Selasa, 21 Februari 2012

Homeschooling dan Saya

Sebenarnya seperti pertanyaan sambil lalu, tapi saya jadi kepikiran
"Lea, tetep akan terus nih jadi guru?"
belum sempet jawab, karena saya punya cita-cita even saya nanti professor, saya tetep pingin ngajar anak-anak Madrasah Aliyah. Saya pernah menulis mengapa saya tetap bertahan walau sulit mensingkronkan antara idealisme pendidikan dan hati nurani dengan sistem pendidikan di Indonesia disini

____________________________

jengglong yg sebelah kiri ada di tengah sawah
Saya memang guru, namun 3 anak saya tidak sekolah, karena mereka tidak cocok dengan cara belajar di sekolah, si sulung minta sendiri keluar dari sekolahnya setelah 6 bulan merasakan belajar jadi anak kelas 1 SD, dan sepertinya adiknya yang 4 tahun juga sama, karena sudah terpola dengan suasana belajar di rumah.

Belajar disini, bukan duduk diam menyimak buku-buku pelajaran yang sesuai umur mereka, namun belajar apa saja, dimana saja, dengan siapa saja dan kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan apa yang sedang mereka lakukan.

Misal, Raihan 10 th dan adiknya Rora 4 th mereka suka sekali main di Jenglong (mata air yang dijadikan tempat pemandian) yang letaknya di tengah sawah, mancing di kali, bikin bendungan, main di sawah, main petak umpet, dan masih banyak lagi. Lalu dimana belajarnya? disitulah mereka belajar tentang air, habitat air, ekosistem di sawah, bersosialisasi, belajar tentang Ikan, (setelah mancing, Ikan mereka bakar terus dimakan sama-sama), juga ketika menemukan banyak keong emas di sawah.

Bagaimana dengan matematika, mereka belajar langsung ketika saya minta tolong dibelikan gula pasir di warung, berapa uang dibawa, berapa harga gula berapa pula kembaliannya, ketika harga gula naik,mereka jadi belajar mengapa harga gula bisa naik, apa sebabnya?

Bagaimana dengan karakter?
karena belajar nya fleksible dan menggunakan resource apa saja yang ada di rumah termasuk kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai yang ada di keluarga saya, semuanya jadi include dalam pembelajaran anak-anak.
Character first, jadi lebih bisa tertanam karena mereka belajar di rumah
Seperti Raihan sejak usia 7 tahun dia sudah tidak perlu diingatkan lagi untuh sholat 5 waktu dan puasa ramadhan full, demikian juga rasa tanggungjawab yang terbangun, seperti membersihkan kamar tidur, menjaga adiknya, cuci piring setelah makan, buang sampah ditempatnya dan hal-hal kecil lainnya jadi lebih mudah ditanamkan


Di kuliah umum Institut Ibu Professional bertajuk 1001 cara mendidik anak di Rumah--
Ellen Kristi
Ellen Kristi (founder web Charlotte Mason Indonesia) mengungkapkan bahwa dalam mendidik anak di rumah, dibutuhkan cinta yang berpikir, maksudnya orang tua dituntut untuk merumuskan sendiri apa tujuan pendidikan bagi anak-anaknya, karena tujuan pendidikan ini penting untuk menentukan apa saja yang mesti dilakukan oleh sebuah keluarga. Yang terpenting kesadaran orang tua bahwa setiap anak itu unik dan memiliki potensi yang berbeda-beda. Disinilah intinya orang tua dan anak harus sama-sama belajar.

Bagi Mira Julia atau Lala (founder web Pelangi Nada) --keluarga adalah pusat tata surya, dan ibu adalah mataharinya sehingga seorang ibu HARUS bahagia, karena dari ibu yang bahagia inilah akan menciptakan suasana rumah yang menceriakan bagi anak anak dan keluarga.

Menurutl Lala, apa yang ada di rumah juga kesehariannya bisa dijadikan bahan belajar luar biasa, belajar dari apa saja yang ada di sekitar kita dengan semangat dan niat juga kekompakan antara suami dan istri. Salah satu contohnya bisa disimak disini

Lala
Mengendalikan emosi juga menjadi pembelajaran selanjutnya bagi orang tua, karena jika tidak, jangan-jangan saat menurut kita anak-anak "berisik", "berantakin", dan "nyebelin" itu adalah Aha moment mereka, klik mereka untuk keingintahuan yang maha dahsyat yang membawa mereka menjadi pembelajar sejati, yang akan menentukan arah hidup mereka selanjutnya.

Berikutnya masalah ibu bekerja dengan anak HS, seperti Wiwiet Mardiati, pertimbangan HS nya simpel, dia tidak mau diatur dalam pendidikan anaknya, tapi dia maunya sebagai subyek yang menentukan bagaimana anaknya dididik--menurut saya, memang fitrahnya ibu atau orang tua adalah guru yang paling baik bagi anak-anaknya--
Untuk mengatur kebersamaan dengan Atala putranya yang HS, tips yang diberikan wiwiet adalah mengajak dan melibatkan Atala (7th) dalam pekerjaan Wiwiet sebagai dosen. Selain menumbuhkan kebersamaan, juga pengalaman terlibat dengan orang yang lebih dewasa di sekitar ibunya, inilah inti sosialisasi yang tidak didapatkan di sekolah.

