Minggu, 13 Maret 2011

Budaya Baca Kita


Memperoleh link ini dari Dhitta Puti, -anak muda hebat, pejuang pendidikan Indonesia- http://www.thejakartapost.com/news/2006/12/09/reading-enhances-nation.html  

Artikel tentang membaca, minat baca kita yang sangat rendah. Apa yang mesti dilakukan untuk meningkatkannya. Dengan meningkatkan budaya membaca pada masyarakat kita, maka Negara kita akan menjadi lebih baik.

Di  Jepang misalnya, pemerintah lewat dinas pendidikan membuat program nasional untuk membudayakan membaca. Sekarang akan mudah dijumpai orang Jepang membaca dimana saja.

Mengapa membaca penting? Dengan membaca pengetahuan kita bertambah. Jawaban klise, sebenarnya bukan itu saja, bagi saya membaca membuat saya bisa berpikir luas, pada saat menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan saya, apapun permasalahan itu, sepertinya jawabannya akan muncul begitu saja dari otak bawah sadar saya.

Dalam artikel itu juga diungkapkan bagaimana Amerika, Singapura bisa maju dan berkembang pesat karena budaya baca yang tinggi. Tidak heran jika di hari libur banyak keluarga yang mengantri di depan perpustakaan daerah setempat.

Bagaimana dengan kita, dengan anak-anak kita?
Salah satu komentar yang menarik pada link Puti ini adalah, usaha untuk meningkatkan budaya baca guru-guru Indonesia, dengan asumsi peningkatan ini akan membawa pengaruh pada anak didiknya. Sekarang permasalahannya adalah bagaimana meningkatkan minat baca para guru?

Berdasarkan survey kecil yang pernah saya lakukan, guru-guru tersebut tidak suka membaca karena tidak berminat atau tertarik dengan apa yang dibacanya, otaknya sudah tidak kuat menerima ide-ide dari buku yang dibacanya, mata mengantuk kalau dipaksa membaca atau karena tidak mau membaca kemudian berdalih sudah tahu isi buku itu hanya dengan membaca judulnya.

Minat mereka membaca lebih kepada kebutuhan mereka saat ini misalkan, membaca  majalah atau Koran gossip, buku resep masakan, atau diet praktis. Itupun jarang sekali, mereka lebih suka mendengar dari teman yang sudah membaca hal-hal tersebut.

Ada lagi, sulit merubah persepsi yang sudah terlanjur masuk dan mendarah daging dalam otak bawah sadar mereka. Kesimpulan ini saya ambil dari beberapa teman guru yang meminjam buku-buku saya dan mengaku sudah selesai membacanya. Semestinya, harapan saya, ada perubahan persepsi atau paradigm mengenai belajar dan pendidikan setelah membaca buku itu, namun ternyata beliau tidak dapat mengambil inti dari bacaan tersebut, sehingga mebaca hanya sekedar membaca.

How about that?
Saya sempat mengusulkan untuk menyelenggarakan klub baca, jadi kami akan membaca buku yang sama kemudian mendiskusikan isinya dengan persepsi kami masing-masing, namun tidak ada tanggapan. Katanya tidak sempat, sampai rumah sudah capek mengurus ini itu. Tapi beda jika melihat infotainment gossip atau sinetron, mereka pasti sempat.

Atau karena kebiasaan visual ini membuat mereka sulit untuk focus pada sebuah bacaan?, seperti yang diungkapkan Charlote Mason, sejak dini anak-anak semestinya diajarkan untuk focus, tayangan TV yang setiap 4 detik berubah akan merusak konsentrasi seorang anak, oleh karena itu semestinya anak tidak dibiasakan menonton TV, namun di lepas di alam. Ketika mereka melihat kupu-kupu, ulat, burung atau ikan atau apapun yang bisa ditemui di alam mereka akan berlatih untuk focus.
Biasanya anak-anak alam ini ketika membaca buku mereka bisa tenang, konsentrasi dan focus pada bacaannya. Bacaan anak-anak inipun tidak sembarangan, buku bacaannya sering disebut living books, menurut Ellen Kristi, bacaan living books adalah bacaan yang ditulis dengan “hati” oleh pengarangnya bukan untuk keperluan komersial. Contoh daftar bukunya bisa dilihat disini sesuai perkembangan usia anak http://www.amblesideonline.org/curriculum.shtml#years

Itukah yang terjadi pada sebagian besar masyarakat kita?,sulit untuk konsentrasi dan focus karena terbiasa melihat TV?

Menurut Bahruddin pendiri Qaryah Thayyibah, membaca bisa di mulai dengan buku bacaan yang disukai. Di perpustakaan QT, buku-buku yang laris adalah buku-buku bacaan yang disukai anak-anak QT, sedangkan buku pelajaran bantuan dari Diknas masih rapi berjejer di rak tanpa tersentuh.

Ataukah dengan cara itu kita mendorong guru-guru untuk suka membaca? Memulai dari buku bacaan yang disukai? Seperti Diet Praktis, atau majalah gossip, atau buku resep masakan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...