Senin, 25 Oktober 2010

Pendidikan Utopis, Tapi Perlu

Sumber : http://prajnamu.talk4fun.net/2010/10/pendidikan-utopis-tapi-perlu.html



Setelah menonton video di atas, tiba-tiba saya teringat dengan beberapa tulisan lama, yang bertema pendidikan. Tulisan aslinya berjudul Education: The Necessary Utopia, oleh Jacques Delors. Tulisan ini adalah sebuah pengantar dari sebuah kumpulan artikel berjudul Learning: the Treasure Within, yang diterbitkan oleh UNESCO. Judul artikel pengantar itu sangat menarik, sekaligus provokatif, menurut saya.



Delors adalah ketua dari International Commission on Education for the Twenty-first Century. Komisi ini dibentuk UNESCO tahun 1993, beranggotakan 14 orang dari berbagai belahan dunia dan berbagai latar belakang budaya serta pendidikan. Komisi ini bercita-cita merumuskan seperti apa bentuk pendidikan di abad-21.

Inti dari kerja komisi ini, melahirkan 4 pilar pendidikan secara umum: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together.

Untuk menerapkan Learning to know (belajar untuk mengetahui), hubungan Guru-Murid harus diubah menjadi hubungan fasilitator-pembelajar. Guru juga dituntut untuk dapat berperan sebagai kawan berdialog bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa. Istilah untuk siswa tetap pembelajar, dengan asumsi mereka belajar untuk dirinya sendiri, mereka membelajarkan dirinya sendiri.

Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) hanya dapat terjadi jika sekolah mampu mengaktualisasikan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minat siswanya dalam situasi yang konkrit. Kalau Anda percaya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan, mungkin Anda juga harus percaya bahwa tumbuh kembangnya bakat dan minat sangat bergantung pada lingkungan. Mungkin ada kasus tertentu dimana anak tumbuh menjadi anomali di lingkungannya, tetapi sebagian besar akan mencontoh apa yang terjadi di lingkungannya. Anak adalah produk lingkungannya, terutama lingkungan dimana ia mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya.

Belajar dengan mempraktekkan pengetahuan serta keterampilanya, merupakan cara paling ampuh. Maka apa yang berlaku di sekolah, dengan kepura-puraan kurikulum yang ambisius, tetapi pada akhirnya dihadapkan pada realitas ujian nasional dengan standar yang semu pula, adalah pembelajaran luar biasa bagi anak.

“Tidak perlu repot belajar, menemukan sesuatu, yang penting pintar-pintarlah menjawab soal ujian.” Lebih mudah lagi, tunggu saja kunci jawaban dari guru.


Pilar berikutnya, Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang). Hal ini erat sekali kaitannya dengan pemenuhan ketertarikan manusia pada sesuatu. Tidak semua manusia tertarik menjadi insinyur, atau jadi dokter. Masing-masing orang punya cita-citanya sendiri. Bahkan saya pernah punya teman yang cita-citanya sederhana saja, pengen jadi supir traktor, segala macam traktor.

Tapi Anda semua pasti tahu, bagaimana cita-cita yang tak mendatangkan duit macam supir traktor itu akan dibunuh secara sistematis dalam masyarakat kita. Sekolah sudah mengajarkan bagaimana struktur sosial kita dibentuk, yang antara lain karena status kesarjanaan.

“Sekolah lah nak, kumpulkan S sebanyak-banyaknya”. Orang seolah lupa, bahwa amanatnya bukan Sekolah selama-lamanya, tapi menuntut ilmu selama-lamanya. Menuntut ilmu, atau belajar, tidak sama dengan sekolah.


Kita sudah dibuat lupa, bahwa semua profesi di muka bumi akan saling terkait. Semua orang saling membutuhkan. Dan tidak semua sekolah menyediakan pengalaman yang mampu membentuk kompetensi sebuah profesi. Sekolah saat ini cenderung hanyalah labsite, percontohan mini yang sama sekali tidak bisa disamakan dengan dunia nyata. Bahkan lebih parah lagi, cuma sekedar ajang kursus adu jitu menghitung kancing.

Yang terakhir adalah Learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Pilar keempat ini, membangun kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, dan hidup berdampingan dalam perbedaan. Kondisi seperti ini sangat kita butuhkan di Indonesia, mengingat kebhinekaan yang kita miliki, baik dari aspek ras, suku, agama, dan lain-lain.