Sosialisasi anak-anak HS.
Wiwiet
Sebenarnya apa maksud dari sosiaslisasi?.. bukankah bersosialisasi adalah bagaimana membangun hubungan komunikasi dan bergaul yang baik antar manusia. Ketika dewasa, kita akan berhubungan dengan manusia berbeda jenjang dan usia, bagaimana komunikasi dan bergaul dengan baik dan positif merupakan hal yang tidak dilatihkan di sekolah, padahal itulah inti dari sosialisasi, papar Lala.
Isu Sosialisasi ini sering dimunculkan dan dipertanyakan kepada anak-anak HS, karena sosialisasi menurut mereka adalah tidak punya teman sebaya, padahal ketika mereka dewasa, justru mereka akan jarang sekali bertemu dengan teman sebaya.

Saya jadi ingat, pernyataan seorang teman, Mahfud (Ayah Izza-Dunia Tanpa Sekolah, dan juga ayah dari 3 HSer) yang menyatakan bahwa sosialisasi--rasa sosial bisa diwujudkan ketika kita berkunjung ke panti asuhan, panti jompo atau rumah singgah, karena menurut beliau sosialisasi adalah menumbuhkan rasa sosial di hati anak-anak.

Gaya Pak Ridwan ketika menemui saya siang itu
Qaryah Thayyibah
[repost] Guru yang Sesungguhnya--24 Jan 2009
Sepulang dari Qoryah Thoyibah saya masih terbengong kagum dengan sikap atau prinsip yang dimiliki pak Ridwan ayah Fina, sebegitu mudahnya beliau untuk membiarkan anaknya tanpa ijazah, membebaskan anaknya untuk belajar apa saja, dan benar-benar memahami konsep belajar sesungguhnya, bahwa tidak ada paksaan dalam belajar, anak-anak bebas melakukan apa saja yang mereka sukai.


Sebagai gambaran, pak Ridwan orang yang sederhana sekali, petani biasa, orang desa, yang sarjana saja nggak lulus atau sarjana buat "ethok-ethokan", maksudnya sarjana nya nggak beneran. Ketika menemui kami, pak Ridwan mengenakan peci, kemeja dengan kancing yang tidak rapi dan celana panjang yang dilunthung diatas mata kaki, dengan tinggi lunthungan kanan dan kiri beda...khas sekali orang desa. Pendeknya penampilan beliau yang sangat sederhana sama sekali tidak menggambarkan seseorang yang memiliki cara berpikir brilian.
_________
Ketika saya menemuinya siang itu, gaya berbicaranya masih sama, namun cara berpikir beliau luar biasa. Saya sempat bertanya bagaimana beliau bisa memiliki paradigma pendidikan yang "membebaskan" seperti ini?...
Jawaban beliau semua proses, saya juga dulu berpikir ijazah itu penting, angka itu penting, namun semakin kesini, saya melihat anak-anak kok belajar hanya untuk ijazah dan angka. Itukan bukan belajar yang sesungguhnya, karena setelah itu tercapai mereka terus malas dan berhenti belajar. Oleh karena itu kami berpikir anak-anak harus belajar sesuai potensi dan apa yang dibutuhkannya --seperti Summerhill School-AS Neill-- walau pak Ridwan dan Bahruddin tidak pernah membaca buku itu.

Menurut Bahruddin, yang harus dilakukan oleh sebuah komunitas belajar adalah memberdayakan apa yang ada di daerahnya, di kampungnya, di desanya. Potensi yang ada di desa itu, dikembangkan dan diberdayakan oleh anak-anak desa itu, sehingga mereka belajar sesuai apa yang dibutuhkan untk memberdayakan desanya.
_________________________________________________________________
Dari berbagai uraian diatas, semakin menguatkan saya untuk menjadikan keluarga saya, keluarga pembelajar, karena belajar itu dari buaian hingga liang lahat, menjadikan mereka dan kami orang tuanya pembelajar sepanjang hayat, dengan demikian segala permasalahan yang datang menjelang, situasi indah dan buruk, semua dapat dihadapi dengan bijak, karena kita mau belajar dari mana saja, kapan saja, apa saja dengan siapa saja untuk mengatasi semua itu.... Semangaatt!!...(^.^)/..

Belajar dari mana saja, kapan saja, apa saja dengan siapa saja ... Semangaatt!!...(^.^)/..






5 komentar:

  1. asslmualaikum mbak, senang sekali membaca tulisan mbak, menambah referensi saya yg baru memulai untuk homescooling.kapan2 bisa konsultasi ya mbak..tq.

    BalasHapus
  2. Waalaikumsalam--sama-sama belajar ya mbak..
    terimakasih

    BalasHapus
  3. saya banyak belajar dari blog ini, salam hangat dari Cirebon mba :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, salam hangat juga mbak Alimah..:)

      Hapus

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...