Senin, 16 Januari 2012

[KLIPING] Guru Amateur vs Guru Professional

Apa yang ada di benak kita bila mendengar kata Amateur? Pasti sesuatu yang tidak professional, kualitas rendah, dikerjakan oleh mereka yg tidak kompeten dstnya, bahkan dikesankan sebagai sesuatu yang tidak Ihsan alias dikerjakan tanpa metode dan teknik yang benar.

Dalam arena olahraga juga demikian, secara "common sense", amateur pasti sesuatu yg identik dengan pemula, "amatiran", jam terbang bertanding yang sedikit, bahkan secara komersial, adalah sesuatu yg tidak layak untuk "dijual" dan "ditonton".

Inilah kaprah yang salah. Padahal para olahragawan yang mengharumkan nama bangsa dengan kecintaan dan perjuangan yg luar biasa di pertandingan non-professional adalah para Amateur. Jadi Amateur tidak identik dengan sesuatu yg tidak berkualitas.

Bicara soal ini pada guru konservatif, tentu saja memang susah dimengerti, "Lho kalau gurunya amatir, gak profesional terus nanti siswa-siswanya gimana?"

Amatir (amateur) sederhananya dari kata “Amor” yang artinya cinta, kalau aktivitas kerja didasarkan pada Amatirisme maka ia didasarkan pada kecintaan, ketulusan dan pengabdian. Dengan demikian kerja Amateur adalah kerja yang dilandasi keikhlasan, kecintaan dan kualitas yang tinggi.

Sedangkan “Professional” adalah kata sifat dari “profesi” yang artinya secara ringkas adalah “pekerjaan” (kalau dikaji dari akar katanya, “profession” dari kata “profess” yang artinya “menunjukkan pada publik”), jadi: professional adalah bersifat pekerjaan. Pekerjaan itu apa? Pekerjaan adalah aktivitas yang tujuannya untuk menghasilkan produk atau mencapai tujuan tertentu, dan dari aktivitas itulah seseorang yang melakukannya mendapatkan bayaran. Dengan demikian, kerja professional adalah kerja untuk mendapatkan untung profit (profitable)bukan profesionalisme yang didasarkan pada spesialisasi kerja dan hasrat memperoleh profit.

Dalam perspektif ini, profesionalisme itu tidak ada kaitannya dengan kualitas guru yang baik, ini berbeda bab dan berbeda bahasan, tapi memang kita yang merunduk pada the dominant culture akhirnya sekadar merunduk pada "common sense" itu dan menganggap sama antara profesionalisme dan kualitas yang bagus. Entah darimana common sense ini muncul, bisa jadi karena kualitas dikaitkan dengan uang, jadi para professional pencari uang tanpa sadar diidentikkan dengan kualitas.

Jadi kalau untuk menaikkan kualitas guru, maka inisiatif program Pendidikan Profesi Guru (PPG) atau Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG) dengan sertifikasi adalah sesuatu yang tidak relevan dengan kualitas. Pertanyaan bahwa peningkatan mutu/kualitas guru lewat sertifikasi (lewat portofolio & PLPG) yang telah berjalan saat ini, apakah cukup efektif sebagai alat peningkatan profesionalisme guru, adalah ambigu.

Namun pertanyaan besarnya adalah: apakah cukup guru menjadi professional? Tepat atau tidakkah guru menjadi professional? Kalau Anda menjawab “iya”, maka Anda berada pada posisi yang bersebarangan dengan saya yang mengatakan “tidak”.
Mengapa? Karena bagi saya yang lebih penting dari profesionalitas dan profesionalisme adalah kualitas guru itu sendiri, kualitas tentu di sini dalam arti kualitas yang bagus berupa penguasaan pengetahuan, pemahaman dan pengamalan nilai, konstruksi kultural yang ia bawa dan sejenisnya. Kualitas tidak ada hubungannya dengan professional, itu sekali lagi sudah beda bahasan.

Jadi, kalau guru disebut professional, maka artinya guru tersebut bekerja untuk mendapatkan upah atau bayaran, sah-sah saja anggapan seperti itu, terlebih dalam alam pikir neoliberal, namun sekali lagi dengan demikian professional tidak ada hubungannya dengan kualitas dan kemampuan diri seseorang guru tersebut. Orang yang bekerja untuk mendapatkan upah (yang disebut sebagai professional) bisa jadi kemampuannya bagus atau tidak, becus atau tidak becus, pintar atau bodoh. Nah, pemahaman awam yang digunakan dan bahkan menjadi rezim baru kebenaran sekarang menyamakan professional dengan kualitas yang bagus.

Apa sebenarnya yang terjadi? Tiada lain ini adalah membangun makna dan nilai baru dengan dasar ideologi kapitalisme, bahwa cukup dengan memenuhi indicator sebagai pekerja (baca: professional), maka seseorang tersbut dapat dikatakan sebagai berkualitas. Cukup dengan memenuhi tugas-tugas yang diemban oleh seorang pekerja berdasarkan spesialisasi kerjanya maka ia dapat disebut sebagai berkualitas, padahal lebih tepat disebut sebagai professional saja—yang tidak otomatis disebut sebagai berkualitas dan berkemampuan bagus.

Edward Said dalam bukunya Representations of the Intellectual menegaskan bahwa para intelektual (termasuk guru dalam hal ini) haruslah menjadi amatir, bukan professional. Amatir (amateurs) dari kata “amor” yang artinya cinta. Walau sama-sama dilekatkan pada aktivitas kerja, namun jika seseorang bekerja secara amatir maka ia mendasarkan aktivitas kerjanya pada rasa cinta, pengabdian dan ketulusan, jika mendasarkan pada profesionalisme maka ia mendasarkan pada spesialisasi kerja ala modernitas dan kapitalisme serta hasrat untuk mendapat upah yang layak.

Oleh karena itu, ketika ditanyakan apakah PLPG cukup memberikan bekal profesionalisme, ya saya kira cukup walau saya tidak punya datanya, namun jika ditanyakan apakah PLPG cukup memberikan bekal untuk menjadi guru yang berkualitas bagus, saya bisa jawab: tidak cukup! Guru yang berkualitas bagus menurut Henry Giroux adalah seorang intelektual transformatif, mereka ini beraktivitas kerja tidak didasari hasrat spesialisasi kerja dan profit, melainkan didasari oleh kesadaran kritis untuk perubahan sosial, kecintaan pada manusia dan aktivitas pedagogi dan seterusnya dan seterusnya.

Salam Pendidikan Masa Depan

Dikompilasi dari berbagai tulisan Edi Subkhan .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...