Senin, 29 November 2010

Pendidikan karakter? Mungkinkah?


Di konferensi guru Indonesia yang diselenggarakan oleh FKIP UKSW dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional,  mengangkat tema Pendidikan Karakter Berwawasan Kebangsaan.
Core karakter yang ada pada masyarakat Indonesia sudah digagas oleh pendiri bangsa sesepuh bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Menurut Prof. Dr. John Titaley sebelum 17 agustus 1945 tidak ada Indonesia, yang ada masyarakat dibedakan berdasarkan etnisnya atau masih menggunakan identitas primordial. Untuk memecahkan masalah ini maka Soekarno mencetuskan ide tentang Pancasila dalam piagam Jakarta yang sempat mengalami sedikit perubahan sehingga dapat diterima oleh seluruh etnik yang ada di Indonesia. Pada awal berdirinya Indonesia sudah dapat menerima keberadaan warga negaranya dengan beragam agama mereka masing-masing (inklusif) dan dalam hubungan kebersamaan mereka sebagai warga negara sangat terbuka untuk mengalami transformasi akibat perjumpaan itu (transformative).
Pendidikan nasional yang mewajibkan pelajaran agama menurut agama anak masing-masing berarti tidak mendidik anak Indonesia menjadi orang Indonesia, pendidikan yang demikian membuat anak Indonesia terasing dari religiositas Indonesia dan sesama bangsanya.

Pelajaran agama di sekolah akan mengkotak-kotakan murid sesuai agama yang dianutnya. Akan lebih baik jika pelajaran agama konvensional yang ada sekarang ditiadakan diganti dengan nilai-nilai luhur yang ada, karena pada kenyataannya murid-murid kita, ketika terjun di masyarakat akan bertemu banyak sekali perbedaan agama. Paling penting adalah bagaimana kita mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, bukan sekedar menghafal dan memahami saja, yang ini menurut saya, karena nilai-nilai yang terkandung di dalam agama juga banyak membahas masalah toleransi, menerima dan menghargai perbedaan, kasih sayang dan masih banyak lagi.
Menurut Titaley, sebelum tahun 1965, pelajaran agama tidak ada, yang ada adalah pelajaran budi pekerti.
Mendengar kuliah singkat pak Titaley yang rektor UKSW ini ada pelajaran menarik yang saya peroleh, yang selama ini tidak pernah terlintas di pikiran saya. Memang pada kenyataannya murid-murid itu akan berada di lingkungan yang heterogen sehingga nilai-nilai yang harus ditanamkan adalah bagaimana menghargai perbedaan dan toleransi. Di sekolah pelajaran yang ada lebih pada, menghafal ayat suci, hadits-dan seringnya jauh dari pengamalan dari ayat suci dan hadits tersebut. Lalu pelajaran agama seharusnya diajarkan di mana? Bisa dalam lingkungan keluarga, bisa di masyarakat dengan mengikuti kajian-kajian yang banyak diselenggarakan di daerah-daerah, karena keluarga mestinya jadi lingkungan yang dominan dalam perkembangan seorang anak.