Berita belakangan ini sudah tentu tidak asing di telinga kita, tentang pertempuran antar pemeluk agama, bahkan dalam agama yang sama, atau pertempuran antar ideologi yang dimodali uang besar sekali hingga mampu memionkan manusia di garis depan agar mau menyabung nyawa. Atas nama sebuah ideologi politik, yang bahkan pengusungnya tak fasih memidatokannya.


Video di atas, adalah ceramah dari Sir Ken Robinson, seorang ahli pendidikan berbasis kreativitas, yang mengkritisi paradigma pendidikan, terutama di Amerika (karena contohnya sebagian besar dari sana). Sir Ken menawarkan perubahan paradigma yang cukup revolusioner, dari pendidikan yang berkiblat pada industri, dan sarat dikotomi, kembali pada pendidikan yang memanusiakan manusia.

Terdengar indah di telinga, dan sedap pula dipandang mata. Animasi yang diperagakan dalam video itu berupaya memvisualkan pandangan Sir Ken dengan sangat baik, sangat memikat untuk disimak. Tapi apakah juga mudah untuk diterapkan?

Sir Ken menawarkan cara pandang pendidikan sebagai upaya pembelajaran secara kolaboratif, karena memisahkan individu dalam proses belajar dan mengukur pencapaiannya secara terstandar, akan membuat jurang yang besar dalam komunitas. Standarisasi seperti ini yang ditentang oleh Sir Ken Robinson.

Daripada memandang pendidikan sebagai sebuah proses yang konvergen, Sir Ken menawarkan cara pandang yang divergen. Divergent Thinking, tidak sama dengan kreativitas. Tetapi ia merupakan inti dari tumbuhnya kreativitas. Berpikir secara divergen, menumbuhkan kemampuan berpikir alternatif. Tidak ada jawaban tunggal. Semua punya alternatif. Ini dicontohkannya dengan kasus penjepit kertas.

Berapa banyak kemungkinan yang bisa kita temukan untuk mendayagunakan Penjepit Kertas? Dengan cara pandang divergen, katanya bisa menghasilkan lebih dari 200 kemungkinan.

Saat ini, kita jelas membutuhkan cara pandang seperti itu. Berbagai kebuntuan menghadapi masalah, karena kita masih berpikir dalam kerangka-kerangka yang sempit, dan dikotomis. Penguasa yang memiliki kekuasaan untuk melakukan perubahan, malah sibuk membuat kompromi yang justru menjeratnya dalam kerikuhan politik. Terobosan jarang dibuat, dengan alasan konstitusional. Padahal kualitas konstitusi juga banyak yang patut dipertanyakan. Don’t think outside the box! There is no box!

Tapi, seperti paragraf awal dalam tulisan Jacques Delors, pendidikan bukan tongkat ajaib ala Harry Potter yang tinggal diayun sambil baca mantera. Ia adalah upaya jangka panjang yang harus dilakukan tanpa kenal lelah.

The Commission does not see education as a miracle cure or a magic formula opening the door to a world in which all ideals will be attained, but as one of the principal means available to foster a deeper and more harmonious form of human development and thereby to reduce poverty, exclusion, ignorance, oppression and war.

Pendidikan, mungkin bisa dianggap sebagai utopis, karena dampaknya jangka panjang, sementara kebutuhan sudah demikian mendesak. Tapi lagi-lagi, judul tulisan Delors mengingatkan kita, bahwa pendidikan mungkin sebuah utopis, tetapi sebuah utopis yang memang diperlukan.

selengkapnya dari Sir Ken Robinson ada disini http://www.thersa.org/events/vision/archive/sir-ken-robinson

1 komentar:

  1. Coba tengok juga artikel tentang Sir Ken yang disini: http://pendidikan-alternatif.blogspot.com/2010/06/mari-revolusi-pendidikan-kita.html dan di sini: http://pendidikan-alternatif.blogspot.com/2010/05/sekolah-membunuh-kreativitas.html

    salam!

    BalasHapus

Menjadi Instruktur

Pengalaman berikutnya sejak pandemi tepatnya mulai 13 Oktober 2020, saya diajak mas Aye - menjadi instruktur pengajar praktik guru penggerak...