Jumat, 05 Oktober 2012

Tawuran

Tawuran merupakan tulisan, bahasan, diskusi yang lagi trend belakangan ini..

Sebelumnya saya turut berduka cita secara mendalam bagi keluarga korban, semoga Alawy Y Putra dan Deni Yanuar diterima di sisi Allah, dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Allahuma firlahu warhamhu wa afihi wa fuanhu.. Aamiin
Menurut saya kematian mereka tidak sia-sia, kematian mereka merupakan momentum untuk memperbaiki kualitas pendidikan dan bermasyarakat di Indonesia. Mereka pahlawan, agar selanjutnya tidak akan ada jatuh korban lagi.

Seperti yang sering saya kemukakan, kekerasan di sekolah, di masyarakat, bullying antar siswa, guru dan siswa baik bullying fisik maupun psikis kesemuanya bisa memicu kekerasan yang lebih besar lagi

Saya sependapat dengan Taufik Bahaudin seorang pakar perilaku dalam wawancara dengan MetroTV semalam, bahwa tawuran dapat dicegah jika guru di sekolah tidak melulu mengejar bidang akademik saja, namun juga soft skill, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, hal hal semacam ini seharusnya terintegrasi dalam proses pembelajaran di kelas.

Kemudian tentang anak anak pelaku tawuran, apakah dengan memberi sanksi dengan mengeluarkan mereka dari sekolah sudah cukup, memenjarakan mereka selama 15 tahun sudah cukup? NO, paradigma harus diubah bukan efek jera namun peningkatan kualitas diri mereka menjadi manusia yang bernilai, manusia yang memiliki hati yang sehat jasmani dan rohani seharusnya menjadi program pembinaan utama untuk anak anak itu, karena mereka juga korban.

Sebenarnya bukan hal yang sulit, just touch them, hold them and love them sincerely. Dalam pembelajaran di kelas, hubungan guru dan murid diperbaiki, gak perlu jaim, duduklah sejajar dengan mereka, bergaulah secara wajar, dalami dunia mereka.

Hei, saya jadi ingat film Freedom Writer, film inspiratif bagaimana seorang guru dapat menyatukan perbedaan ras, dan perkelahian antar genk di kelasnya, bagaimana seorang guru dapat membuat anak anak yang kasar, putus asa dan tidak memiliki harapan itu bangkit dan berdamai dengan perbedaan mereka.


Sesungguhnya setiap manusia memiliki sisi baik dalam dirinya, betapapun kejam dan beringasnya seorang manusia, mereka masih memiliki sepercik hati nurani yang dapat diletupkan dan membesar, membuat mereka menjadi manusia manusia yang lebih baik.

Bagaimana Erin Gruwel guru inspiratif ini melakukannya, gampang, dia melakukannya dengan "hati", hati yang tulus yang dimilikinya membuat Erin Gruwel menemukan berbagai metode untuk meletupkan hati nurani setiap siswa gangsternya.


Bagaimana dengan orang tua, kenapa melulu guru saja yang disalahkan?
Mari kita lihat dari perspektif ini. Siswa di kota besar, sekolah elit, dengan latar belakang dan pendidikan orang tua yang tinggi, dan siswa di sekolah pinggiran yang sebagian besar orang tua nya memiliki latar belakang pendidikan yang rendah dan miskin. Keduanya memiliki kelemahan yang sama, yaitu sulitnya komunikasi antara orang tua dan anak anaknya. Dua golongan orang tua kaya dan miskin, pendidikan tinggi dan rendah memiliki problem yang sama, sama-sama sibuk dengan dunia mereka yang pendidikan tinggi dengan dalih meningkatkan kualitas hidup mereka sedang yang miskin memikirkan mencari sesuap nasi saja kesusahan apalagi mengurus anak anak mereka. That's why guru dan sekolah yang saya sorot, karena mereka memperoleh amanah dari dua jenis orang tua itu untuk membantu mereka mendidik anak anak mereka.


Anak siapa tanggungjawab siapa?
Golongan orang tua miskin di Indonesia masih lebih banyak dengan yang kaya, tingkat pendidikan yang rendah di Indoensia juga masih lebih banyak dari yang tinggi. Golongan si miskin ini biasanya berkata "saya pasrah saja anak saya mau diapakan di sekolah ini, saya sudah percaya saja" seperti yang saya sebutkan diatas memikirkan mencari sesuap nasi saja sudah memusingkan mereka apa lagi masih harus belajar parenting untuk mendidik anak anak mereka.

Golongan kaya memang lebih enak karena mereka bisa menyekolahkan anak anak mereka di sekolah elit, dengan mengatakan hal yang sama "saya pasrah saja anak saya mau diapakan di sekolah ini, saya sudah percaya saja" karena kesibukan mereka di dunia bisnis membuat komunikasi mereka dengan anak anak mereka terganggu.

Baik sekolah elit maupun pinggiran semua sama kan, Guru dan sekolah tetap kuncinya. Itulah mengapa setelah Jepang di bom, satu pertanyaan kaisar Hirohito adalah berapa guru yang selamat.


Guru sebagai orang tua mereka di sekolah, harus bisa menjadi sosok sosok yang dipercaya bagi anak anak itu. Menurut pak Bahaudin membangun hubungan kepercayaan antara murid dengan guru akan menjadi sulit jika guru tidak mampu mengajarkan softskill kepada anak didiknya. Keahlian untuk mengajarkan softskill juga tidak dapat serta merta dimiliki oleh  guru jika guru tidak pernah memiliki kesempatan dan diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya.

Saya guru, nasihat pada diri sendiri, terus belajar, mendidiklah dengan hati, just touch them, hold them dan love them sincerely
Selamat Hari Guru Sedunia October 5th, 2012--
Semangaaattt!!...(^.^)/..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...