Eddy Hartono dari Character First, berpendapat bahwa 80% mendidik karakter yang efektif adalah melalui keteladanan, 50% melihat dan 10% mengajar. So hehe..mendengar yang satu ini saya berpikir apa yang sudah saya perbuat untuk murid-murid saya, keteladanan? Jauuuhh, berusaha untuk yang terbaik buat murid, harus kali ya.
Pernyataan ini diamini juga oleh dua pembicara di hari kedua yaitu Dr. Doni Koesoemo dan Dr. Bambang Suteng. Pendidikan karakter yang paling efektif adalah KETELADANAN, menurut pak Bambang aturan sekolah hanya diperuntukkan buat anak atau murid namun tidak didukung oleh guru seperti misalnya kalau anak tidak boleh terlambat masuk kelas, maka gurunya juga seharusnya tidak boleh terlambat masuk kelas, kalau anak tidak boleh merokok, maka gurupun seharusnya tidak boleh merokok, jika anak tidak boleh membolos, gurupun seharusnya tidak boleh membolos—hingga hal ekstrim seperti video dan gambar porno pun walau tidak diketahui oleh muridnya sepertinya sangat tidak pantas jika guru memiliki karakter penggemar video dan gambar porno.
Hal-hal semacam ini—membuat pembedaan karena kau murid dan aku guru maka kita berbeda dalam melaksanakan aturan—akan menumbuhkan sikap munafik dan pembohong pada anak-anak kita. Jadi jangan melulu menyalahkan perilaku anak yang “menyimpang” sebelum kita instropeksi diri apa yang telah kita lakukan kepada mereka.
Karakter berbeda dengan sikap, sifat dan temperamen, sifat dan temperamen memang tidak bisa di bentuk, karena memang sudah dari sononya—seperti yang kita tahu ada sanguine, melankolis, dll sedangkan karakter bisa dibentuk. Pada prinsipnya manusia memiliki kapasitas yang sama untuk membangun karakternya.
Ada 47 karakter yang bisa dibentuk diantaranya keberanian, kejujuran, keadilan, tanggungjawab, kepedulian, kepercayaan, empati, pengendalian, berbagi, kerjasama, persahabatan, toleransi, pengampunan, memberi, hikmat, imajinasi, sikap apa adanya, belas kasih, kesamaan, integritas, kreativitas, ketegasan, kehormatan, kebaikan, keikhlasan, loyalitas, humor dan masih banyak lagi yang bisa dilihat di characterfirst.org atau http://www.pendidikankarakter.org/

Menurut Sunardi dalam makalahnya Pendidikan Karakter di Sekolah yang Membebaskan dan Penuh Keteladanan diungkapkan, pendidikan karakter bukanlah pendidikan yang penuh indoktrinasi melainkan penuh dengan keteladanan dan kebebasan untuk memilih nilai-nilai yang baik

Menurut Eddy Hartono, manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun tidak dapat terhindar dari konsekuensi dari setiap pilihannya.

Menurut saya dari konsekuensi atas kebebasan memilih tersebut kita dapat belajar, bagaimana rasa takut, bagaimana kecewa, bagaimana sakit hati, bagaimana marah, bagaimana gagal, bagaimana berhasil—pembelajaran yang didapat pada akhirnya akan membuat kita dapat memanage hati dan perasaan kita untuk mendapatkan nilai yang baik dan berharga dari setiap peristiwa yang terjadi.
Oleh karena itu saya berpikir pendidikan karakter semestinya memiliki porsi yang jauh lebih besar daripada pelajaran akademik atau kognitif lainnya- menurut Charlotte Mason pendidikan karakter tidak perlu menjadi mata pelajaran tersendiri namun dapat diangkat dari nilai-nilai yang terkandung dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan pada anak-anak. Belakangan mulai dikembangkan matematika akhlak, pembelajaran fisika yang menyenangkan, pembelajaran akuntansi yang menyenangkan dan masih banyak lagi.
Kalau saya mungkin lebih ekstrim, tujuan pembelajaran anak-anak mestinya diubah bukan angka raport, lulus UN dan rangking 1 lagi—namun menjadi anak cerdas yang berakhlak mulia, menjadi anak cerdas yang sehat jasmani dan rohani—bukan anak cerdas tapi mencontek, bukan anak cerdas tapi curang, bukan anak cerdas yang tidak bisa bersosialisasi, bukan anak cerdas yang sombong, bukan anak cerdas yang gemar berbohong, bukan anak cerdas tapi egois.
Masalah mencontek, curang dan plagiat yang banyak dilakukan murid-murid, mahasiswa bahkan dosen-dosen kita merupakan akibat dari pembiasaan guru kita dahulu, jika menjawab pertanyaan soal ulangan harus pas persis dengan apa yang ada di buku—sejak kecil kita tidak dibiasakan untuk berpendapat dan menganalisa permasalahan yang ada di sekitar kita—karakter tidak jujur yang banyak terjadi sekarang adalah implikasi dari kebiasaan mencontek yang dibangun sejak kita kecil dulu.

Saya menyangsikan pendidikan karakter dapat diterapkan disekolah-sekolah kita. Menurut Doni Koesoemo pada tahun 80an saat pendidikan karakter mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Amerika semua elemen masyarakat antusias menyambutnya, namun ketika ternyata banyak kendala yang terjadi antusiasme ini menjadi banal atau masuk dalam titik jenuh, masyarakat mulai tidak peduli lagi.

Namun walau menyangsikan tetap selalu ada sepercik harapan. Pendidikan karakter bisa efektif diterapkan jika, karakter kita guru dan orang tua yang ada di sekitar anak semestinya diperbaiki dulu. Menurut Charlotte Mason orang tua atau guru jika ingin mendidik anak harus menolkan dulu atau  menetralkan dulu kebiasaan buruk dan trauma masa kecilnya.
Saya ingat ada sebuah sekolah di Surabaya yang mengalokasikan budget besar untuk membentuk karakter guru-gurunya. Guru-guru tersebut diberi semacam training selama 3 bulan, diasramakan, sebelum mendidik anak-anak di kelas.

Pemerintah juga menyediakan budget besar untuk training sebelum seorang pegawai negeri diangkat. Namun training-training yang dibuat oleh pemerintah kebanyakan hanya formalitas semata. Tidak ada nilai khusus yang saya peroleh ketika saya menjalani training itu. Beda dengan training dan seminar yang saya ikuti dengan biaya sendiri. Peace pak pemerintah..It’s true..:)
Klise semuanya mesti diawali dari diri sendiri, semua manusia berproses untuk menjadi lebih baik, berkarakter baik, rubah diri terlebih dahulu sebelum merubah karakter anak-anak didik kita.
KNOWING THE GOOD, LOVING THE GOOD, DOING AND ACTING THE GOOD
SEMANGAATT!!..AZA AZA FIGHTING!!...(^.^)/..
Sumber:
Prof. Dr. John A Titaley –Pendidikan untuk Nation and Character Building
Dr. Eddy Hartono—Chadacter First!
Dr. Doni Koesoema—Pendidikan Karakter dan Budaya Akademik di Sekolah
Dr. Bambang S Sulasmono—Implikasi Pendidikan Karakter bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
Sunardi, S.Pd, M.Pd—Pendidikan Karakter di Sekolah yang Membebaskan dan Penuh Keteladanan
Rahayu Dwi Astuti—Desain Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Game Tournament dalam Pembelajaran Hukum Kirchof
Helti Lygia Mampouw—Membentuk Karakter Siswa melalui Pembelajaran Matematika Aktif
Susiyanto—Quo Vadis Pendidikan Berkarakter di Indonesia

Note ini bisa juga dilihat di http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/29/pendidikan-karakter-mungkinkah/
Ulasan tentang Konferensi Guru Nasional tersebut dapat dilihat di http://uksw.edu/id/artikel.asp?m=berita&p=baca&nmr=1996

1 komentar:

  1. Menurut saya bukan pelajaran agamanya yang perlu dipermasalahkanm tapi lebih kepada aplikasinya. Dan ingat, pendidikan model sekolah selalu 'kelebihan muatan', yang membuat anak-anak kelebihan beban akademik dan mengurangi kemauan dan kemampuan mereka mengaplikasikan ilmunya.
    Saya lihat, keluarga tertentu yang mengutamakan agama sebagai pondasi hidup bisa menerapkan apa yang anak-anak mereka hapalkan seperti hadits dan lain-lain.

    Jadi sekali lagi, tidak bisa semua disamaratakan. Bukankah pelajaran budi pekerti dan PMP -seperti yang kita tau- juga gagal menciptakan negeri yang beradab?

    Saya lebih cenderung sepakat untuk membatasi apa yang dipelajari anak-anak sesuai kebutuhan dan potensinya. Sehingga mereka punya waktu untuk aplikasi dan mendalami apa yang mereka pelajari. Bukannya mempelajari semua hal tapi akhirnya tidak mendapatkan apa-apa.

    Dan yang terpenting, agama itu penting. Kita tidak bisa menyalahkan pelajaran agama hanya karena kurang diterapkan oleh siswa. Sekali lagi, masalahnya kompleks..

    BalasHapus

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...