Minggu, 30 November 2014

[KLIPING] MONOLOG TENTANG KETUNAGUNAAN ILMU


::: Oleh Hidajat Nataatmadja (1982)

Kalau Anda seorang mahasiswa yang sedang mengikuti kuliah matematika pada seorang profesor di perguruan tinggi bertanya, “Pak Profesor, apakah Anda sedang berpikir, sedang mengajar, atau sedang melukis papan tulis?” Saya tanggung keungkinan besar Anda dikeluarkan dari fakultas, sebagaimana seorang murid Plato pernah diusir, karena bertanya mengenai kegunaan matematika yang sedang diajarkan Plato. Itu hanya sebuah contoh bahwa, bagi saya, sikap ilmuwan tidak banyak berubah dalam selang waktu 2500 tahun. Saya tidak sependirian dengan Jujun Suriasumantri, bahwa situasi jaman Plato sudah banyak berbeda dengan situasi di jaman modern.


Pertayaan sang mahasiswa di atas sebenarnya relevan sekali, karena memang banyak profesor pinter yang tidak bisa berpikir. Dalam suatu penelitian, saya sebagai seorang ekonom meminta agar seorang profesor agronomi berpikir, karena menurut pikiran saya tidak mungkin 100 persen dari seluruh areal pasang surut bisa ditanami kedele sesudah padi, karena 100 persen padi pun sudah sulit. Ternyata sang profesor agronomi tetap pada kesimpulannya bahwa itu memang bisa, asal… permukaan air benar-benar dimonitor sebagaimana disarankannya. Ya, dia berpikir sesuai dengan ceteris paribus, kalau semuanya berjalan sebagaimana terjadi dalam model yang dibuatnya. Dia berpikir dengan berpijak pada model, bukan berpijak pada realita. Dia telah memperkosa agar realita tunduk kepada keinginannya, sehingga dia bisa ngomong apa saja menurut keinginannya.

Itulah contoh bagaimana seorang profesor tidak bisa berpikir, atau hanya bisa berpikir dengan memperkosa realita lebih dahulu. Bukan lagi model yang disesuaikan dengan realita, melainkan realita itulah dibikin sesuai dengan model.
Para profesor matematika mengira bahwa laju pembangunan ini bisa ditingkatkan kalau apresiasi orang terhadap matematika ditingkatkan. Seandainya mereka benar, apakah itu berarti penggunaan matematika modern di SD, SMP, atau SMA?
Oeyeng Suwargana almarhum, seorang pendidik yang penuh dedikasi, dengan sia-sia meyakinkan para profesor matematika bagaimana salahnya pendirian profesor-profesor itu, dilihat dari segi empiris maupun logika pendidikan.
Ya, benarkah apresiasi matematika merupakan masalah matematika dan bukannya masalah pendidikan?

Para profesor matematika tidak bisa berpikir, tidak bisa membedakan antara masalah matematika dan masalah pendidikan. Mereka mengira bahwa yang paling tahu mengenai pendidikan matematika itu pasti adalah profesor matematika. Ya, kita melihat pula dalam kasus ini bagaimana para profesor lupa pada realita, dan berusaha menegakkan keinginannya dengan memperkosa realita.

Saya juga bisa memperlihatkan bahwa profesor kaliber Einstein sekali pun belum tentu berpikir.
Dalam usaha menerangkan hukum invarian kecepatan sinar, Einstein juga merasa perlu untuk memperkosa realita, yakni dengan mengajukan model sistem inersial, yakni sistem-sistem yang tidak saling mempengaruhi. Bagaimana mungkin? Adakah dalam dunia realita ini sesuatu yang tidak dipengaruhi dan tidak mempengaruhi yang lain?

Mari kita kaji filsafat Hindu, yang mengatakan bahwa: eksistensi suatu benda hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan saling ketergantungan; benda yang tidak dipengaruhi benda lain dan tidak mempengaruhi benda lain adalah TIDAK ADA.
Karena itu sampailah Einstein pada kesimpulan mengenai relativisme gerak yang luar biasa anehnya, yakni menurut Einstein pernyataan “bumi bergerak terhadap mobil” ekivalen dengan “mobil bergerak terhadap bumi”. Demikian pula “saya pergi ke sekolah” sama dengan “sekolah pergi ke saya”. Dengan sendirinya pernyataan “negara mengabdi pada saya” sama saja dengan “saya mengabdi pada negara”.
Aneh, kesalahan pikiran seperti ini justru dianggap sebagai puncak kemampuan inteligensi yang sangat diagungkan. Alasan Einstein sederhana sekali: “Bukankah sang komputer tidak bisa membedakan apakah saya yang pergi ke sekolah atau sekolah yang pergi ke saya? Karena itu, bahwa saya merasa yang pergi ke sekolah, itu hanyalah sebongkah subyektivitas. Kita harus bertanya pada sang komputer yang tidak pernah salah itu, yang bisa berpikir obyektif imparsial dan rasional itu.”
Ya, demikianlah Einstein lebih percaya pada sang komputer bikinan manusia daripada kepada manusia yang diciptakan Allah!

Ternyata memang dasar pikiran teori Einstein benar-benar keliru, meskipun terbukti pula bahwa teori Einstein sangat berguna! Disinilah kita mendapatkan suatu hukum yang jarang disadari oleh para profesor yang tidak bisa berpikir, yakni:
1. Yang berguna itu tidak selalu benar.
2. Kebetulan tidak sama dengan kebenaran
Bukankah mantra-mantra sangat berguna bagi yang mempercayainya, meskipun keterangan mengenai berlakunya mantra itu ternyata tidak benar?!
Para ilmuwan dan profesor di bidang disiplin ekonomi juga banyak yang tidak bisa berpikir, yang seperti Einstein berhasil menjalankan mesin pikirannya sesudah mereka berhasil memperkosa realita.

Perkosaan realita ini nampak dalam model pasar bersaing sempurna. Tahukah Anda apa pasar bersaing sempurna itu? Itu adalah model yang sangat eksak, sangat matematis, sangat rasional, yakni sistem sosial yang dicirikan oleh sifat-sifat berikut:
1. Manusia identik satu sama lain: tidak ada pria-wanita, tidak ada perbedaan umur, tidak ada perbedaan status, semuanya sama seperti masyarakat atom-atom helium.
2. Semuanya masing-masing mempunyai perusahaan gurem, jadi manager dan buruh pada waktu yang sama.
3. Harga-harga diketahui dengan eksak sebelum barang dibikin.
4. Mobilitas sumber sempurna, artinya kebun kacang bisa dirubah jadi galangan kapal atau rumah sakit dalam sekejap mata.
5. Barang-barang homogen, hanya ada satu macam beras, satu macam baju, satu macam sapi. Kalau bisa ada satu macam barang saja, yang bisa dimakan, dipakai baju, dibuat rumah dan segala keperluan manusia.

Mengapa mereka menggunakan model yang begitu aneh? Jawabannya hanya satu, yakni untuk menerangkan bahwa dalam dunia ekonomi kita tidak memerlukan moral selain moral efisiensi dan maksimisasi keuntungan. Tentu saja dalam pasar bersaing sempurna kita tidak memerlukan moral, bahkan tidak memerlukan pikiran apa-apa! Tapi moral sangat perlu dalam realita sosial!
Itulah contoh-contoh bagaimana para ilmuwan sebenarnya tidak bisa berpikir, terutama dalam landasan filsafat ilmu pengetahuan. Karena itulah saya selalu memperingatkan pada orang-orang seperti Jujun agar mereka berhati-hati berfilsafat. Bahwa filsafat seperti yang kini beredar samasekali tidak mampu memperbaiki sistem pendidikan. Justru dunia modern paling bloon dalam berpikir filsafati, meskipun dalam berpikir operasional mereka sudah lebih dari sekedar pinter, maksud saya sudah “kepinteran”. Itulah salah satu hakikat penyakit sosial yang menghantui dunia modern, yakni ketidak-becusan kaum ilmuwan dan para profesor untuk berpikir filsafati.

Begitulah manusia modern mulai menggarap masalah etik dengan menggunakan mesin hitung dan tatabahasa. Muncullah apa yang disebut meta-etika Wittgenstein, ilmu yang sedang ngetop, sebagaimana ngetopnya Ebiet G. Ade di mata Jujun Suriasumantri. Mungkin Jujun merasa bahwa ngetopnya top singer seperti Ebiet merupakan ironi yang dahsyat mengenai tipologi manusia yang diwakili atau disorot oleh Ebiet. Demikian pula saya merasa bagaimana ngetopnya meta-etika Wittgenstein mencerminkan bagaimana tipologi ilmuwan yang diwakili oleh Wittgenstein!
Ya, saya merasa kita ini sedang menonton panggung bebodoran, tapi sayang si pelawak akan marah sekali kalau disebut melawak! Siapa yang jujur dan memiliki etika kebenaran, Group pelawak Bagyo atau Group filosof Ilmuwan? Tidak heran menghadapi filsafat Pancasila mereka keder, tapi ada juga yang mencoba-coba mencari untung… siapa tahu bebodorannya dianggap kematangan berpikir.
Tapi saya merasa terhibur membaca tulisan Jujun tentang “Monolog Mengenai Kegunaan Ilmu” (Kompas, 16 Januari 1982), karena Jujun benar-benar secara polos ngebodor, mencoba agar para pembaca tertawa, bagaimana lucunya ilmuwan jaman baheula dan orang-orang yang ngetop seperti Ebiet.

==============================
*) Hidajat Nataatmadja (1932-2009) adalah sarjana pertanian alumni Fakultas Pertanian UI (kini IPB) dan doktor ilmu ekonomi dari Universitas Hawaii. Minat intelektualnya adalah fisika, sebelum kemudian menekuni ilmu ekonomi. Sejak mahasiswa telah menjadi asisten seorang profesor fisika Belanda dan mengajar fisika di almamaternya. Ia dipecat dari IPB oleh Andi Hakim Nasution setelah mulai menulis makalah-makalah yang memfalsifikasi Teori Relativitas Einstein. Doktor pertama di lingkungan Departemen Pertanian ini, bersama dengan Mubyarto dan M. Dawam Rahardjo, adalah peletak dasar-dasar gagasan Ekonomi Pancasila pada 1980, dimana ia memberikan sumbangan sangat besar di wilayah filsafat ilmu pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...