus
Sampurno, "Membuat Program Anti Bullying di Sekolah", November
2007. www.gurukreatif.wordpress.com
Alfie Kohn, "Jangan Pukul
Aku, Paradigma baru Pola Pengasuhan Anak" , Mizan Learning
Center, Juni- 2006.
AS. Neill, "Summerhill School",
Serambi Juni - 2007
J.Drost, SJ,
"Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan", Gramedia,
1999
Junifrius
Gultom, "Kekerasan di Sekolah, Wajarkah?", Jurnal Program
Magister Psikologi Terapan UI, November 2007.
Mary Griffith,
"Belajar Tanpa Sekolah, Bagaimana Memanfaatkan seluruh dunia sebagai
Ruang Kelas Anak Anda", Nuansa, Juni-2006
Maulia D. Kembara, M.Pd, "Panduan
Lengkap Home Schooling", Progressio Agustus – 2007
Mulyasa, 2005.
"Menjadi Guru Profesional". Bandung: Remaja Rosdakarya
Raka Arie Rachmadi, "An
Article About Bullying", www.rumahradel.blogspot.com
, Desember-2007
Riauskina, I. I.,
Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005). ”Gencet-gencetan” di mata peserta
didik/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak
”gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, 12 (01), 1 – 13
Ronnie M. Dani, 2005. "Seni Mengajar dengan Hati"
Jakarta: Alex
Media Komputindo.
Rustantiningsih,
"Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional", artikel portal www.duniaguru.com , desember 2007
R. Tantiningsih,
2005. "Guru Cengkiling dan Amoral" Koran Harian Sore Wawasan.
14 Mei 2005.
Sujono Samba,
"Lebih Baik Tidak Sekolah" , Pelangi Aksara, Yogyakarta,
Januari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar